Bingar-bingar lafaz Allah kian keras terdengar, tatkala pasukan berbaju putih lengkap dengan kalimat tauhid lantang menyuarakan namaNya. Ratusan mungkin jutaan orang memadati kawasan Monas dan sekitarnya untuk menyuarakan satu suara yang sama. Kini, mereka berkumpul kembali, seraya reuni atau konsolidasi demi tercapainya kepentingan politik mereka.
Sekarang identitas politik benar-benar dijangkiti virus mengerasnya sikap menegaskan identitas masing-masing. Semua beramai-ramai untuk menunjukkan komunitasnya lebih unggul dibandingkan dengan komunitas yang lainnya. Kumpulan massa bermunculan dimana-mana, menutup ruang dialog serta menuntut keseragaman. Hanya ada dua pilihan bagi manusia, bergabung sebagai ahli surga atau menolak dengan gelar ahli neraka.
Kalau sudah begitu, agama hanyalah alat untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak ada yang bisa melawan karena dalil agama siap mengancam. Jika ada yang menyerang sama saja melawan agama Islam. Maka, takbir terus menerus dikumandangkan sebagai bukti kebenaran politik kekuasaan yang mereka suarakan.
Padahal, Tuhan tidak menuntut keseragaman untuk umat manusia. Dalam surat al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S al-Hujurat: 13)”.
Allah senantiasa memerintahkan kita untuk berbuat baik meskipun berbeda dalam beberapa perkara. Menyuruh untuk bertakwa dan saling mengasihi walaupun berbeda. Maka, sebuah kemajemukan adalah anugerah terindah yang diberikan Allah kepada makhluknya. Karena dengan begitu mereka bisa mempunyai cinta kasih yang luar biasa.
Akhlak tumbuh dari kesadaran untuk saling menjaga. Saling memperkuat dan tidak pernah menyakiti sesama. Namun saat politik datang, sifat itu lenyap dibawa nafsu kuasa. Politik membawa kita untuk memaksa keyakinan orang lain dan menyatukan dengan kehendak kita yang jelas berbeda. Sehingga konflik dan penolakan akan senantiasa muncul mewarnai ide penyeragaman.
Takbir yang senantiasa terdengar, cenderung terlihat politis. Melibatkan agama namun nampak ambisius pada kuasa. Tak pelak, masyarakat yang melihat semakin membenci dan tak henti-henti mencerca.
Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa kebenaran tidak diambil dari seberapa sering dan keras kita meneriakkan nama Tuhan, bahkan dalam hati pun Tuhan bisa mendengar. Konon seorang sufi berbuat kebajikan untuk diakui Tuhannya. Walaupun seluruh manusia membencinya, asalkan Tuhan tersenyum bahagia kepadanya itupun tidak masalah baginya. Hal terpenting baginya adalah senantiasa berbuat kebajikan meski kebajikan itu tidak terlihat oleh sesama.
Jika kita merenung, tidak mungkin kita menghapus sebuah tradisi yang sudah dibangun sejak lama, apalagi hanya alasan politik belaka. Berikanlah semua orang kesempatan untuk memilih jalannya. Jauhkanlah sifat memaksa dan menuntut hal yang sama.
Persoalan yang tidak ikut reuni itu baik atau buruk biar Tuhan yang menentukan. Karena Dialah sang pemilik kuasa dan pemilik surga ataupun neraka. Orang yang kelihatan mulia belum tentu berakhir dengan pahala. Begitu pula, dengan seorang pendosa belum tentu berakhir dengan sekumpulan dosa. Karena begitulah Allah merahasiakan takdir makhluknya, agar semuanya tidak semena-mena dan menganggap dirinya paling mulia.
Jangan pernah batasi hak seseorang dengan segerombolan massa. Setiap orang berhak menikmati hidupnya tanpa harus merasa terpaksa. Tuhan saja membebaskan makhluknya untuk saling berbeda, maka jangan sampai makhlukNya melampaui Pencipta hanya karena tujuan politik belaka.