Indonesia Damai dengan Merawat Keberagaman SARA

Indonesia Damai dengan Merawat Keberagaman SARA

- in Narasi
2221
0

Negeri kita tidak dikatakan Indonesia jika tak ada keberagaman suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Dengan kata lain, justru keberagaman itulah pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya untuk memainkan keberagaman menjadi mesin pemecah belah, adalah upaya makar yang wajib hukumnya bagi setiap warga negara untuk melawannya.

Bangsa Indonesia mestinya telah banyak belajar dari kasus-kasus yang pernah terjadi, kaitannya dengan SARA yang dimainkan. Baik itu dalam momentum perebutan jabatan politik, yang menggoreng isu SARA untuk menghantam lawan politiknya, maupun paham radikalisme yang alergi perbedaan. Kita harus sama-sama merenungkan, kelompok atau perseorangan yang gemar mengadu domba, patut diwaspadai. Kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan memaksakan kebenaran itu kepada orang lain, juga mesti diwaspadai. Karena semua itu akan merusak tenun perdamaian yang telah dijahit dengan peluh dan darah oleh para bapak bangsa.

Agaknya kita bisa belajar dari deklarasi Makkah, yang mengusung semangat perdamaian. Meski deklarasi tersebut berbicara dalam konteks Irak (konflik Sunni dan Syi’ah), tapi poin-poin yang dipaparkan bisa kita renungkan, lalu dijadikan prinsip dalam memberlakukan berbedaan yang ada di Indonesia. Menjadi penting, lantaran kian hari perbedaan semakin meruncing, dan sewaktu-waktu bisa mengarah pada konflik terbuka.

Dari 10 point yang disepakati para ulama dalam deklarasi tersebut, saya hanya mengambil beberapa saja, yang dalam pertimbangan pribadi amat sesuai dengan kondisi Indonesia. Pada poin kelima (Rahmat: 2007) disebutkan, setiap tindakan yang menyulut provokasi berkenaan dengan masalah-masalah sensitif seputar etnis, mazhab, letak geografis, atau perbedaan bahasa harus dijauhi dan dihindarkan. Begitu juga pelabelan (menyebut kelompok-kelompok tertentu dengan nama yang tidak baik), pelecehan, penggunjingan, atau fitnah yang dibuat oleh satu kelompok untuk menyerang kelompok lainnya harus ditiadakan.

Poin dalam deklarasi tersebut agaknya bisa kita terapkan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Bahwa seringkali konflik bermula dari saling menggunjing dan melecehkan pemeluk agama atau kepercayaan lain. Sehingga yang awalnya dalam tataran lisan, berkembang menjadi adu fisik. Karena itu, menghindarkan diri dari kebiasaan melecehkan orang lain lantaran beda agama atau keyakinan, adalah upaya merawat kedamaian. Demikian juga dengan perbedaan etnis, ras, dan golongan.

Adapun pada poin keenam, disebutkan bahwa ada prinsip-prinsip dasar yang mesti dikedepankan, yakni persatuan, persaudaraan, ukhuwah, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Semua ini mesti dijaga dan dilindungi dari upaya apa pun untuk meruntuhkannya.

Artinya, upaya menghindari pelecehan terhadap orang yang secara SARA berbeda dengan kita, semata-mata dilandasi prinsip persatuan dan kesatuan. Sehingga, akan tercipta suasana hidup yang damai dan mendamaikan. Hidup yang damai, meniscayakan terciptanya persatuan dan kesatuan. Meski berbeda, sebagaimana semboyan kita, tetapi tetap satu jua.

Saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran juga bisa dipahami dalam rangka menjaga perdamaian dan kesatuan. Terlebih di era digital, yang memudahkan orang untuk berbagi informasi di media maya. Kemudahan akses internet mestinya bukan digunakan untuk menebar virus kebencian atas dasar perbedaan SARA, melainkan untuk saling menasihati dalam kebaikan. Kebaikan di sini diartikan sebagai kebaikan bersama sebagai warga negara Indonesia, yakni setiap orang berhak untuk hidup nyaman dan tidak diperlakukan diskriminatif.

Perbedaan adalah suatu yang niscaya dan sudah digariskan Tuhan. Karenanya, sudah menjadi tugas kita untuk merawat perbedaan tersebut, sehingga tidak menjadi pemicu konflik, melainkan alat pemersatu bangsa. Merawat keberagaman SARA, berarti mengupayakan Indonesia damai.

Facebook Comments