Resolusi Tahun 2020: Menyemarakkan Toleransi dan Anti Radikalisme

Resolusi Tahun 2020: Menyemarakkan Toleransi dan Anti Radikalisme

- in Narasi
523
2
Resolusi Tahun 2020: Menyemarakkan Toleransi dan Anti Radikalisme

Di tahun 2020 bangsa Indonesia memiliki hajat demokrasi yaitu Pilkada di 270 daerah. Pilkada 2020 terdiri dari 9 Pilgub, 224 Pilbub dan 37 Pilwalkot. Harapannya Pilkada 2020 bisa belajar dari pesta demokrasi tahun 2019. Pemilu 2019 saat Pilpres sangat melelahkan, penuh emosi, banyak problem dan persinggungan. Masyarakat harus mendewasakan sikap demokrasinya guna menghindari intoleransi. Sebab itulah, pada tahun 2020 bangsa ini harus menyemarakkan toleransi dan anti radikalisme sebagai resolusi bangsa.

Hasil survei LSI menunjukkan tren intoleransi berpolitik meningkat di tahun 2019. Penelitian LSI dilakukan pada 8 September sampai dengan 17 September 2019. Responden yang diambil warga yang sudah memiliki hak pilih atau usia 17 tahun lebih. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 1.550 responden dengan pengambilan data lewat wawancara tatap muka. Adapun margin of error kurang lebih sebesar 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sampel yang digunakan merupakan representatif dan dapat mewakili seluruh masyarakat Indonesia mulai dari segi gender, daerah desa kota, agama dan etnis.

Dari survei yang dipublikasikan mayoritas Muslim di Indonesia menolak non Muslim menjadi kepala pemerintahan. Pada September 2019, 59 persen orang Muslim keberatan jika non Muslim jadi presiden. Termasuk juga 56 persen mayoritas Muslim keberatan jika non Muslim menjadi wakil presiden. Sedangkan non Muslim, menunjukkan 71 persen tidak keberatan Muslim menjadi presiden, 68 persen tidak keberatan Muslim menjadi wakil presiden dan 64 persen tidak keberatan Muslim menjadi gubernur.

Data LSI ini menunjukkan rawannya intoleransi dari aktivitas politik. Data ini bukan bermaksud menyudutkan antara Muslim atau non Muslim, tetapi lebih sebagai koreksi dan pelajaran bersama dalam menyemarakkan toleransi. Memang isu-isu agama dalam berpolitik kerap dijadikan komuditas kampanye. Bahayanya kampanye dengan jualan agama di Indoenesia berdampak munculnya intoleransi antara mayoritas dan minoritas.

Lembaga Riset Setara Institute juga memaparkan hasil penelitiannya pada hari Minggu, 24 November 2019. Hasil risetnya membuat peringkat 10 provinsi dengan angka pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tertinggi dalam kurun 5 tahun. Adapun hasil riset Setara Institute; Jawa Barat 162 peristiwa, DKI Jakarta 113 peristiwa, Jawa Timur 98 peristiwa, Jawa Tengah 66 peristiwa, Aceh 65 peristiwa, DIY 37 peristiwa, Banten 36 peristiwa, Sumatera Utara 28 peristiwa, Sulawesi Selatan 27 peristiwa dan Sumatera Barat 23 peristiwa.

Baca Juga :Refleksi Akhir Tahun: Merawat Kerukunan Bangsa Indonesia

Kasus intoleransi belakangan ini ada korelasi aktivitas berpolitik dengan mempermainkan isu agama. Intoleransi bukan hanya terjadi karena Muslim dan non Muslim, beda partai politik, beda mahzab, beda ormas, beda suku juga bisa memunculkan intoleransi. Tren intoleransi di Indonesia harus dipelajari apa-apa saja penyebabnya demi mendapatkan metode pencegahan dan penanganannya. Sikap intoleransi bisa diminimalisir ketika personal terbangun kesadaran berbangsa dan bernegara dalam jiwanya.

Mengutip postingan Bu Nyai Shuniyya Ruhama dalam akun facebooknya yang bernama Shuniyya Ruhama pada 07 September 2018, terkait ‘Rahasia Gus Dur: Cara Mudah Memahami Islam’. Postingan Shuniyya Ruhama sangat memberi pelajaran kepada Muslim yang awam. Waktu itu Bu Nyai Shuniyya Ruhama berada di sebuah majelis di Jakarta pada tahun 2008 bertanya pada Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid).

“Gus, bagaimana cara memahami Islam yang paling mudah, biar kami yang awam bisa tahu benar atau salah. Apalagi sekarang banyak yang obral dalil?” tanya Bu Nyai.

“Gampang saja,” jawab Gus Dur.

“Kalau kita percaya Islam itu rahmatal lil alamin, maka yang bertentangan dengan kriteria rahmatal lil alamin ya pasti salah. Bukan dalilnya yang salah, tapi penempatannya yang enggak pas,” Gus Dur memperjelas jawabannya.

“Misalnya, kita percaya Islam itu memuliakan wanita. Maka semua ulasan dalam Islam yang meyudutkan wanita pasti salah, sekalipun pakai dalil-dalil. Itu pasti salah cara mengambil dan menerapkan dalilnya,” Gus Dur memberi contoh kasus.

“Misalnya, kita percaya Islam itu menjunjung tinggi kemanusian, maka mau pakai dalil apapun kalau sampai menghina atau merendahkan manusia karena agama, suku atau golongannya, pasti itu salah mengambilnya,” kembali Gus Dur memberi contoh kasus.

Kemudian ada audien yang bertanya, “Terus kalau ada yang bilang manusia itu harus taat sama agamanya bagaimana, Gus?”.

Sambil terkekeh Gus Dur menjawab, “Taat kok sama agama. Taat itu ya sama Gusti Allah. Gitu aja kok repot”.

“Inilah yang kita suka salah paham. Agama itu diturunkan untuk manusia. Bukan manusia yang diturunkan untuk agama. Jangan dibolak-balik. Kacau semua nanti,” pungkas Gus Dur.

Dari cara pola berpikir Gus Dur kita bisa belajar bagaimana manusia beragama dengan benar. Jangan sampai agama dijadikan alasan untuk berbuat intoleran ataupun radikalisme. Semua agama tidak ada yang mengajarkan perpecahan dan perselisihan antar sesama. Tetapi banyak umat beragama pecah sebab salah mengambil dan menerapkan dalil dalam suatu kasus. Mari di tahun 2020 ini kedamaian bangsa kita jadikan resolusi bersama. Hajat pesta demokrasi jangan sampai dibuat memutus tali persaudaraan.

Facebook Comments