Islam adalah agama sempurna dan telah disempurnakan. Namun, pengertian kesempurnaan Islam seringkali menyempitkan Islam yang sempurna. Kesempurnaan Islam seolah menjadi batas bahwa Islam menolak kebaruan dan pembaharuan. Kesempurnaan justru menjadikan agama ini menjadi ekslusif dengan tidak bisa menerima hal baru yang dituduh sebagai bid’ah dan kesesatan.
Beberapa kelompok dalam Islam memang sering menggemborkan Islam yang sempurna yang menutup kemungkinan inovasi dan pembaharuan. Islam yang murni melalui kemurnian akidah menjadi alat yang membatasi masyarakat dalam berinteraksi dengan kemajuan.
Klaim bid’ah sering menjadi penghambat yang menenggelamkan Islam dalam bayangan masa lalu. Islam dengan kesempurnaannya seolah dibiarkan layu tidak bisa beradaptasi dengan inovasi perdaban. Apa sebenarnya kesempurnaan Islam?
Memaknai Kembali Kesempurnaan Islam
Islam adalah agama yang telah Allah sempurnakan, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Ma’idah ayat 3: “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…”
Ayat ini sering dijadikan dasar bahwa Islam adalah sistem hidup yang lengkap dan universal. Namun, kesempurnaan ini tidak berarti menutup diri terhadap inovasi, pembaharuan, atau budaya yang berasal dari luar Islam. Sebaliknya, Islam memberikan ruang bagi kreativitas dan adaptasi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat.
Para ulama menafsirkan ayat di atas dengan menekankan bahwa kesempurnaan Islam terletak pada kelengkapan prinsip-prinsipnya yang mencakup segala aspek kehidupan, baik spiritual, sosial, ekonomi, maupun politik. Syekh Yusuf Al-Qaradawi, misalnya, menjelaskan bahwa kesempurnaan Islam berarti bahwa Islam memberikan prinsip dasar untuk setiap masalah kehidupan, tetapi tidak berarti Islam melarang inovasi atau pembaharuan dalam urusan duniawi.
Kalangan ulama fikih menegaskan pentingnya ijtihad dalam menghadapi persoalan baru. Hukum-hukum Islam bersifat fleksibel untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman selama sesuai dengan maqashid syariah (tujuan syariat). Kesempurnaan Islam tidak menolak hal baru, tetapi justru memberikan pedoman agar umat dapat memanfaatkannya secara produktif dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Kesempurnaan Islam melalui Dialektika Peradaban
Sejak masa awal, Islam telah berinteraksi dengan berbagai budaya dan peradaban. Prinsip Islam dalam menghadapi budaya lain adalahtashfiyah(pemurnian) dantarbiyah(pendidikan). Unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan tauhid dihilangkan, sedangkan unsur-unsur positif diadopsi dan disesuaikan dengan ajaran Islam.
Pada masa Umar bin Khattab, sistem administrasi Persia diadaptasi untuk mengelola wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas. Sistem ini membantu pemerintahan Islam menjadi lebih efisien tanpa mengorbankan nilai-nilai syariat.
Pada masa Abbasiyah, Islam mengalami kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan. Khalifah Al-Ma’mun mendirikanBaitul Hikmahdi Baghdad, yang menjadi pusat penerjemahan karya-karya Yunani dan Persia. Para ulama seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Khawarizmi mempelajari dan mengembangkan ilmu tersebut sehingga melahirkan ilmu baru yang bermanfaat bagi umat manusia.
Islam juga mengadopsi elemen seni dan arsitektur dari Bizantium, seperti penggunaan kubah besar dan mozaik. Contohnya adalah Masjid Kubah Batu di Yerusalem yang dirancang dengan gaya arsitektur Bizantium tetapi dihiasi dengan kaligrafi Al-Qur’an, mencerminkan identitas Islam.
Di Indonesia, Wali Songo menggunakan pendekatan budaya lokal untuk menyebarkan Islam. Mereka menggunakan seni seperti wayang, gamelan, dan tradisi selametan untuk mendekatkan ajaran Islam kepada masyarakat. Pendekatan ini berhasil mengislamkan Nusantara tanpa konflik besar.
Membongkar Kejumudan melalui Inovasi Peradaban Islam
Islam yang hadir saat ini adalah Islam yang telah melintasi berbagai ruang dan waktu. Islam murni bukan berarti Islam yang menampilkan kejumudan dan menolak hal baru. Kemurnian Islam terletak pada komitmen terhadap prinsip dasar kesempurnaan Islam.
Islam mengenal konsep ijtihad, yaitu upaya menggali hukum baru untuk menjawab persoalan kontemporer yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits. Ijtihad ini sangat relevan untuk menghadapi tantangan modern. Dengan ijtihad Islam dan umat bisa berdialog dengan dunia kesehatan, perbankan, teknologi, kebudayaan dan masyarakat digital saat ini.
Ijtihad dan inovasi peradaban selalu berpegang pada maqashid syariah. Selama inovasi memenuhi maqashid syariah, Islam membuka ruang yang luas untuk pembaharuan. Karena itulah, sebuah ketinggalan zaman jika umat Islam masih mempersoalkan bolehkah memakai bedug di masjid sebagai penanda masuk shalat? Sekarang bukan lagi bedug, setiap orang mempunyai ponsel yang mengingatkan waktu shalat, apakah itu bid’ah?
Bolehkah menggunakan tasbih dalam dizkir? Sekarang bukan hanya tasbih ada alat digital lain yang digunakan dalam menghitung dzikir, apakah itu bid’ah? Bolehkah berdzikir jamaah? Sekarang era media sosial, bukan saatnya mempersoalkan dzikir berjamaah, tetapi bagaimana Islam menjangkau dzikir di media sosial.
Banyak sekali persoalan kontemporer dan umat Islam dengan klaim kesempurnaan dan Islam murni masih berkutat tentang unta, kurma, tasbih dan barang konvensional lainnya. Para filusuf, mujtahid dan cendikiawan masa lalu telah berselancar dalam dunia pengetahuan Yunani, Persia, dan Romawi, sementara umat Islam saat ini mau mengisolasi Islam hanya dalam konteks padang tandus di Arab Saudi masa lalu?
Kesempurnaan Islam bukanlah hambatan untuk menerima inovasi, tetapi justru menjadi fondasi kuat untuk mengarahkan inovasi agar bermanfaat dan tidak menyimpang dari nilai-nilai agama. Sejarah Islam menunjukkan bahwa adaptasi terhadap peradaban lain tidak hanya memungkinkan Islam bertahan, tetapi juga menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.