Pencerdasan Bangsa, Mengerem Viralitas Hoax

Pencerdasan Bangsa, Mengerem Viralitas Hoax

- in Narasi
722
1
Pencerdasan Bangsa, Mengerem Viralitas Hoax

Pada era 80 hingga 2000-an awal bisa dikatakan sebagai momentum keemasan bagi kehidupan jurnalistik, sebab pada periode tersebut banyak sekali karya pers yang mampu memberikan pencerdasan bagi dinamika sebuah masyarakat. Beberapa di antaranya bahkan abadi untuk terus dikenang sebagai sebuah pembelajaran dalam agenda pencerdasan bagi masyarakat umum. Contohnya seperti pengungkapan mega kasus skandal watergate yang menyeret Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon. Untuk konteks Indonesia, kita bisa melihat banyak kisah yang coba diupayakan media-media di Indonesia untuk tetap mengabarkan informasi aktual tatkala menjelang tumbangnya orde baru dan pascanya. Seperti kita ketahui bersama, atas nama ketertiban dan keamanan publik, penyuaraan informasi yang bernada kritis semacam itu pada periode orde baru akan beroleh konsekuaensi yang mengerikan.

Dorongan perubahan dan pencerdasan yang mampu diupayakan oleh para awak pers ternyata juga harus menemui sebuah kenyataan, di mana pengelolaannya pun harus bernegosiasi dengan kecanggihan teknologi yang terus melaju. Tuntutan ini lebih dipersulit lagi dengan hadirnya banyak portal informasi yang mampu dibuat oleh siapa pun dalam waktu yang singkat dan dengan mudah bisa menyentuh masyarakat. Bahkan informasi tersebut bisa disebarluaskan lebih jauh lagi oleh penerima pertama dengan hanya menyentuh tombol. Yang lebih mengerikannya lagi, tidak jarang informasi yang tersampaikan ke masyarakat tersebut hanyalah sebungkus opini yang tak berdasar. Dengan kata lain, bukanlah sebuah fakta yang disajikan, tetapi hanyalah sebuah pandangan kosong sang penulis (hoax). Pada momentum ini, media mainstream bukan lagi semata berhadapan dengan kecepatan peredaran sebuah informasi, melainkan juga dengan tingkat validitas sebuah berita. Limpahan informasi yang bisa dibuat dan diakses oleh siapa pun dan kapan pun berhasil meminggirkan pentingnya ke-validan sebuah informasi. Sebab masyarakat pada era sekarang ini cenderung menyukai segala hal yang bersifat bombastis, baik dari narasi judul hingga isi informasi.

Dalam konteks menjelang hajatan pemilihan wakil rakyat dan pemimpin bangsa negeri ini, peredaran narasi dalam bentuk demikian bahkan semakin menjadi-jadi. Lewat diksi yang bombastis dan mengejutkan, masyarakat dirangsang untuk memiliki rasa penasaran agar mau membaca dan kemudian tergiring untuk mempercayai narasi yang tak berdasar itu. Tidak cukup sampai di situ, proses editing yang luar biasa terhadap sebuah rekaman pembicaraan atau pun video banyak dilakukan guna menciderai proses demokrasi dan agenda pencerdasan bangsa. Tujuannya jelas untuk mengarahkan massa kepada kepentingan tertentu. Tidak tanggung-tanggung, hal tersebut bahkan dilakukan hingga menggunakan kata-kata menghina individu atau menyerang secara ad-hominem lawan politik.

Baca juga :Perintah Al-Qur’an Memerangi Hoax

Bila sudah demikian bagaimana mungkin agenda pencerdasan bangsa tetap bisa dipegang? Tentu wajar saja bila pertanyaaan demikian hadir lebih dahulu ketimbang sebuah langkah penyelesaian. Namun tentu tidaklah bijaksana bila lantas duduk saja dengan kepesimisan tersebut. Disadari atau pun tidak, sejatinya fenomena tersebut sebenarnya telah coba dijawab dengan upaya mengerem laju dari viralitas hoax tersebut. Upaya tersebut, bukan hanya dalam bentuk regulasi yang dibuat oleh pemerintah atau pun upaya keras sejumlah media massa dalam menjaga kode etik jurnalistiknya semata. Sejumlah pihak yang bukan dari unsur media dan merasa berkepentingan atas peredaran informasi yang benar pun mulai melakukan upaya swadaya guna mengerem peredaran hoax. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan mulai mensinergikan diri mereka dengan kemajuan teknologi. Mereka melakukannya dengan cara membuat sejumlah blog tulisan maupun video yang diunggah ke media yang dapat diakses massa, contohnya seperti di Youtube, Whatsapp, dan sejumlah jejaring lainnya. Dalam blog-blog tersebut kita bisa melihat bagaimana ulasan yang mereka sajikan atas hal-hal yang mereka rasakan langsung terkait sebuah isu.

Ada yang menyebut kegiatan semacam itu semua sebagai citizen journalism, namun ada pula yang mengomentarinya sebagai sebentuk opini semata. Apa pun penyebutan atas kegiatan tersebut, kita semua bisa saja turut serta mereplikasinya bentuknya dalam konteks menyajikan informasi yang benar dan ulasan pemikiran kepada khalayak ramai lainnya. Hal ini penting sebab dalam era masyarakat informatif hari ini, penggunaan segala media dalam mengupayakan pencerdasan menjadi tanggung jawab semua pihak. Artinya bila hoax hadir menggunakan narasi, maka narasi pula-lah yang menjadi senjata perjuangan untuk mengupayakan hadirnya kewarasan berfikir, menghindarkan pembodohan massal yang dilakukakan terus-menerus dan pelecehan terhadap rasionalitas manusia. Perang narasi sepertinya sudah menjadi kebutuhan kita guna dapat memerangi hoax yang beredar dengan derasnya. Jelas bagi kita semua bahwa sebagai masyarakat umum pun, memiliki tanggung jawab menjaga kewarasan berfikir mengenai keberagaman dan menjaga agenda pencerdasan berbangsa tetap terjaga. Yang pada gilirannya ke-Bhinekaan tetap bisa terjaga dalam bingkai kemanusiaan.

Facebook Comments