Menyelaraskan Rasa: Puasa Sebagai Sebentuk Deradikalisasi

Menyelaraskan Rasa: Puasa Sebagai Sebentuk Deradikalisasi

- in Narasi
1324
0

Beberapa waktu yang lalu terbekuklah seorang yang diduga sebagai seorang teroris yang terafiliasi dengan Muhammadiyah, setidaknya, menurut keterangan sementara, orang itu merupakan anggota salah satu ormas keagamaan yang berkecenderungan modernistis tersebut. Beberapa tahun yang lalu, seorang terpidana penarget istana negara, Dian Yulia Novi, juga memiliki hubungan dengan Wijanarko, orang Ponorogo yang notabene berkecenderungan ke ormas keagamaan Muhammadiyah. Dalam hubungan itu, Wijanarko merupakan “makcomblang” dari “perkawinan singkat” Dian Yulia Novi dan Nur Solichin dimana semuanya terhubungkan oleh sosok Bahrun Naim.

Sangat berkebalikan dengan NU dimana selama ini belum ada sama sekali catatan perihal keterlibatan anggota mereka dalam kasus terorisme. Tentu, dalam hal ini saya tak akan membahas karakter NU yang justru karena fiqh-nya menjadikannya lebih menusantara, yang ironisnya—dalam sejarah keagamaan di Indonesia—pernah didamik sebagai biang kejumudan oleh kalangan yang mengklaim sebagai modernis karena diduga anti-kebebasan berpikir.

Secara paradigmatik, fiqh yang hidup dan dihidupi oleh nahdliyin seolah membuat ruang untuk berkecenderungan radikal serasa sempit. Taruhlah kitab Ihya’ karya al-Ghazali, fiqh di sana ternyata dibarengi pula dengan bahasan tasawuf yang pada akhirnya membuatnya terasa fleksibel. Terkadang saya heran dengan kisah al-Ghazali tentang Sahal al-Tustari misalnya, dimana saking mituhu-nya dengan paman sekaligus gurunya, mendawamkan sebuah wirid hingga suatu ketika kepalanya terantuk dahan pohon hingga berdarah.

Kisah dari seorang Sahal ini saya kira cukup menarik untuk menyimak ruang ambang antara fiqh dan tasawuf yang cukup dominan dihidupi oleh kalangan nahdliyin. Dari perspektif fiqh tentu apa yang dilakoni dan dialami oleh Sahal tersebut tak ada rujukannya yang pasti. Sebab jelas, khusyu’ bukanlah wilayah yang digarap oleh fiqh. Atau katakanlah pula tentang ukuran tatma’inul qulub yang disebutkan oleh al-Qur’an. Tentu dalam hal ini fiqh akan bungkam, meskipun nash-nya ada.

Artinya, ruang ambang antara fiqh dan tasawuf inilah yang menjadikan kalangan nahdliyin sangat kecil kemungkinannya untuk bersikap radikal. Ibarat bercinta dengan seorang pelacur dan seorang kekasih, orang-orang radikal cenderung untuk memilih kebiasaan yang pertama, sementara orang yang hidup di ruang tarik-ulur antara fiqh dan tasawuf cenderung pada kebiasaan yang kedua. Analogi ini dapat diteruskan pada masalah cara berkeagamaan dan berketuhanan. Tentu, secara penghayatan, kebiasaan yang kedua lebih diberi ruang untuk berkembang. Tradisi-tradisi wiridan, pujian, ziarah kubur dan bahkan tarekat yang lekat dengan kalangan nahdliyin cukup membuktikan tentang tuntutan tuma’ninah ataupun khusyu’ yang dikatakan oleh al-Qur’an namun tak menjadi syarat utama dalam ilmu fiqh. Dengan kata lain, aspek penghayatan inilah yang saya kira membuat kenapa selama ini belum ada satu pun teroris yang terafiliasi dengan NU.

Radikalisme, tak pelak lagi, adalah sebuah cara bersikap yang sangat jauh dari adanya penghayatan yang menyertainya. Dalam hal ini, Sunan Bagus atau Pakubuwana IV mengartikan apa yang kini disebut sebagai radikalisme keagamaan sebagai sikap beragama dan berketuhanan yang jauh dari perkara rasa.

Sasmitaning ngaurip puniki/ Mapan ewuh yen nora weruha/ Tan jumeneng ing uripe/ Akeh kang ngaku-aku/ Pangrasane sampun udani/ Tur durung wruh ing rasa/ Rasa kang satuhu/ Rasaning rasa punika/ Upayanen darapon sampurna ugi/ Ing kauripanira (Serat Wulangreh).

Isyarat dalam kehidupan ini/ Tak gampang ketika belum wijang/ Tak tegak dalam hidupnya/ Banyak orang yang mengaku-aku/ Sepertinya perasaannya sudah benar/ Padahal sama sekali tak tak tahu rasa/ Rasa yang sejati/ Rasanya rasa itu/ Upayakan agar sempurna/ Dalam kehidupannya.

Seorang Bapak eksistensialisme, Soren Kierkegaard, menamakan rasa dalam beragama dan berketuhanan ini sebagai otentisitas dimana cara beragama dan berketuhanan sarat dengan adanya penghayatan. Seorang teroris yang meledakkan tubuhnya untuk menghabisi orang lainnya tentu bukanlah sebentuk penghayatan atas agamanya dan sungguh jauh dari pesan al-Qur’an terkait dengan tatma’inul qulub. Sebab jelas, tuma’ninah memang erat kaitannya dengan muthmainah yang disebutkan pula oleh al-Qur’an yang jauh dari sikap “masturbasif” (ammarah yang lekat dengan karakteristik radikalisme) dan wis wani wirang (lawwamah, diri yang suka mencela dirinya sendiri yang identik dengan terorisme). Tak ayal lagi, secara pragmatis, puasa yang tengah banyak orang lakoni hari ini adalah adalah sebentuk cara menegakkan sang muthmainah agar dapat kembali dengan rila legawa (ikhlas dan ridha) seperti perasaan yang terkondisikan ketika berbuka puasa—meskipun hanya dengan secangkir kopi dan sebatang rokok. Karena itulah dalam kultur Jawa, secara kerata basa, puasa disebut dengan istilah “pa-sa”: ngepasna rasa (menyelaraskan rasa).

Facebook Comments