Infiltrasi Ormas Radikal dan Pentingnya Pribumisasi Islam

Infiltrasi Ormas Radikal dan Pentingnya Pribumisasi Islam

- in Narasi
462
0

Dua dekade lebih era Reformasi berjalan, ia tampak seperti dewa Janus. Dalam mitologi Yunani, Janus digambarkan memiliki dua wajah; satu menghadap ke depan dan satunya lagi ke belakang. Kurang lebih seperti itulah gambaran Reformasi yang kita jalani sekarang. Di satu sisi, Reformasi berhasil menghadirkan iklim kebebasan berpendapat, berekspresi dan berserikat di muka umum.

Kebebasan dan terbukanya ruang publik itu memantik optimisme kita akan lahirnya tata kehidupan sosial-politik dan agama yang lebih demokratis, inklusif dan moderat. Namun, di sisi lain, Reformasi juga melahirkan sejumlah residu persoalan politik, sosial dan agama. Ibarat sawah yang subur, era Reformasi tidak hanya diisi oleh tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia, namun juga rumput dan semak belukar yang kerap kali justru mengganggu ekosistem.

Alegori rumput dan semak belukar yang dimaksud ialah munculnya anasir separatisme kesukuan dan radikalisme keagamaan. Anasir separatisme kesukuan mewujud dalam kembalinya gerakan yang mencoba memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski sempat tiarap di era Orde Baru, kelompok-kelompok separatis kembali unjuk gigi. Sebagian di antaranya bahkan disponsori oleh pihak asing.

Sedangkan anasir radikalisme keagamaan mewujud ke dalam fenomena ekstremisme dan terorisme mengatasnakaman Islam yang bertujuan mengganti NKRI dan Pancasila menjadi negara Islam dengan formalisasi syariat. Tidak jauh berbeda dengan gerakan separatisme kesukuan, radikalisme Islam juga mendapat endorsement dari kelompok Islam trans-nasional.

Gerakan separatisme berbasis kesukuan nisbi dengan mudah bisa diredam dalam waktu yang tidak lama. Terbukti, hingga saat ini nyaris tidak ada kelompok separatis yang bisa dibilang memiliki kekuatan untuk mengancam NKRI. Namun, sebaliknya kaum radikal berbasis agama justru tumbuh subur dan berhasil menyebarkan pengaruhnya ke publik luas.

Menurut Khaled Abou el Fadl dalam karyanya The Great Theft: Wrestling Islam form Extremists, gerakan radikal-ekstrem dalam Islam meski jumlahnya nisbi sedikit namun memiliki kekuatan yang solid. Secara sosiologis, Abou el Fadl menilai kelompok radikal-ekstrem muncul lantaran akumulasi dari faktor politis dan agama.

Secara politis, kelompok radikal-ekstrem merupakan perwujudan dari kondisi ketidakadilan global yang disisakan oleh sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme. Liberalisasi ekonomi yang gencar digaungkan oleh Amerika Serikat pasca berakhirnya perang dingin harus diakui telah melahirkan jurang kesenjangan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara miskin berkembang yang sebagian di antaranya merupakan negara muslim.

Pada saat yang sama, sejumlah negara muslim juga dikuasai oleh rezim yang menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan Barat. Kondisi ini melatari tumbuh suburnya kelompok radikal-ekstrem dalam Islam. Sedangkan dari sisi agama, kelompok radikal-ekstrem muncul karena pemahaman keagamaan yang konservatif dan cenderung tekstualistik. Ajaran Islam dipahami secara tekstual-literal tanpa berupaya mengontekstualisasikannya dengan problematika zaman kontemporer.

Konsekuensinya, ajaran Islam terutama tentang kekerasan, perang dan jihad dipahami secara harfiah dan salah kaprah. Dalam konteks Indonesia, kelompok radikal-ekstrem berbasis Islam mengusung agenda besar yakni mengganti NKRI dan Pancasila dengan syariah Islam. Agenda itu dilandasi oleh asumsi bahwa NKRI dan Pancasila merupakan konsep dan ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Sepak terjang kaum radikal-ekstrem ini awalnya dipandang enteng oleh sebagian besar kalangan muslim moderat. Sampai akhirnya kini kita tersadar bahwa mereka berhasil menghimpun kekuatan yang besar dan solid. Keberadaan organisasi keagamaan bercorak radikal seperti Front Pembela Islam (FPI) adalah bukti nyata bagaimana organisasi radikal mampu membangun jejaring yang tidak hanya luas, namun juga kuat.

Aksi massa berjilid-jilid yang mewarnai gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI pada tahun 2017 lalu juga menjadi bukti tidak terbantahkan bahwa dukungan publik pada ormas atau tokoh-tokoh agama bercorak radikal ternyata sangat kuat. Ini artinya, negara dan masyarakat tidak bisa tinggal diam. Jika dibiarkan, jejaring kelompok radikal-ekstrem berbasis Islam itu akan terus membesar layaknya gurita dan bukan tidak mungkin akan melumat NKRI dan Pancasila.

Islam Sebagai Prinsip Moral

Disinilah kita memerlukan sebuah rancang-bangun untuk membentuk perilaku dan pola pikir keberagamaan yang moderat, toleran dan setia pada Pancasila serta NKRI. Moderatisme keberislaman itu bisa kita kembangkan dari teks-teks keagamaan yang otoritatif namun tetap mampu menyesuaikan diri dengan konteks dan lokalitas. Metode penafsiran teks keagamaan yang moderat dan terbuka itu sangat kita butuhkan hari ini untuk melawan segala gerakan formalisasi, ideologisasi dan syariatisasi Islam.

Dalam konteks inilah gagasan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tentang “pribumisasi Islam” terasa relevan dan kontekstual. Gagasan Gus Dur ihwal pribumisasi Islam bisa dikategorikan sebagai sebuah corak tafsir teks keagamaan dengan pendekatan hermeneutika kontekstual. Yakni penafsiran terhadap ajaran Islam yang tidak hanya sekadar pemahaman atas teks belaka, namun juga pemahaman terhadap konteks yang melingkupi teks itu sendiri.

Pada saat yang sama, Gus Dur juga menekankan pentingnya varian kebudayaan yang berkembang di masyarakat juga harus didukung oleh pendekatan tekstual sebagaimana terdapat dalam ushul fiqh (dasar-dasar fikih) dan qawa’idul fiqyah (kaidah-kaidah fikih). Ini artinya, ajaran Islam harus senantiasa ditafsirkan secara dinamis, progresif dan partisipatif.

Pendekatan ini merupakan salah satu karakter terkuat dari ormas Islam dengan pengikut paling banyak di dunia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Dalam Muktamar tahun 1953, NU telah menegaskan bahwa setelah merdeka, kewajiban muslim adalah mendirikan negara yang adaptif pada semua golongan agama, suku dan ras yang bermukim di wilayah Indonesia.

Gagasan itulah yang melatari sikap NU yang menyetujui kepemimpinan dwi-tunggal Sukarno dan Moh. Hatta. NU mengistilahkan kepemimpinan mereka berdua sebagai waliyul amri al dharuri bi al syawkah yang artinya kurang lebih, “pemimpin darutat yang memiliki otoritas penuh”. Pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim-Ulama NU di Surabaya, NU juga secara tegas menyebut NKRI dan Pancasila sebagai konsep final.

Inti dari gagasan pribumisasi Islam yang diperkenalkan oleh Gus Dur ialah bagaimana ajaran Islam yang turun di Mekkah pada abad ke-7 Masehi bisa diterapkan dalam konteks Indonesia modern yang multireliji dan multikultural. Gagasan pribumisasi Islam Gus Dur dengan demikian cenderung menghindari jebakan tafsir ideologis yang mengandaikan Islam sebagai ideologi negara yang bersifat formal dan rigid. Dalam sudut pandang Gus Dur, Islam adalah seperangkat ajaran moral yang harus dikorelasikan dan dikontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat dimana Islam berkembang.

Hermeneutika moralis ini dipilih Gus Dur lantaran dianggap sesuai dengan konteks kebinekaan Indonesia. Maka dari itu, dari awal Gus Dur bersikap tegas dengan menolak wacana pendirian negara Islam dan pemberlakuan syariah secara formalistik di Indonesia. Tidak hanya itu, Gus Dur juga kerap kali melancarkan kritik keras pada ormas Islam yang bercorak radikal-ekstrem.

Kita tentu ingat semasa hidupnya, Gus Dur kerap berkonforntasi secara terbuka dengan para tokoh gerakan Islam radikal-ekstrem. Dan di saat yang sama, Gus Dur juga kerap menunjukkan keberpihakannya pada kelompok agama minoritas yang mendapat perlakuan diskriminatif. Di tengah infiltrasi gerakan radikal-ekstrem berbasis Islam yang kian tidak terbendung, menghidupkan kembali gagasan pribumi Islam kiranya bisa menjadi tameng untuk melindungi NKRI dan Pancasila. Adalah tugas kita untuk mengejawantahkan warisan pemikiran mendiang Gus Dur demi keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

Facebook Comments