Radio Salafi; Upaya Menggerus Paham Aswaja-Nahdliyah di Kalangan Muslim Tradisional

Radio Salafi; Upaya Menggerus Paham Aswaja-Nahdliyah di Kalangan Muslim Tradisional

- in Faktual
20
0
Radio Salafi; Upaya Menggerus Paham Aswaja-Nahdliyah di Kalangan Muslim Tradisional

Perbincangan tentang infiltrasi paham salafi-wahabi kerap kali hanya tersita pada isu tentang penyebaran melalui kanal digital yang menyasar kalangan muslim kelas menengah perkotaan. Alhasil, kita kerap lupa bahwa penetrasi paham salafi-wahabi juga terjadi di kalangan muslim tradisional pedesaan yang sebelumnya dikenal sebagai basis kelompok nahdliyin (pengikut Nahdlatul Ulama).

Dalam beberapa tahun belakangan, terjadi upaya yang masif dari kalangan salafi-wahabi untuk merebut dan menguasasi basis nahdliyin ini. Berbagai upaya dilakukan untuk menggeser paham Aswaja-Nahdilyah di kalangan masyarakat pedesaan. Salah satunya melalui dakwah-dakwah salafi-wahabi yang dilakukan melalui sejumlah stasiun radio.

Ya, radio yang mulai ditinggalkan oleh kalangan kelas menengah perkotaan akibat merangseknya teknologi digital, justru masih menjadi salah satu media informasi bagi masyarakat pedesaan. Di pedesaan, radio masih bertahan karena setidaknya sejumlah faktor. Antara lain, harga yang tergolong murah, mudah dioperasikan oleh orang tua (lansia), dan jangkauannya yang luas. Maka, menjadi wajar jika radio masih menjadi media informasi bagi masyarakat rural alias pedesaan.

Di kalangan masyarakat pedesaan, mendengarkan pengajian di radio masih menjadi salah satu kebiasaan yang langgeng hingga sekarang. Di era 1980 sampai 1990an, penceramah kondang Zainuddin MZ menjadi primadona di radio-radio seluruh Indonesia.

Bagi generasi yang tumbuh di era itu, tentu masih ingat bagaimana suaranya yang khas selalu diperdengarkan saban hari. Biasanya sehabis asar sampai menjelang maghrib. Kini, model dakwah di radio mengalami pergeseran signifikan dengan kian menguatnya gerakan islamisme yang berkecenderungan konservatif.

Kemunculan radio-radio yang terafiliasi dengan gerakan salafisme-wahabisme telah mengubah lansap dakwah keislaman via radio. Kemunculan radio Rodja di 2004 silam telah menginspirasi munculnya radio-radio serupa yang fokus pada dakwah salafi. Antara lain Assunaah FM di Cirebon, Di’aussunnah FM di Cileungsi, Fajri FM di Bogor, Suara al Iman di Surabaya, Al Rayyan di Gresik, Dakwah Salafiyah FM di Ciamis, Hang Radio di Batam, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Radio dakwah salafi bisa dikenali dari ciri khusus. Antara lain, hanya memutar rekaman kajian keagamaan atau talkshow keagamaan tanpa memutar musik dan acara lainnya. Hari ini, nyaris di semua kota besar di Indonesia, ada radio salafi yang khusus menyiarkan seara relay rekaman ceramah ustad-ustad wahabi. Seperti ustad Yazid (alm), Firanda, Badrussalam, Khalid Basalamah, Riza Basalamah, Nurul Dzikri, Elvi Syam, Zainal Abidin, dan lainnya.

Di Jawa Tengah, Radio MTA (Majelis Tafsir Al Quran) yang berpusat di Sukoharjo menjadi salah satu radio salafi yang populer dan memiliki jangkauan luas. Radio itu mengudara nyaris 24 jam, memutar rekaman pengajian MTA yang diselenggarakan setiap Ahad pagi di Markas mereka di Sukoharjo. Siaran itu pula yang dinikmati oleh masyarakat pedesaan dan menembus basis-basis NU.

Padahal, isi ceramahnya sebenarnya sangat bertentangan dengan tradisi NU. Misalnya, terkait pengharaman memakan nasi berkatan acara kenduri atau selamatan orang meninggal. Pengharaman tradisi-tradisi seperti nyadran, dan sejenisnya. Materi pengajian yang seperti itu kerap memicu perpecahan di masyarakat.

Di desa tempat saya tinggal misalnya, kini mulai banyak keluarga yang tidak lagi mengikuti acara yasinan, tahlilan orang meninggal, atau selamatan lainnya. Mereka tetap aktif di acara lain, seperti kerja bakti kampung, atau revonasi masjid, pembagunan jalan dan sebagainya. Bahkan, ketika ada iuran pembangunan fasilitas kampung, mereka menyumbang di atas nominal rata-rata warga lainnya. Fenomena itu muncul sejak mereka mendengarkan dan menjadi jamaah setia MTA.

Uniknya, mereka ini sebenarnya juga merupakan warga nahdliyin yang sejak lahir hidup di lingkungan dengan kultur ke-NU-an yang kuat. Namun, setelah terpapar pandangan salafi melalui radio, perlahan mereka meninggalkan identitas kultural mereka. Beberapa bahkan secara terbuka menyerang tradisi NU seperti ziarah kubur, selametan, nyadran, yasinan, dan sejenisnya sebagai bidah yang mendatangkan dosa.

Fenomena itu bukan tidak direspons oleh kalangan Nahdliyin. Gus Yusud Chudori, kiai muda NU yang terbilang progresif misalnya, mendirikan stasiun radio Fast FM yang berpusat di kediamannya, Tegalrejo, Magelang. Radio ini mengusung prinsip dakwah Aswaja-Nahdliyah. Acaranya tidak melulu dakwah, namun ada konsultasi pertanian, kesehatan, dan juga memutar musik kekinian seperti pop, rock, dangdut, campursari, dan sebagainya.

Kehadiran Fast FM yang dimotori oleh Gus Yusuf ini cukup mampu membendung arus dakwah puritan yang didengungkan oleh radio-radio salafi. Hanya saja memang, jumlah radio berkarakter Aswaja-Nahdliyah ini masih terbatas dengan jangkauan frekuensi yang juga tidak terlalu luas. Meski demikian, kehadiran radio-radio semacam Fast FM itu mampu menghadirkan semacam kontestasi ideologi keagamaan di ruang publik.

Ke depan, infiltrasi paham salafi-wahabi yang anti-tradisi dan gemar membidahkan, bahkan mengkafirkan golongan lain ini perlu dibendung. Kita tidak boleh hany fokus pada perang narasi di media sosial. Sampai kita lupa bahwa kontestasi ideologi keagamaan juga terjadi di udara, melalui gelombang radio.

Facebook Comments