Sejarah dan Kehidupan

Sejarah dan Kehidupan

- in Narasi
3256
0
Sejarah dan Kehidupan

Selama ini banyak orang memahami sejarah sebatas berkaitan dengan masa silam. Banyak hal yang selama ini saya pertanyakan tentang sejarah dalam pengertian demikian (Yang Menyangga, yang Tak Terbaca: Mengulik Sejarah Minor Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Ada yang menarik dari filosofi pertunjukan wayang purwa Jawa, dan saya kira juga pertunjukan wayang-wayang lainnya, perihal “mahyang” dimana istilah “wayang” kemudian diturunkan.

Dari istilah “mahyang” orang dapat tahu bahwa wayang tak identik belaka dengan “bayangan.” Sebab, “ma” merupakan prefiks yang menunjukkan kata kerja aktif sedangkan “hyang” berarti leluhur (baca: eyang) yang dipertuankan atau dihormati. Dalam khazanah budaya Jawa terdapat istilah peling atau penget yang sepadan dengan khol dalam tradisi pesantren dimana secara substansial orang mengenang para leluhur atau orang-orang yang dihormatinya, yang tanpanya kita dan apa yang ada pada kita sekarang tak dapat dipahami (Kenusantaraan yang Bagai Semar Sang Pakubumi, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Dengan kata lain, masa silam dan orang-orang yang berada di dalamnya adalah sebuah wasilah atau perantara. Dari pemahaman itu, pertama, bahwa ada sebuah laku etis dalam proses mengenang yang silam. Kedua, dengan demikian, sejarah pada dasarnya adalah sebentuk kata kerja aktif (Tentang Kerata “Basa”: Setelah “Pasa” lalu “Bada” dan “Kupatan”, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Baca Juga : Kesetiakawanan Sosial dalam Himpitan Pandemi

Seorang sejarawan ketika berkutat dengan masa silam (baca: sejarah) pada dasarnya tak sekedar sebuah subyek mati dimana ia hanya menyingkap, menganalisis dan menafsirkan berbagai dokumen yang ada—seperti halnya seorang yang sedang berhadapan dengan sebuah buku. Tapi ia aktif ikut terlibat dalam kesilaman tersebut. Karena bagaimanapun, tak ada orang yang sama sekali berada di luar sejarah (Kisah Semar dan Syaikh Subakir di Belukar Tidar, Heru Harjo Hutomo,https://alif.id).

Memandang bahwa sejarah sebagai disiplin ilmu yang mesti bersifat obyektif, dalam rangka memenuhi standar positivisme, adalah sebentuk cara pandang yang meletakkan sejarawan seperti halnya Tuhan yang transenden lagi Maha Suci, sama sekali lepas dari noda ruang dan waktu. Dan pada akhirnya meletakkan pula sejarah seperti halnya gunung pada bidang volkanologi atau Bumi pada bidang geografi.

Ada tilikan yang menarik dari seorang Nietzsche, perihal kegunaan dan ketakgunaan sejarah bagi kehidupan (On the Advantage and Disadvantage of History for Life, 1980). Sebagaimana sejarah dalam pandangan kearifan lokal semacam pertunjukan wayang purwa dan tradisi kholdi pesantren, pada akhirnya sejarah adalah sebentuk cara hidup (the mode of existence), yang karenanya manusia dan yang bukan manusia jelas terpilah. Hanya manusia yang memiliki kesadaran akan sejarah, sementara yang bukan manusia sama sekali tak memilikinya.

Dengan cara pandang eksistensial atas sejarah semacam ini pada akhirnya buah yang akan dituai adalah makna hidup. Sebab, drama kemanusian selama ini pada dasarnya adalah bagaimana membuat kehidupannya bermakna. Sekali pun ada yang berpandangan bahwa tak makna apapun di balik kehidupan, tapi tetap saja ketakbermaknaan itu adalah sebentuk makna tersendiri. Dengan demikian, kembali mengacu pada paradigma sejarah eksistensial semacam ini, maka makna kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang harus ditemukan, tapi diciptakan dimana salah satunya adalah melalui sejarah yang sesungguhnya adalah sebuah kata kerja aktif. Dalam konteks kebudayaan, karakter dan identitas bangsa yang selama ini tergerus dan dekaden dapat dikuatkan kembali secara kreatif melalui pelibatan masa silam dalam menganyam yang mendatang.

Facebook Comments