Sinergi Bersama Menghadang Penumpang Gelap Polemik UU Cipta Kerja

Sinergi Bersama Menghadang Penumpang Gelap Polemik UU Cipta Kerja

- in Narasi
1397
0
Sinergi Bersama Menghadang Penumpang Gelap Polemik UU Cipta Kerja

Polemik terkait pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja bereskalasi menjadi aksi demonstrasi jalanan yang diikuti oleh mahasiswa, buruh dan elemen gerakan sipil lainnya. Namun, patut disayangkan bahwa di sejumlah daerah, aksi itu berakhir dengan kericuhan. Bentrok massa dan aparat keamanan serta perusakan fasilitas umum menjadi pemandangan yang memilukan. Seperti halnya perang, tidak ada yang diuntungkan karena yang kalah hanya akan jadi arang dan yang menang akan berakhir sebagai abu. Sebuah video beredar di media sosial menggambarkan adegan Polisi tengah bertindak represif terhadap demonstran. Di video yang lainnya, terekam detik-detik ketika demonstran bertindak brutal dengan menyerang aparat dan menghancurkan fasilitas umum.

Seiring dengan itu, muncul pula narasi-narasi yang berupaya memprovokasi publik agar bertindak anarkistis-destruktif. Di media sosial misalnya, banyak argumen yang secara tidak langsung membenarkan aksi vandalis kaum demonstran sebagai bagian dari perjuangan menyampaikan aspirasi. Fatalnya lagi, argumen ini justru banyak diungkapkan oleh kalangan intelektual terdidik kelas menengah yang seharusnya bisa menjadi role model praktik demokrasi. Demokrasi memang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, demokrasi tidak mengenal istilah demonstrasi rusuh. Dalam sistem demokrasi, demonstrasi vandalis-destruktif ialah aktivitas kriminal yang melanggar hukum.

Kita tentu patut mengapresiasi gerakan mahasiswa, buruh dan jaringan masyarakat sipil yang mengangkat isu UU Omnibus Law Cipta Kerja. Namun demikian, kita juga patut mengkritisi bagaimana mekanisme protes itu menyisakan celah bagi para penumpang gelap untuk melancarkan aksinya. Demonstrasi jalanan memang kerap diyakini sebagai medium paling efektif untuk menyampaikan pesan atau aspirasi pada pemerintah. Namun, jangan lupa pula bahwa aksi demonstrasi jalanan juga sangat rawan disusupi oleh anasir tertentu, terutama kelompok radikal yang memang menginginkan pecahnya konflik sosial.

Waspadai Penumpang Gelap Demokrasi

Kita patut belajar dari sejumlah negara di kawasan Timur Tengah yang sampai hari ini masih dilanda kekacauan sosial dan konflik antarsesama anak bangsa. Akar konflik di sejumlah negara di kawasan Timur Tengah berasal dari isu-isu sosial politik dalam negeri yang dikomodifikasi oleh kelompok radikal melalui narasi-narasi provokatif dan propaganda anarkis. Kepercayaan publik terhadap pemerintah dilemahkan melalui narasi bahwa pemerintah telah berlaku tidak adil pada rakyatnya.

Demikian pula, masyarakat diadu-domba dengan propaganda-propaganda yang memecah-belah dan mempertebal sentimen polarisasi. Akibatnya, sejumlah negara di kawasan Timur Tengah itu pun dilanda revolusi berdarah dan akhirnya luluh lantak dilumat konflik berkepanjangan. Kebangkitan demokrasi di Timur Tengah dibajak di tengah jalan oleh kaum radikal. Adagium klasik yang berbunyi “revolusi akan memakan anak-anaknya sendiri” pun terbukti benar.

Kita tentu tidak ingin apa yang terjadi di sejumlah negara di kawasan Timur Tengah itu terjadi di Indonesia. Maka dari itu, kita perlu membangun sinergi bersama untuk mengahadang setiap manuver penumpang gelap yang berusaha mengail di tengah polemik isu UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Bahwa UU tersebut kontroversial dan menjadi bahan perdebatan banyak kalangan kita tentu tidak bisa menutup mata atas fakta tersebut. Namun, di saat yang sama publik juga harus sepenuhnya menyadari bahwa isu ini sangat rawan ditunggangi oleh kelompok tertentu. Maka dari itu, diperlukan strategi penyampaian aspirasi yang tepat dan efektif.

Satu hal yang juga perlu kita pahami bahwa Reformasi masih belum usai sampai hari ini. Proses pembongkaran (dekonstruksi) sistem sosial, hukum, ekonomi dan politik masih berjalan hingga saat ini. Penyusunan ulang berbagai tatanan hukum, termasuk menyusun UU Omnibus Law ialah salah satu bagian atau fase dari proses Reformasi yang panjang tersebut. Dalam konteks inilah, kita memerlukan setidaknya dua fase penting. Fase pertama ialah perubahan paradigma (shifting of paradigm). Dalam sistem politik perubahan paradigma itu ditandai dengan beralihnya kekuasaan otoriter ke kekuasaan demokratis. Sedangkan dalam lingkup birokrasi, perubahan paradigma itu mewujud ke dalam pergeseran dari pola sentralistik ke desentralisasi (otonomi daerah).

Fase kedua ialah fase tindakan sosial (social action) yang sebelumnya berbasis dari atas (topdown) menuju tindakan yang berakar dari bawah. Di era pra-Reformasi, tindakan sosial kita lebih banyak dibentuk oleh kebijakan pemerintah. Berbeda dengan era Reformasi dimana masyarakat sipil (civil society) memiliki posisi tawar yang kuat untuk mengarahkan tindakan sosial publik. Kini kita memasuki era ketika nyaris semua orang bisa berbicara, berpendapat dan mengekspresikan gagasannya dengan bebas, termasuk mengkritik kebijakan pemerintah. Terlepas apakah individu itu memiliki kecakapan untuk berbicara isu tersebut atau tidak. Apalagi di media sosial dimana semua orang menampilkan diri sebagai “ahli dalam semua bidang dan isu”. Kondisi itu lantas kerap melahirkan kondisi yang justru merugikan kita sendiri.

Merawat Demokrasi dan Menjaga Spirit Reformasi

Mengelola demokrasi dan Reformasi agar tidak dibajak oleh para penumpang gelap, terutama kelompok radikal adalah hal mutlak yang harus kita lakukan saat ini. Langkah pertama yang harus kita lakukan ialah merawat ruang publik agar tetap menjadi arena dimana semua gagasan dikontestasikan secara terbuka, fairdan demokratis. Kian kuat ruang publik kita, maka anasir penumpang gelap demokrasi akan semakin kehilangan ruang untuk bermanuver mengadu-domba publik dengan narasi radikalisasi dan hasutan bertindak anarkis. Penguatan ruang publik juga merupakan pendidikan sosial-politik yang penting bagi masyarakat lantaran mereka akan terbiasa menyelesaikan persoalan dengan jalur dialog.

Langkah kedua ialah menjaga agar semua gerakan sosial baik itu berbasis agama, profesi, dan sejenisnya tetap bersikap independen dan murni memperjuangkan aspirasinya. Independensi dan otonomi gerakan sosial ini mutlak perlu agar agenda perjuangannya tidak dikotori apalagi diambil alih oleh para penumpang gelap yang siap menyusup kapan saja dan dimana saja. Langkah ketiga dan ini yang paling penting ialah membangun budaya komunikasi efektif antarsesama masyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah. Kebuntuan saluran komunikasi inilah yang kerapkali melahirkan kesalahpahaman, kecurigaan, kebencian dan tidak jarang berakhir pada benturan.

Problem terkait komunikasi ini sepertinya juga menjadi latar di balik polemik UU Omnibus Law Cipta Kerja. Saat ini kita tengah mengalami sebuah kondisi yang diistilahkan oleh Mary Jane Coiler sebagai “the turbulence of communication” atau turbulensi komunikasi. Masing-masing pihak berbicara atas keyakinannya sendiri tanpa melihat sebuah isu dalam perspektif dan cara pandang yang lebih komprehensif. Akibatnya, saluran komunikasi itu tersumbat, mampet dan akhirnya pecah menjadi kekacauan sosial.

Di titik ini, kita perlu mereformasi ulang gaya komunikasi kita ke arah yang lebih terbuka dan demokratis. Pemerintah di satu sisi, harus membuka ruang dialog dengan elemen masyarakat sipil. Di saat yang sama, elemen masyarakat sipil harus mengedepankan pendekatan persuasif dalam menyampaikan aspirasinya. hal ini penting untuk menjaga suasana tetap kondusif dan Reformasi berjalan di atas rel yang benar, tidak dibelokkan apalagi dibajak oleh kelompok tertentu dengan narasi radikalisasi dan provokasi aksi anarkis.

Facebook Comments