Era digital semakin memudahkan para netizen untuk mengakses informasi di berbagai belahan dunia dalam hitungan menit bahkan detik. Hal ini menandakan dunia semakin akrab dengan penduduknya. Bagaimana tidak? Berbagai peristiwa dan berita baik yang aktual maupun hoax dapat diakses dengan mudahya melalui internet tanpa batas ruang dan waktu.
Hidup yang serba digital nan hedon ini sudah seharusnya memudahkan manusianya. Namun apa bisa dikata kalau ternyata manusia banyak maunya. Bahkan, kemauan-kemauan tersebutlah akar dari segala kesulitan yang ada di depan mata sekarang. Tapi memang demikianlah kodrat manusia yang sudah dinash dalam Q.S. Al-Ma’arij: 19, “sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah”. Dijelaskan oleh Imam Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya, yang melatarbelakangi keluh kesah adalah faktor kurang sabar dan sangat rakus.
Kodrat manusia seperti dijelaskan di atas, mau tidak mau akhirnya juga merambah kepada apa yang menjadi konsumsinya sehari-hari, tak terkecuali informasi. Tidak semua orang berada dalam satu ide ketika mencerna maupun menanggapi informasi yang diterimanya karena latar belakang kecerdesan emosional dan intelektual masing-masing orang pun berbeda. Tidak heran jika outputnya juga berbeda. Di sisi lain, perbedaan sering kali muncul dengan jubah fanatisme terhadap satu tokoh. Jika sudah demikian, konflik tak dapat terbendung lagi. Bahkan berkobar sangat panas.
Perbedaan adalah hal yang wajar dalam konteks seperti ini. Bahkan Rasullullah Saw. pun menyukai perbedaan. Beliau memandang perbedaan sebagai rahmat, seperti dikatakan dalam sebuah hadits: “ikhtila>fu ummati> rah}matun”>. Kalau saja perbedaan di dalam kehidupan itu adalah sebuah keniscayaan, lantas mengapa ada sekelompok orang memperdebatkan perbedaannya dengan kelompok lain? Mengapa fanatisme terhadap satu tokoh harus memicu perpecahan? Bukankah perdebatan itu akan mempersulit hidup yang semakin memanas di era modern sekarang ini?
Baca juga :Melawan Hoax itu Jihad!
Dalam QS. Al-Hujurat: 13, Allah Swt. menjelaskan tujuan dari dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan berbeda-beda adalah agar mereka saling mengenal, bukan berkonflik ataupun berdebat satu sama lain. Akan tetapi, bagi sekelompok orang, perbedaan adalah cela. Semua harus diseragamkan dengan ide dan pemikirannya. Semua harus sejalan dengan ritme pola pikirnya. Bahkan semua orang harus mengidolakan satu tokoh yang diagung-agungkannya. Tak ada istilah berbeda kalau masih dalam satu lingkup, agama misalnya. Jika berbeda berarti musuh yang harus diperangi.
Kiranya demikianlah gambaran ekstrim yang terjadi di lapangan saat ini. Semua orang haus kebenaran, kedudukan, popularitas dan semacamnya. Lantas siapa penengah dari semua ini?
Sebenarnya ada satu kelompok keren di tengah-tengah kita . Mereka cerdas nan bijak. Dalam al-Qur’an, mereka disebut sebagai ummatan wasat}an li an-na>s. Disampaikan oleh KH. Said Aqil Siroj dalam suatu forum di salah satu acara televisi, “Ummatan wasat}an li an-na>s ini memang terlahir sebagai kelompok yang berat dan berbibawa agar dapat berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran yang dimaksud meliputi peran agama, peran peradaban, peran kemajuan-kemajuan, peran sosial, dan peran politik”. Dengan demikian, mereka akan sanggup meredam gejolak perdebatan yang kian hari kian memanas. Siapa mereka ummatan wasat}an li an-na>s itu? Berkata Imam Nawawi, mereka inilah orang-orang adil yang dipuji karena ilmu dan perbuatannya. Mereka menggunakan ilmu di setiap perbuatan dan ucapannya, bukan mengedepankan emosinya. Oleh sebab itulah, tak heran jika mereka bisa ramah terhadap semua golongan. Cerdas menyikapi perbedaan.
Orang-orang dengan karakter wasat}an li an-na>s bak hujan di tengah-tengah kemarau panjang. Mereka adalah mata air bagi orang-orang disekelilingnya pun lingkungan sekitar. Bijak dikala banyak orang sedang sibuk berontak dan berteriak. Sejuk di dalam dikala banyak orang sedang terbakar menyala-nyala di luar. Bahkan, bukan popularitas yang menjadi prioritas akan tetapi jiwa yang tulus ikhlas, yakni dikala ucapan dan perbuatan sudah selaras.