Suatu ketika, Tsumamah bin Itsal, lelaki asal Yamamah, pergi ke Madinah. Ingin membunuh Rasulullah Saw menjadi misi besarnya. Persenjataan telah disiapkan dengan matang. Masuk Madinah, majelis junjungan umat Islam itu menjadi tujuan guna menemukan buruannya.
Menangkap gelagat lelaki yang mencurigakan, insting Umar bin al-Khaththab mencium ada yang tidak beres. Tsumamah lalu dihadangnya. “Apa tujuanmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?” tanya Umar menginterogasi.
“Aku ke sini untuk membunuh Muhammad!” jawabnya tanpa ragu, sekaligus menantang.
Lelaki pemberani itu begitu membenci putera Abdullah dan Aminah. Penyebaran ajaran Islam menjadi akar kebenciannya yang memuncak. Tak heran, keinginannya membunuh Rasulullah Saw begitu besar. Menjadi cita-cita hidupnya yang tak mudah dipadamkan. Keberhasilan membunuhnya dinilai sebagai kebaikan puncak.
Tak ingin kecolongan, Umar yang dikenal sebagai pegulat tangguh itu langsung menangkap dan meringkusnya. Kalah perkasa, Tsumamah tak berkutik dibuatnya. Tak kuasa lelaki Yamamah itu melepaskan pitingan Umar sang Singa Padang Pasir. Tangannya diikat. Senjatanya dilucuti. Umarpun menggiringnya ke masjid. Setelah diikat di tiang masjid, Umar melaporkannya pada Rasulullah Saw.
Oleh Rasulullah Saw, dipandangnya wajah lelaki Yamamah yang mengancam nyawanya itu dengan seksama. Tidak terlihat kebencian sedikitpun di wajahnya yang ramah. Tidak ada bentakan dari mulutnya. Juga tidak ada kekerasan dari tangan atau kakinya. Juga tidak ada instruksi pada shahabat-shahabat untuk mengeksekusinya.
“Apakah kalian sudah memberinya makan?” tanya Rasulullah Saw pada para shahabatnya.
Pertanyaan yang ganjil dan janggal. Tidak sesuai konteks peristiwanya. Di tengah ancaman kematian yang mengerikan, Rasulullah Saw justru menanyakan soal makan. Pertanyaan yang bikin kaget dan tidak dimengerti para sahabatnya. Padahal, Umar menunggu-nunggu Rasulullah Saw segera memberinya aba-aba untuk memancung lehernya.
“Makanan apa wahai Rasulullah Saw? Dia datang ingin membunuhmu, bukan ingin masuk Islam!” sergah Umar keheranan.
“Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku dan buka tali pengikatnya,” pinta Rasulullah Saw mengacuhkan pertanyaan sahabatnya itu. Dengan penuh heran, tentu Umar mematuhi instruksi kekasihnya.
“Ucapkanlah la ilaha illa Allah,” pinta Rasulullah pada lelaki Yamamah.
“Aku tidak sudi mengucapkannya!” jawabnya ketus.
“Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah,” pinta Baginda lagi dengan kelembutan.
“Aku tidak akan mengucapkannya!” tegasnya lagi.
Yang menyaksikan geram. Marah. Juga gregetan. Begitu jengkelnya mereka mendengar jawaban-jawaban ketus itu. Uniknya, dan ini yang membuat sahabat tidak habis pikir, Rasulullah Saw justru melepaskannya dan memintanya segera meninggalkan Madinah. Tsumamah bangkit. Baru beberapa langkah meninggalkan masjid, ia bersuara: “Wahai Rasulullah, aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.”
Semua kaget. Rasulullah Saw tersenyum. “Mengapa engkau baru mengucapkannya?’ tanyanya.
“Ketika belum engkau bebaskan, aku tidak mengucapkannya, khawatir dianggap aku masuk Islam karena takut padamu. Setelah engkau bebaskan, aku mengucapkannya semata-mata karena mengharap ridha-Nya,” jawabnya menggetarkan batin.
Inilah rahasia permintaan makan oleh Rasulullah Saw, yang tidak dimengerti para sahabatnya. Andaikan pembencinya dibunuh seketika itu, maka kematiannya tetap dalam kemusyrikan. Hatinya tetap menyimpan kebencian dan dendam. Dengan memberinya pemaafan dan kasih sayang, kebaikan justru merasuk dalam dirinya. Dengan suka rela, ia memasrahkan dirinya pada ajaran kebaikan. Inilah dakwah dengan kesantunan, yang diajarkan Rasuulllah Saw.
“Ketika memasuki Madinah, tidak ada yang lebih aku benci selain Muhammad. Setelah meninggalkan Madinah, tidak ada yang lebih aku cintai selain Muhammad Saw,” saksinya suatu ketika.
Sejujurnya, banyak sekali ujaran kebencian kelompok di luar Islam saat itu yang dialamatkan pada Tuhan kaum muslim, Rasul-Nya, al-Qur’an maupun kepada kaum muslim itu sendiri. Khusus kepada Rasulullah Saw, selain ujaran kebencian atau hinaan, sangat sering beliau menerima ancaman atau gangguan fisik, termasuk upaya pembunuhan seperti yang dilakukan oleh lelaki Yamamah itu.
Oleh musuh-musuh Islam kala itu, Rasulullah Saw juga dituduh dan dihina sebagai sahir kadzdzab/penyihir dusta (Qs. Shadd [38]: 4), sya’ir majnun/penyair gila (Qs ash-Shaffat [37]: 36], orang yang hina (Qs. Hud [11]: 27), pengikutnya orang-orang hina (Qs. asy-Syu’ara [26]: 111], orang-orang sesat (Qs. al-Muthaffifin [83]: 32), dan sebagainya. Masih banyak lagi bentuk hinaan yang terus dialami oleh Islam dan pemeluknya.
Pertanyannya, apa yang dilakukan Rasulullah Saw pada pembencinya? Tak ada lain selain memaafkan, sebagaimana dilakukannya pada lelaki Yamamah. Rasulullah Saw lebih memilih menahan emosi lalu memaafkannya, bukan menghukum atau membalasannya. Inilah ajaran luhur Islam sesungguhnya. Memberi maaf semestinya lebih diutamakan, ketimbang pembalasan.
“Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat pada takwa,” firman Allah Swt dalam Qs. al-Baqarah [2]: 237). Dalam ayat lain; “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (Qs. An-Nur [24]: 22). Juga, “Maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada. Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya)” (Qs. al-Ma’idah [5] : 13).
Orang yang mampu memaafkan hinaan dan cacian atau bahkan ancaman pihak lain, adalah orang yang kokoh psikologinya, sehat jiwanya, tenang kehidupannya, baik hubungannya dengan pihak lain dan tidak banyak mengalami konflik. Untuk itu, Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang kuat bukanlah yang menang bergulat, melainkan yang mampu mengendalikan diri ketika marah”. (HR. al-Bukhari).
Untuk itu, umat Islam semestinya lembut pada pembenci. Sayang pada penghina. Bencilah perilakunya, namun hargai posisinya sebagai manusia makhluk Allah Swt. Jangan mudah terpancing amarah dan gegabah bereaksi atas tindakan pihak lain yang meyinggung. Inilah yang akan menghadirkan simpati dan menyelamatkan umat muslim di hadapan Allah Swt.
Haritsah bin Wahb al-Khuza’i mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian siapa penduduk syurga? Yaitu setiap orang yang lemah lagi diremehkan. Sekiranya bersumpah atas nama Allah, niscaya ia diijabahi. Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penduduk neraka? Yaitu setiap orang yang keras lagi kasar, bakhil dan sombong.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Kiranya, begitu pentingnya berlapang dada memaafkan kekeliruan pihak lain. Sebab, pendendam itu berpotensi memiliki peningkatan kekentalan darah, ketegangan otot, tekanan darah tidak stabil, bahkan cenderung stres. Ini tidak terjadi pada pemaaf. Itu sebabnya, Rasulullah Saw lebih memilih memaafkan para musuhnya ketimbang menuruti dendamnya, kendati bukan berarti beliau sama sekali tidak pernah marah.