Relasi Radikalisme dan Agama

Relasi Radikalisme dan Agama

- in Narasi
2241
0

Irisan antara dunia maya dan dunia nyata yang semakin melebar membawa dampak pada kondisi masyarakat saat ini. Kecepatan perkembangan teknologi memberikan keuntungan pada kita untuk mengetahui informasi di wilayah mana pun. Meskipun kecanggihan teknologi tersebut telah menyilaukan perhatian kita dengan keunggulan yang dimilikinya, namun tak dapat dipungkiri persoalan pun ikut melekati-nya. Sejumlah isu dan persoalan yang muncul di dunia nyata dengan gampang tersiar di dunia maya. Dengan kecepatan teknologi tersebut sejumlah isu yang ada bahkan sampai tergiring ke arah pembohongan yang bertujuan sangat radikal.

Seperti diketahui bersama, belakangan persoalan yang gampang untuk menjadi populis baik di dunia maya atau pun di dunia nyata adalah apa pun yang berkaitan dengan agama. Terlebih lagi bila hal tersebut memiliki kaitan dengan hal hal bermuatan negatif. Persoalan ini mulai terasa tatkala arus reformasi berhasil menggantikan rezim orde baru yang telah lama berkuasa.

Apakah persoalan ini memang dikarenakan kemajuan teknologi? Tentu saja sangatlah naïf bila kita menjawabnya iya dengan lugas. Sebab hal tersebut seolah mengabaikan peran manusia yang bukan hanya sebagai konsumen namun juga sebagai aktor produsen yang memberikan pengaruh atas hal tersebut. Tentu ada sebuah bandul pendorong yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Dalam hal ini, kita sejenak melihat dunia maya hanya semata sebagai alat yang ampuh untuk meng-amplifikasi konten radikal ke masyarakat lain.

Guna mengetahui bagaimana relasi agama dan radikalisme dalam kehidupan manusia, maka sangat tepat bila kita kemudian meminjam konsep yang ditawarkan oleh Hasenclever dan Rittberger(2000, 641-674). Dalam gagasannya Hasenclaver dan Rittberger melihat bahwa terdapat beberapa pola hubungan radikalisme dan agama.

Hasenclever dan Rittberger mengungkapkan bahwa terdapat tiga jenis pola hubungan antara radikalisme dan agama. Yang pertama adalah pola Primordialis. Bila bolehmelakukan reduksi atas konsep yang telah mereka bangun, maka secara sederhana dapat diartikan bahwa agama berperan utama dalam pembentukan konflik di masyarakat. Hal ini terjadi sebab dalam beberapa kejadian terlihat bahwa agama dapat menjadi pendorong yang kuat hadirnya konflik. Penyebabnya antara lain adalah adanya doktrin agama mengenai kebenaran yang absolut, doktrin perang dan zaman yang ideal, hingga kepatuhan mutlak terhadap pemimpin.

Yang kedua adalah pola Instrumentalis, di mana bentuknya berbanding terbalik dengan yang pertama. Dalam pola ini nampak bahwa agama menjadi alat bagi pihak tertentu untuk dapat mengejawantahkan kepentingan. Aspek politis-lah yang kerap menjadi pelanggan tetap pola ini. Dalam pola ini, memang agama tidak memiliki kekuatan pendorong untuk memunculkan konflik. Agama hanya berlaku sebagai alat yang digunakan untuk memicu konflik, di mana sejatinya persoalan lain-lah yang menjadi akar sebenarnya. Melalui Aspek agama, konflik yang ada dapat semakin teramplifikasi sebagai konflik komunal. Akhirnya aktor intelektual yang berhasil bermanuver dengan aspek ini bisa memperoleh keuntungan.

Lalu yang terakhir adalah pola konstruktivis. Dalam pola ini terdapat kompleksitas yang jauh lebih rumit dibandingkan dua pola sebelumnya. Secara sederhana, ide yang dibangun seolah hanya berupaya untuk menggabungkan antara pola primordialis dan instrumentalis. Namun sejatinya dalam pola ini kita diingatkan bahwa kedua hal tersebut memiliki kekuatan untuk saling tarik menarik sekaligus juga untuk saling melepaskan. Agama dapat meligitimasi kekerasan bila faktor konstruksi sosial dan politik pun ikut berperan membarikan dukungan, demikian pula sebaliknya. Lalu agama pun dapat berperan mendelegitimasikan kekerasan bila konstruksi sosial dan politik yang ada tidak ikut menyokong.

Pemunculan Pola-pola hubungan seperti di atas tidak bertujuan hanya menghadirkan masalah. Tujuan dari hal ini adalah untuk mengingatkan kita bahwa secara kritis kerapuhan aspek agama bila ditarik relasi secara sosiologis dengan radikalisme juga memunculkan kebengisan dalam hidup manusia. Meskipun demikian, agaknya tawaran melihat agama dari aspek sosial terutama secara kritis mungkin masih sulit dilakukan, apalagi bila harus dilakukan di negara kita. Namun perlu diketahui bahwa opsi ini perlu juga dipertimbangkan agar kita tidak tenggelam dalam ketakjuban berlebihan yang bermuara pada intoleransi hingga pemusnahan massal.

Melalui tawaran dari opsi ini, kita pun tetap dimungkinkan mendudukkan cara berfikir kita pada ruang kereligiusan. Sebab melalui cara ini akhirnya kita diajarkan untuk mengakui adanya sejumlah ancaman atas keragaman yang ada. Hal yang jangan pernah kita lupakan adalah keragaman masyarakat sejatinya sebuah kenyataan historis. Kesejatian hidup manusia diperoleh salah satunya adalah dengan memberikan pengakuan atas hal ini. Proses penyeragaman atas keberagaman yang ada, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap berkah Ilahi yang telah lama ada.

Facebook Comments