Peran Perempuan dalam Memerangi Hoaks

Peran Perempuan dalam Memerangi Hoaks

- in Narasi
818
1
Peran Perempuan dalam Memerangi Hoaks

Hoaks merupakan patologi sosial yang harus dihentikan. Kehadiran hoaks akan mengawatirkan kehidupan bersama saat ini. Kita tahu, notabene bangsa ini merupakan bangsa yang majemuk dari segi agama atau kebudayaan. Bila hoaks tidak diberatas, maka hoaks akan mengusik perbedaan tidak lagi sebuah anugrah, tetapi perbedaan sebagai pertentangan satu sama lain.

Kita lihat beberapa kasus yang terjadi akibat berita bohong (hoaks) yang kemudian mengusik ketenteraman kehidupan yang damai. Tengok saja kasus yang terjadi ada hoaks penculikan anak. Ketika hoaks ini tersebar, orang gila kembali menjadi target sasaran penyebaran isu hoax. Masyarakat dibuat resah dengan beredarnya isu penculikan anak yang dilakukan oleh orang gila. Awalnya orang gila tersebut mengajak bermain anak-anak, namun secara tiba-tiba anak-anak yang berada didekatnya digendong dan dibawa kabur.

Akibat dari beredarnya info hoax tersebut, orang gila pun menjadi target kemarahan warga. Salah satunya terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat. Seorang pria paruh baya harus kehilangan nyawa lantaran diduga akan menculik seorang anak.

Melihat bahaya hoaks, maka kita harus belajar untuk menghentikan informasi yang tidak benar. Salah satu peran yang cukup penting dalam menyelesaikan adalah peran perempuan dalam keluarga. Kita perempuan memiliki hak istimewa yang dapat mengatur keadaan rumah yang ada. Bila melihat kebudayaan jawa, perempuan merupakan konco wingking.

Dalam konsep kesetaraan perempuan dan laki-laki juga terlihat dari konsep konco wingking. Dalam konsep itu terkadang disalahpahami sebagai merendahkan perempuan. Konco wingking yang memiliki arti teman di belakang, di mana seorang perempuan tidak bisa menentukan keputusan. Sebenarnya lebih dari itu, konsep konco wingking sebenarnya pembagian tugas dalam pekerjaan rumah tangga.

Semisal, ketika ada tamu yang datang ke rumah, seorang laki-laki yang menyambut tamu kemudian perempuan yang di belakang menentukan makan atau hidangan apa yang harus disajikan kepada tamu di depan. Di sini, laki-laki tidak bisa menentukan apa yang harus disajikan kepada tamu, tetapi perempuanlah yang menentukannya. Selain itu, konsep konco wingkin bisa diartikan sebagai sigaraning nyawa (belahan jiwa/ separuh dari jiwa). Makna sigaraning nyawa ini tampak jelas memberikan gambaran posisi sejajar dan lebih egaliter daripada konco wingking. Karena suami dan istri adalah dua yang telah menjadi suatu a masing-masing adalah separuh dari entitas. Hal ini jelas digambarkan dalam simbol patung Ardhanari.

Dari konsep di atas bisa ditarik definisi tentang kekuasaan perempuan Jawa. Kekuasaan perempuan Jawa adalah kemampuan perempuan Jawa untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mendominasi suatu keputusan. Kemampuan perempuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut bukan semata-mata pada saat keputusan itu diambil, melainkan merupakan sebuah proses yang panjang dari proses adaptasi, pemaknaan kembali, hingga strategi diplomasi.

Baca juga :Kartini, Kearifan Lokal, dan Literasi Perempuan

Konsep kesetaraan perempuan dalam kebudayaan Jawa sudah sejak lama, bahwa sebelum konsep gender menjadi idola. Peranan penting perempuan tidak hanya dalam lingkungan rumah tangga tetapi dalam bidang politik. Sejarah mencatat, nama-nama seperti Ratu Sima, Sanggramawijaya Dharmaprasodotunggadewi (tangan kanan Erlangga) dan sederet lainnya nama-nama yang sangat terkenal di seluruh Jawa, bahkan pelosok Nusantara.

Dalam dunia Jawa peran perempuan yang paling jelas memiliki pengaruh adalah kisah Wangsa Isyana, yang kemudian keturunannya mendirikan kerajaan Singhasari dan Majapahit. Kerajaan Singhasari, dengan Ken Dedes sebagai tokohnya, memperlihatkan bagaimana seorang wanita menjadi dalam bagi peralihan kekuasaan dari Tunggul Ametung ke Ken Arok. Ken Dedes menjadi otak yang menyusun strategi untuk memperlancar langkah Ken Arok menduduki kedudukan Tunggul Ametung, yang menjadi suaminya.

Pada masa modern saat ini, kecenderungan membatasi kebebasan wanita semakin menjadi-jadi. Ketidaksejajaran antara laki-laki dan perempuan dimunculkan oleh ideologi politik di mana argumennya berasal dari perspektif fungsionalis yang mengungkapkan bahwa pria dan wanita memainkan peranan yang berbeda dalam lingkungan yang berbeda; perempuan berperan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik.

Konsep gender semacam ini, konsep yang serap dari kebudayaan luar kemudian dipaksakan untuk masuk dalam kemudian Jawa yang kemudian menjadikan masyarakat Jawa ambigu dan tidak relevan dalam kebudayaan sehari-hari. Hal ini justru mempengaruhi para ilmuwan dan kebijakan pemerintah yang berlawanan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Jika Daerah Istimewa Yogyakarta berani membongkar stereotip peran perempuan Jawa yang hanya bekerja di daerah domestik, maka keistimewaan Jogjakarta benar-benar sempurna. Jogjakarta tetap pada keistimewaan yang sesungguhnya. Keistimewaan yang diambil dari kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan identitas.

Kekuasaan perempuan ini yang kemudian harus dibangun dalam membentengi kehidupan keluarganya dari berta bohong. Perempuan harus ikut adil dalam menyaring dan mengonter setiap berita bohong yang menghinggapi keluarganya. Dengan teknik sederhana ini, setidaknya hoaks akan terputus persebarannya dan minimal anggota keluarga tidak termakan oleh hoaks.

Facebook Comments