Peringatan hari lahirnya Pancasila setiap tanggal 1 Juni tahun ini bertepatan dengan adanya musibah pandemi. Sebagai lambang dan sekaligus dasar negara, Pancasila memiliki peran penting dan strategis dalam membangun dan merawat bangsa Indonesia. Tidak mudah menyatukan negara bangsa dengan rakyatnya yang memiliki bermacam-macam suku, agama, bahasa dan budaya. Namun dengan Pancasila persatuan Indonesia dapat dijaga. Itulah kesaktian Pancasila.
Hari ini, segenap elemen bangsa Indonesia tengah berjuang bersama-sama sekuat tenaga dalam peperangan megusir “penjajah” bernama korona. Genap tiga bulan sudah peperangan ini berlangsung sejak genderang perang ini ditabuh sejak tangal 2 Maret 2020 ketika pemerintah mengunumkan pasien pertama positif korona. Sejauh ini pasien positif korona di Indonesia sudah menyentuh hampir 27 ribu orang dan 1600 korban jiwa (data 1 Juni 2020). Penjajah bernama korona ini telah melumpuhkan dan merubah seluruh sendi dan tatanan kehidupan rakyat Indonesia. Berbagai senjata ampuh berupa kebijakan sudah dicoba dan masih terus diterapkan oleh pemerintah dalam peperangan dahsyat ini. Namun korona sepertinya belum juga menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Ketika berbagai senjata kebijakan yang sudah diterapkan belum juga menunjukkan hasil yang positif, ada satu senjata ampuh dan sakti mandraguna yang kita miliki dan kiranya harus kita gunakan saat ini. Senjata ampuh itu bernama Pancasila. Namun demikian, sehebat dan seampuh apapun senjata yang ada di tangan kita, jika kita tidak mampu menghayati penggunakannya, maka senjata itu tidak akan ada nilai gunanya, sia-sia belaka. Sebab itu, menjadi sangat penting kiranya kita kembali menyelami, menghayati dan memaknai nilai-nilai fundamental Pancasila untuk kemudian kita gunakan sebagai senjata dalam memerangi dan mengusir korona dari tanah air kita rercinta agar kita dapat kembali merdeka.
Pribumisasi Pancasila
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada sila yang pertama ini menunjukkan bahwa, kita sebagai rakyat Indonesia memiliki keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang mencipta dan mengatur alam semesta dan seluruh isinya. Keyakinan yang kokoh akan adanya Tuhan ini sangat penting. Dengan kita yakin terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta yang harus kita sembah, hidup kita tenang dan tidak akan mudah goyah. Terlebih saat ini dengan adanya musibah wabah, banyak yang setres dan putus asa. Dengan keimanan yang kokoh kita tidak akan mudah menyalahkan keadaan, apa lagi menyalahkan Tuhan.
Baca Juga : Ideologi Transnasional, Aktor Non-Negara dan Kedaulatan Bangsa
Musibah adalah ujian untuk menaikkan drajat keimanan dan ketaqwaan. Dengan keyakinan ini, kita tidak akan mudah menyerah dan justru akan semakin mendekat kepada Tuhan dengan rajin beribadah. Seraya memohon agar diberikan kesabaran, kemudahan dan keselamatan dalam mengahdapi musibah. Sila pertama ini juga mengajarkan kepada kita pentingnya hormat menghormati dan berkerjasama dalam kemanusiaan antar pemeluk agama yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup bersama ditengah musibah korona.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini juga sangat relevan diterapkan di tengah gempuran korona. Korona adalah ujian kemanusiaan. Sisi kemanusiaan kita di musim pandemi ini benar-banar sedang dipertaruhkan. Korona akan menunjukkan siapa diantara kita yang benar-benar manusia atau bukan. Di tengah gempuran wabah yang mematikan, kemanusiaan, keadilan dan keadaban kita harus benar-benar dikedepankan. Sebagai ujian kemanusiaan korona seharusnya dapat meningkatkan rasa solidaritas kita. Sehingga kita senantiasa berbuat adil dan beradab pada sesama. Sikap simpati dan empati tumbuh untuk menolong saudara-saudara kita yang terdampak korona. Dengan menghayati sila kedua ini maka kita akan senantiasa berbuat bijaksana dan tidak semena-mena. Tidak ada lagi penolakan jenazah pasien positif Covid-19. Tidak ada lagi saudara atau tetangga yang sakit karena kelaparan. Tidak ada lagi pasien yang dikucilkan. Sila kedua ini mengajarkan kepada kita pentingnya mencintai sesama dengan mengembangkan sikap tenggang rasa.
Saat ini, untuk mencegah penyebaran virus korona social distancing dan physical distancing memang harus ditegakkan. Namun upaya menjaga jarak ini jangan sampai kebablasan sehingga mehilangkan roso kamanungsan (rasa prikemanusiaan). Saat ini fisik kita memang harus berjauhan, namun hati dan pikiran kita harus tetap saling bertautan. Saat ini jarak fisik memang harus direnggangkan, namun sikap solidaritas justru harus semakin dirapatkan. Ujian kemanusiaan ini harus mampu membuka mata hati dan pikiran kita agar semakin peka dan rela untuk saling tolong-menolong (ta’awun) antar sesama. Inilah makna sila kedua yang bisa kita bawa dalam menghadapi korona.
Sila ketiga, Pesatuan Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa kemerdekaan Republik Indonesia tidak diraih atas nama agama, partai atau suku apa, namun kemerdekaan Republik Indonesia dapat diraih dengan adanya persatuan seluruh rakyat Indonesia. Bersatu dalam memerangi penjajah untuk meraih kemerdekaan. Tanpa adanya persatuan mustahil kita dapat memenangkan peperangan dalam mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Bersatu adalah senjata ampuh dalam memenangkan sebuah peperangan. Begitupun saat ini, ketika korona masih menjajah bumi pertiwi, persatuan adalah senjata ampuh yang kita butuhkan. Segenap elemen bangsa harus bersatu padu dalam memerangi korona. Pemerintah sebagai panglima perang harus mampu menunjukkan kekompakkan dalam memberikan instruksi dan arahan. Jangan sampai ada lagi kebijakan yang simpang siur dan tumpang tindih antar lembaga kementerian dan antar pemerintah pusat dan dearah sehingga kami rakyat Indonesia sebagai pasukan di medan perang tidak kebingungan.
Sebagai rakyat Indonesia, kita adalah bagian dari pasukan perang. Sebagai pasukan perang kita pun harus menunjukkan kekompakan. Jika ada warga yang masih ngeyel dan menentang peraturan yang sudah ditetapkan, maka kita wajib menegur dan mengingatkan. Sila ketiga ini mengajarkan kepada kita pentingnya menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sikap inilah yang saat ini benar-benar kita butuhkan. Apapun agama, partai, suku, bahasa dan budaya kita, saatnya kini kita bersatu padu untuk berjuang dalam memerangi korona. Hanya dengan bersatu padu kita optimis bisa memenangkan peperangan ini.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.Salah satu nilai fundamental dari sila keempat ini adalah pentingnya mengutamakan musyawarah dalam mengambil setiap keputusan untuk kepentingan bersama. Dalam mengambil keputusan hendaknya menjunjung tinggi harkat dan mertabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Jika sila keempat ini dapat dimaknai dan dihayati dengan baik, maka para pemimpin kita dalam mengambil setiap kebijakan dalam menangani korona akan melahirkan kebijakan yang berpihak pada kebenaran, keadilan dan keselamatan. Setiap kebijakan yang diputuskan berdasarkan musyawarah akan melahirkan kebijakan yang mencermikan kekompakan dan kesatuan. Bukan sebaliknya, kebijakan yang berbeda-beda, saling tumpang tindih satu sama lain sehingga membingungkan. Sebagai rakyat, kita juga harus mempunyai itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksankan hasil musyawarah. Inilah yang saat ini benar-benar kita butuhkan dalam memerangi virus korona.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bersikap adil kepada sesama pada musim pandemi seperti saat ini adalah hal yang paling utama dan mulia. Korona sudah cukup membuat kita takut dan kalang kabut. Jangan sampai sikap kita membuat mereka yang terdampak korona semakin kalut. Di saat seperti ini sikap kekeluargaan dan gotong royong harus dikedepankan. Sila kelima ini juga mengajarkan kepada kita pentingnya menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; menghormati hak-hak orang lain; suka memberi pertolongan kepada orang lain; menjauhi sikap pemerasaan kepada orang lain, apa lagi sampai nenyalah gunakan dana bantuan sosial (bansos); tidak bergaya hidup mewah ditengah wabah karena masih banyak saudara-sadara kita yang hidup susah; tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan umum seperti enggap menggunakan masker saat bepergian, mengindahkan social distancing dan physical distancing, keluar rumah dan jalan-jalan padahal tidak diperlukan, tidak mematuhi peraturan dan lain-lainnya. Jika nilai-nilai fundamental Pancasila ini dapat kita aktualisakan dalam kehidupan nyata, maka Pancasila akan menjadi senjata ampuh dalam memerangi korona. Mari, saatnya kita sebarkan semangat perjuangan. Dengan Pancasila kita wujudkan perubahan. Peringatan hari lahirnya Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni 2020 ini hendaknya kita jadikan sebagai momentum terbaik kita untuk bangkit, bersatu padu, berjuang melawan penjajahan korona hingga terwujud kemerdekaan.