Dahulu, orang yang hendak belajar agama harus bertemu langsung (tatap muka) dengan guru atau kyai. Sekarang, informasi, bahkan kajian keagamaan sudah banyak yang bertebaran di ruang-ruang internet, mulai dari berbasis website, media dalam jaringan (darling), hingga live. Sehingga, belajar agama bisa kapan dan di mana saja tanpa terbatas ruang dan waktu.
Harus diakui bahwa kemajuan teknologi itu memudahkan masyarakat dalam memahami dan mendalami ajaran-ajaran keagamaan. Disebut memudahkan karena bisa diakses sambil bekerja atau istirahat. Kemudian apa yang kita cari dan tanyakan hampir semuanya ada jawabannya. Maka beragama sekarang tinggal ketik, muncullah kyai baru, yakni “mbah google”.
Akan tetapi, siapa sangka. Dunia maya seiring berjalannya waktu justru dunia maya menimbulkan dampak negatif yang luar biasa. Benih-benih radikalisme dan penyesatan dengan iming-iming “pahala” dan uang pun mampu menghipnotis masyarakat. Selain itu, konten negatif propaganda tumbuh subur memenuhi sampah-sampah konten media sosial dan lain sebagainya.
Jika dilesik lebih dalam, ada banyak hal negatif dari cara belajar agama via dunia maya. Pertama, dunia maya banyak konten sampahnya. Dalam teori logika ada istilah Argument from ignorance. Teori ini mengatakan bahwa menganggap sesuatu benar karena belum dibuktikan salah. Sebaliknya, suatu itu salah karena belum ada bukti yang benar. Sebagai contoh, rasulullah memerangi orang kafir secara keseluruhan. Yang demikian itu termasuk kesesatan logika. Memang benar Rasulullah memerangi orang kafir tetapi kafir yang tidak taat dan ingkar janji (kafir harbi). Masih banyak kesesatan-kesesatan yang dibangun oleh kelompok tertentu guna mempengaruhi sekaligus mencuci otak (brain washing) dengan logika yang seolah masuk akal tapi, sekali lagi menyesatkan.
Apalagi google dan lain sebagainya itu tidak pernah menyeleksi kapasitas dan otoritas penulis. Akibatnya orang yang tidak tahu-atau tidak ahli dalam bidangnya pun bisa menulis dengan sesuka hati. Bahkan, digoogle, kita bisa mencari dan mendapatkan dalil bahwa muslim boleh makan daging babi.
Kedua, ladang perekrutan gerakan radikal. Sangat tidak disarankan bagi seseorang yang belum kuat iman dan dalam pemahaman tentang keagamaannya untuk belajar agama via dunia maya. Mengapa demikian? Saat ini, internet, baik medos maupun website banyak yang mengandung konten radikal. Menjelang akhir tahun lalu, Kominfo kembali menambahkan daftar situs yang diduga menyebarkan SARA dan radikalisme.
Temuan Kominfo ini mencerminkan bahwa media sosial maupun beberapa situs diorientasikan untuk merekrut warga dalam kelompok radikal. Dan terbukti, banyak warga Indonesia yang ikut bergabung bersama gerakan ekstrimis seperti ISIS. Setelah ditelisik, ternyata mereka bergaubung melalui media sosial seperti facebook dan sejenisnya.
Ketiga, korban propaganda. Lindley Macnaghten Fraser (1904-1963), mencoba mendefinisikan arti propaganda, yaitu aktivitas atau seni mengajak atau menyebabkan orang lain berperilaku sedemikian rupa yang tidak akan dilakukan tanpa adanya propaganda tersebut. Sementara itu, unsur-unsur propaganda adalah media. Sebagaimana disinggung oleh Anton Prasetyo dalam artikel sebelumnya, “ Mengimbangi Propaganda di Dunia Maya”, (Jalandamai.org/22/2). Bahwa kelompok radikalis mem-frameberita-berita yang ada sehingga terkesan benar. Memutar balikkan fakta adalah cara yang lazim digunakan kelompok yang ingin mengadu domba kelompok satu dengan lainnya.
Nah, kondisi konten propaganda yang sudah semakin menjalar dan menyebar ini semakin berbahaya jika masyarakat hanya belajar agama di dunia maya. Artinya, sosok yang dijadikan rujukan bukanlagi ulama, melainkan “ulama abal-abal” yang gemar menebar benih-benih propaganda dalam dunia maya. Sekali lagi, ini sangat bahaya di tengah kondisi dimana masyarakat lebih banyak belajar agama via dunia maya.
Melalui uraian singkat ini, penulis hendak menegaskan bahwa masyarakat harus cerdas dalam bermedia. Belajar agama via dunia maya jangan dijadikan sebagai prioritas. Tidak ada yang melarang bahkan ulama dan gama sekalipun untuk tidak mencari ilmu pengetahuan agama melalui internet dan sejenisnya. Akan tetapi, langkah ini, sekali lagi, harus diimbangi dengan pemahaman keagamaan yang dalam. Sehingga tidak hanyut dalam radikelisme dan ajaka-ajakan yang terkadang membius itu.
Lebih lanjut lagi, bagi para da’i-da’i muda agar menghadirkan media yang mencerahkan dan juga mengimbangi konten-konten negatif yang kerap diakses masyarakat. Bersamaan dengan itu, masyarakat harus kita kawal dan edukasi agar mereka benar-benar menjadi kader damai dan menebarkan benih-benih cahaya kejujuran, perdamaian dan mencerdaskan.
Mengakhiri uraian ini, penulis ingin menegaskan bahwa belajar agama via dunia maya memang perlu, tetapi sebagai “pelengkap” dan memantabkan ilmu pengetahuan dari kajian ulama dan kyai. Wallahu a’lam bi al-shawab.