Pemilihan umum sebagai manifestasi demokrasi akan dilaksanakan secara serentak 17 April 2019. Beberapa bulan sebelumnya, para kandidat –baik itu capres/cawapres, calon legislatif, partai politik –sibuk berkampnye di satu sisi. Hal yang sama, masyakarakat juga mempromosikan jagoannya kepada khalayak ramai di sisi yang lain. Dalam proses panjang ini, tak jarang ekses-eksis negatif terjadi. Upaya menjatuhkan lawan, black campign, hoax, provokasi, ujaran kebencian, bahkan fitnah, tumbuh subur di tengah masyarakat, terutama di dunia maya di tahun politik ini.
17 April 2019 harus menjadi akhir dari semua itu. Kita harus memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani dan pertimbangan rasio kita. Pemilu 2019 ini sebagai penentuan sikap dan pilihan politik harus dijadikan sebagai pesta demokrasi. Layak sebuah pesta, maka pemilihan ini harus dirayakan oleh semua lapisan masyarakat. Pesta adalah suasana yang mengembirakan, euforia, ceria, canda tawa, dan kegirangan. Pemilu sebagai pesta harus membuat setiap insan dengan riang-gembira dan tanpa paksaan untuk memilih sesuai dengan kecocokan hatinya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai pesta itu sebagai jamuan makan minum. Makna ini jika ditarik dalam konteks pemilu, jika dalam jamuan makan seseoarang bebas memilih menu makanan kesukaanya, maka dalam pesta demokrasi setiap orang juga bebas memilih jagoanya sesuai dengan pertimbangan rasio dan hati nuraninya. Pemaknaan pesta yang seperti inilah yang akan menimbulkan sikap saling menghargai, menghormati, dan membebaskan setiap orang sesuai pilihannya.
Persaudaraan di Atas Segalanya
Sikap menghargai, menghormati, dan memberikan kebebasan kepada orang lain tidak bisa muncul jika kita tidak meletakkan itu semua di atas persaudaraan. Persaudaraan sebagai kalimat penyimpul dari sedarah: lahir dan tumbuh di tanah yang sama, dengan bahasa yang sama, juga berhimpun dalam wadah bangsa dan negara yang sama. Persaudaraan harus jadi pondasi dalam setiap gerak-gerik anak bangsa. Kita boleh beda pilihan partai politik, capres/cawapres, jagoaanya masing-masing, tapi rasa sedarah –yang lahir dari rahim ibu pertiwi –harus tetap diletakkan di atas segalanya.
Baca juga :Merawat Pancasila, Meruntuhkan Nasionalisme “Tribal”
Menempatkan persaudaraan di atas perbedaan pilihan politik akan melahirkan sikap legowo. Menerima siapa pun yang terpilih nantinya. Dengan persaudaraan, yang menang tidak jumawa, yang kalah tidak merasa terhina. Kita semua bersaudara, siapa pun yang terpilih dalam pesta demokrasi ini, ia adalah pemimpin, wakil dari kita semua, bukan hanya wakil dan pemimpin golongan atau pemilihnya saja. Persaudaraan mengajarkan, bahwa pemilu bukan lah akhi dari segalanya. Ia merupakan proses dari jalannya demokrasi menuju sebuah cita-cita yang kita impikan bersama.
Sikap persudaraan harus tetap kita jaga dalam selama proses pemilu ini. Adanya upaya-upaya untuk mendeligitemasi hasil pemilu harus kita lawan. Karena ini bertentangan dengan semangat persudaraan. Perbedaan pilihan politik jangan sampai mengorbankan sesuatu yang paling asasi dari manusia: persaudaraan. Bila semua pihak meletakkan ini, maka akan tercipta pemilu yang damai, bersih, dan bisa diterima semua.
Pesta demokrasi berbasis persaudaraan adalah fondasi kita dalam melewati pemilu 17 April ini. Jika kita berhasil –dan memang dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia selalu terkontrol –maka kita sudah melewati ujian besar. Indonesia sebagai bangsa yang sudah teruji dan selalu belajar dari pengalaman sebelumnya, pasti bisa melewati ini semua. Watak asli manusia Indonesia sejatinya bukanlah manusia yang suka akan pertengakaran dan keribuatan. Manusia Indonesia terkenal dengan nilai-nilai persaudaraan dan kedamaiannya. Kedua nilai harus tetap berjalan, terutama di saat-saat pemilu seperti ini.