Bulan suci ramadan tahun 2018 ini penuh guncangan. Bom di Surabaya dan Sidoarjo menjadi duka mendalam bangsa, karena terorisme sudah sangat mencekam, bahkan sampai keluarga menjadi pelaku teror. Ini tantangan kemanusian yang harus segera dijawab umat Islam Indonesia, karena agama Islam tidak mengenal kekerasan dan kekejaman.
Dari sini, ramadan menjadi momentum sangat tepat dalam menata kembali wajah peradaban bangsa Indonesia. Peradaban yang dibangun umat Islam merupakan penjernihan ulang, reaktualisasi dan kontekstualisasi atas ajaran agamanya. Peradaban Islam yang agung itu lahir dengan jejak penuh getir, hasil ramuan para filosof, teolog, ulama, sastrawan, dan para negarawan. Semua saling berakit melakukan beragam gerakan penuh terobosan dalam berbagai segi kehidupan, utamanya ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan pendidikan. Warisan peradaban Islam ini tak lain merupakan manifestasi mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada umat Islam: Iqra! (bacalah!).
Mukjizat Iqra! inilah, menurut Prof. Kiai Yudian (2010), yang akan memberikan ledakan keilmuan yang membuat pembaca bisa jadi tercengang-cengang. Belajar dari warisan peradaban Islam masa silam, spirit Iqra! Menjadi pendobrak awal untuk memulai sebuah petualangan intelektual. Membaca akan mengajak pembaca untuk melakukan petualangan ke segala penjuru semesta pengetahuan tanpa batas. Aktivitas membaca juga berhak dilakukan siapa saja, tanpa peduli latar belakangnya.
Ledakan Iqra! telah menelurkan para pemikir Islam yang memberikan sumbangsih sangat besar bagi kemajuan peradaban dunia. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, misalnya, karena etos membacanya, ia menjadi pemikir yang berjasa besar bagi perkembangan kajian hukum Islam (islamic law). Al-Syafi’i mampu membangun kompromi pemikiran moderat yang mensinergikan peradaban teks di Madinah dengan peradaban rasio di Irak.
Sejarah peradaban Islam telah mengabarkan bahwa pembelajaran ramadan mampu menjadikan umat Islam menggapai kemenangan demi kemenangan. Walaupun dengan sedikit kekuatan, umat Islam terbukti menjadi pemenang (the winner) ketika perang Badar. Perang Badar ini terjadi pada bulan Ramadhan. Perang Badar dianggap sebagai perang terbesar dan kemenangan terbesar yang diraih umat Islam di awal pertumbuhannya di Madinah.
Kemenangan juga diraih umat Islam pada bulan Ramadhan ketika Fathu Makkah yang terjadi pada tahun ke delapan hijrah. Jihad ini merupakan kemenangan untuk menghancurkan tuhan-tuhan berhala dan menancapkan panji kebenaran. Pada Ramadhan tahun 15 Hijrah, terjadi perang Qadisiyyah dimana orang-orang Majusi di Persia ditumbangkan. Pada Ramadhan tahun 53 Hijrah, umat Islam memasuki pulau Rhodes di Eropa. Pada bulan Ramadhan tahun 91, umat Islam memasuki selatan Andalusia (Spanyol sekarang). Pada Ramadhan tahun 92 H., umat Islam keluar dari Afrika dan membuka Andalus dengan komandan Thariq bin Ziyad.
Pada Ramadhan tahun 361 H., dimulainya pembangunan Masjid Al-Azhar yang kelak menjadi universitas Al-Azhar di Kairo. Kelak, setelah berdirinya Universitas Al-Azhar ini, umat Islam di berbagai penjuru dunia akhirnya mendirikan universitas. Dari lembaga pendidikan yang tersebar inilah, warisan peradaban Islam bisa terus dinikmati sampai sekarang, warisan nilai keluhuran terus menancap dalam hati umat Islam, semangat menegakkan kebenaran juga terus berkobar tanpa henti, dan terus terlecut untuk menjadi pemain utama dalam proses pembentukan peradaban dunia.
Momentum Strategis
Ramadan menjadi momentum umat Islam untuk merumuskan arah masa depan peradabannya. Terlebih dengan proses pembelajaran ramadan, momentum kebangkitan peradaban layak menjadi semangat yang terus dinyalakan dalam hati umat Islam. Menurut Abdul Manan (2010), menumbuhkan percaya diri menjadi kunci utama bangkitnya kembali peradaban Islam di muka bumi. Ini sangat penting, agar ajaran Islam mencapai kesempurnaan dalam semua aspek kehidupan manusia. Sehingga, umat bisa mendapatkan orang-orang terpilih dan sekaligus representatif untuk mempresentasikan di hadapan seluruh umat manusia.
Menurut Mannan, superioritas itu, seperti tecermin dalam ajaran Alquran, yakni terletak pada kesempurnaan spiritual dan intelektual seseorang. Tentunya akan dimanifestasikan dalam bentuk akhlak dan perilaku serta sikap hidup yang Islami. Selain itu, superioritas juga bisa diwujudkan dalam aspek-aspek sosial, seperti kekuasaan, materi, dan hal-ikhwal dunia lainnya. Tanpa memiliki superioritas, lanjut Mannan, kebesaran ajaran Islam hanya akan diselubungi kebodohan kaum Muslim, yang pada gilirannya komunitas dari peradaban lain akan meremehkan ajaran Islam itu sendiri tanpa mengkajinya secara objektif.
Dalam konteks ini, menarik yang diungkapkan Malik Bennabi (1905-1973) untuk direfleksikan bagi umat Islam Indonesia. Bennabi mengatakan: “Dunia Islam (akan) beralih dan tunduk pada tarikan gravitasi Jakarta (Indonesia), sebagaimana ia pernah tunduk pada tarikan gravitasi Kairo dan Damaskus”. Pernyataan ini terkesan sarkastik, tetapi bila dirunut secara reflektif, justru bisa menjadi momentum membangun Islam Indonesia sebagai pelopor menjadikan Islam sebagai agama peradaban yang damai dan menyejukkan.
Sebagai agama peradaban, menurut Bennabi, perspektif Islam memandang bahwa keefektifan suatu pemikiran dan ajaran agama adalah dalam kerangka sosial, perubahan, pembentukan karakter individu-individu dan apa yang dapat dihasilkannya dalam sejarah. Dalam pengertian ini, Islam dapat berperan sebagai katalisator unsur-unsur penting peradaban: manusia, tanah, dan masa (waktu).
Islam akan hadir sebagai agama yang praktis dan yang lebih menekankan pengamalan dimensi-dimensi sosialnya, bukan agama menghabiskan energi dan masa hanya untuk membuktikan kebenaran dirinya. Ajaran Islam adalah ajaran yang otentik dan benar, yang tidak perlu banyak untuk dibuktikan kebenarannya secara teoritis tetapi dengan mengamalkannya dalam kehidupan dan memperlihatkan ke-dinamis-annya dalam kehidupan praktis. Keimanan harus berdimensi sosial, karena ketika ia hanya sebagai fenomena pribadi risalahnya akan putus ditelan bumi dan menjadi keimanan para rahib.
Islam memang harus dilihat secara utuh sebagai agama yang memiliki fungsi sosial, sebagai katalisator dan prinsip moral bagi aktifitas akal dan aksi ‘manusia masyarakat’ sehingga mengantar pada kebangkitan kembali peradaban Islam yang toleran dan berkedaban.