Gerakan “Civil Society” dalam Pusaran Ormas Radikal dan Populisme Islam

Gerakan “Civil Society” dalam Pusaran Ormas Radikal dan Populisme Islam

- in Narasi
575
2

Keberadaan civil society atau masyarakat sipil dalam sebuah negara demokrasi adalah prasyarat mutlak yang tidak boleh diabaikan. Keberadaan civil society yang berkarakter independen, kritis dan rasional akan menjadi salah satu pilar penting bagi tegaknya demokrasi. Fungsi civil society tidak hanya menjadi salah satu kekuatan penyeimbang (check and balances) pemerintah. Namun, lebih dari itu civil society juga berperan dalam membentuk relasi atau jejaring antar-entitas bangsa yang beragam.

Dalam konteks Indonesia, dimana masyarakatnya terdiri atas banyak agama (multireliji) dan beragam budaya (multikultur) kemunculan gerakan civil society yang solid sangat kita perlukan. Seperti kita ketahui, keanekaragaman agama dan budaya yang ada di Indonesia kerap melahirkan sejumlah gesekan dan konflik sosial. Maka, diperlukan inisiatif-inisiatif untuk meminimalisasi potensi konflik itu dan menyatukan semua entitas agama dan budaya dalam satu komitmen kebangsaan yang utuh. Inisiatif yang demikian itu merupakan domain civil society.

Ironisnya, dua dekade kita menjalani era Reformasi, di tengah konsolidasi demokrasi yang susah payah kita upayakan bersama, gerakan civil society dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Ruang publik yang terbuka dan bebas dari intervensi pihak mana pun sebagaimana kita idam-idamkan pasca berakhirnya Orde Baru justru mulai ternodai oleh munculnya ormas keagamaan radikal dan fenomena populisme Islam.

Seperti kita lihat sendiri, pasca bergulirnya era Reformasi, ruang publik Indonesia diwarnai oleh kemunculan sejumlah ormas keagamaan yang sepak terjangnya kerap bertentangan dengan ideologi Pancasila dan konsep NKRI. Ormas-ormas radikal berbasis keagamaan ini secara gamblang mencantumkan agenda penegakan khilafah di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) mereka.

Baca juga :Ormas FPI Wajib Kembali Ke Pancasila

Selain ormas keagamaan radikal, ruang publik kita belakangan ini juga terancam oleh fenomena populisme Islam yang selama kurang lebih dua tahun terakhir ini menunjukkan gejala masif. Penampakan gerakan populisme Islam di ruang publik yang paling mencengangkan dapat dilihat pada momentum aksi bela Islam yang dilakukan berjilid-jilid di tengah kerasnya pertarungan Pilkada DKI pada tahun 2017 lalu. Demonstrasi massa bertajuk “Aksi Bela Islam” itu menjadi bukti bagaimana kekuatan kelompok konservatif-kanan dalam tubuh Islam tidak bisa dipandang sepele.

Karakter gerakan populisme Islam di Indonesia sebenarnya tidak berbeda jauh dengan populisme kanan yang menggejala di banyak negara beberapa tahun belakangan ini, yakni wataknya yang cenderung anti-pada pluralitas agama dan budaya. Di Indonesia, kemunculan populisme Islam lebih banyak memberikan mudarat ketimbang manfaat. Isu yang mereka usung pun sebenarnya tidak jauh dari politik kekuasaan bercorak pragmatis.

Hanya saja, kepentingan itu dibalut dengan sentimen keagamaan agar tampak lebih sakral. Tidak hanya itu, wacana dan perdebatan yang dilahirkan oleh gerakan populisme Islam pun bisa dikategorikan sebagai wacana yang tidak produktif, cenderung tendensius, dan rawan memecah-belah. Dalam lingkup yang paling luas, populisme Islam juga telah menjadi penyebab dari maraknya aksi intoleransi atas nama agama dan akhirnya mengancam kebebasan dan demokrasi.

Merumuskan Kembali Arah Gerakan “Civil Society” di Indonesia

Di tengah himpitan infiltrasi ormas radikal dan gerakan populisme Islam yang berwatak intoleran dan anti-perbedaan itulah kita perlu merumuskan kembali arah gerakan civil society, terutama yang berbasis masyarakat Islam Indonesia. Langkah pertama yang kita bisa ambil adalah menumbuhkan semangat kritisisme di kalangan umat muslim. Pemikiran, gagasan dan wacana yang bercorak kritis-progresif harus senantiasa dikembangkan dan diakomodasi guna memberikan pendidikan sosial-politik pada umat muslim.

Dengan pendidikan sosial-politik yang kritis dan mencerahkan, umat muslim Indonesia dimungkinkan untuk terhindar dari tarikan arus radikalisme dan populisme yang mengatasnamakan kepentingan umat Islam. Nalar kritisisme ini perlu ditumbuhkan terutama melalui lembaga pendidikan formal, pesantren, maupun kajian-kajian keagamaan pada umumnya. Para pemuka agama, idealnya mengajak umat Islam untuk memahami ajaran agamanya secara kritis agar tetap relevan dengan semangat zaman.

Corak pendidikan keagamaan yang doktrinal dan ideologis sudah sepatutnya ditinggalkan lantaran justru menggiring umat pada sikap intoleran dan anti-perbedaan. Untuk itulah, penting bagi umat Islam Indonesia untuk mengenal gagasan-gagasan keislaman dari para intelektual muslim moderat seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Ali Syariati, Nashr Hamid Abu Zayd, Abid al Jabiri, Mohamad Syahrur, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Abdullahi Ahmed an Na’im, Abdul Karim Soroush dan nama-nama lain.

Hal ini penting agar umat Islam memiliki cakrawala pemikiran dan wawasan keagamaan yang kaya akan perspektif. Cara pandang keagamaan yang multiperspektif inilah yang akan membentuk paradigma berpikir yang rasional, kritis dan independen sebagaimana menjadi watak civil society. Sayangnya, selama ini, kajian-kajian keislaman kritis-progresif cenderung tersegmentasi di kalangan tertentu saja, terutama di kalangan intelektual kampus dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Di masyarakat awam, gagasan-gagasan keislaman progresif nyaris tidak terdengar gaungnya. Kajian keislaman di level masyarakat awam masih didominasi oleh model kajian tekstualistik-doktrinal, bahkan acapkali ideologis. Tidak mengherankan jika sebagian besar masyarakat muslim memahami Islam secara parsial, rigid dan eksklusif.

Langkah kedua yang harus kita tempuh ialah merevitalisasi ormas-ormas Islam yang berhaluan moderat dan setia pada NKRI serta Pancasila, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama. Bagaimana pun juga, dua ormas itu adalah benteng terakhir bagi eksistensi NKRI dan Pancasila dari serbuan kaum radikal. Ketika negara kewalahan menghadapi anasir radikal dan gerakan populisme Islam, harapan satu-satunya yang tersisa terletak pada Muhammadiyah dan NU.

Sayangnya seperti kita lihat belakangan ini, kedua ormas itu kerap kali melupakan fungsi sosialnya lantaran terlalu dalam terseret arus kontestasi politik praktis. Sebagai ormas Islam dengan pengikut puluhan juta, Muhammadiyah dan NU selalu menjadi incaran para elite-politik. Di sinilah acapkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara kepentingan Muhammadiyah dan NU sebagai bagian dari civil society dan kepentingan elite-elite di dalamnya yang ingin melibatkan diri dalam politik praktis.

Alhasil, tidak jarang Muhammadiyah dan NU terlibat dalam aktivitas dukung mendukung dalam politik praktis yang tentu saja menodai marwah dan misi sosial yang diemban kedua ormas tersebut. Maka, revitalisasi ormas Islam berhaluan moderat seperti Muhammadiyah dan NU salah satunya ialah memastikan keduanya tetap menjadi bagian dari civil society dan tidak terlalu jauh terlibat dalam politik praktis.

Sebagai ormas Islam dengan pengikut puluhan juta Jemaah Muhammadiyah dan NU idealnya bermain di tataran politik tingkat tinggi (high politic). Yakni politik yang tidak lagi berorientasi logika balas budi –memberikan dukungan dengan janji imbalan jabatan–, melainkan politik yang berorientasi pada kemanusiaan dan kebangsaan. Selain itu, Muhammadiyah dan NU juga harus senantiasa mempromosikan corak keberislaman yang moderat, santun dan adaptif pada perbedaan.

Selama Muhammadiyah dan NU sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia masih menjaga marwahnya sebagai bagian dari kepentingan umat dan sebisa mungkin menjaga jarak dengan elite kekuasaan, kita optimis masa depan gerakan civil society di Indonesia akan cerah. Melalui revitalisasi Muhammadiyah dan NU kita yakin, gerakan civil society bisa keluar dari pusaran kepentingan ormas radikal dan populisme Islam untuk selanjutnya bersama-sama menjaga dan merawat NKRI serta Pancasila.

Facebook Comments