Tidak bisa pungkiri, pada era kebebasan mendapatkan dan memproduksi informasi, sulit membedakan antara informasi benar-benar fakta atau hanya hoax belakang. Perkembangan hoax semakin hari semakin canggih dan berevolusi dengan beberapa bentuk. Ketika menengok masa lampau, pada tahun 2015-an, kita mendapatkan informasi-informasi melalui pesan singkat (SMS).
Masuk di mana internet sudah bisa dijangkau semua orang, kemudian melalui media sosial dengan format “komen Amin dan like, maka akan dikabulkan doanya” atau sejenisnya. Kemudian beberapa tahun terakhir, kita menemukan beberapa sindikat komunitas yang dibayar untuk menyebarkan berita bohong, seperti Saracen.
Bila meminjam data dari Co-Founder Provetic bahwa jenishoaxyang paling sering diterima adalah masalah sosial politik, yaitu sekitar 91,8 persen, masalah SARA sebanyak 88,6 persen, kesehatan 41,2 persen, makanan dan minuman 32,6 persen, penipuan keuangan 24,5 persen, iptek 23 ,7 persen, berita duka 18,8 persen, candaan 17,6 persen, bencana alam 10,3 persen dan lalu lintas 4 persen.
Nalar Hoax
Bila membaca pertumbuhan hoax dari masa ke masa di dunia maya, kita akan menemukan beberapa “nalar” yang membuat masih adanya hoax di mana pendidikan merupakan menjadi kebutuhan pokok masyarakat sekarang. Dalam pengamatan penulis, setidaknya ada tiga; ideologi, kelompok dan konsuntif.
Baca juga :Lindungi Anak dari Ujaran Kebencian di Medsos
Pertama, ideologi. Maksudnya, ideologi menjadi dasar menyebarkan hoax ketika ideologi yang dipahami dan dianut dianggap sebuah kebenaran dan tidak mau mendengarkan adanya kebenaran-kebenaran yang lain. Orang yang terlalu fanatik dalam memahami ideologi –termasuk agama, mereka akan mudah meng-share apa yang didapat ketika hal tersebut memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Mereka tidak mempercayai kebenaran-kebenaran yang ada di luar dari ideologi mereka.
Kedua, kelompok. Seperti ideologi, mereka yang hanya berkutat dalam satu golongan dan tidak mau membaur dengan golongan lain, lantas mereka timbullah kefanatikan terhadap kelompok tertentu, mereka mudah menyebarkan segala sesuatu tanpa saring dan sering dalam mengolah data yang ada.
Nalar satu dan dua, pokok utama permasalahan utama pada kefanatikan. Ketika fanatik sudah menyelimuti “nalar” seseorang, maka mereka mudah menyalahkan pendapat orang lain. Fanatik harus dikurangi untuk menghindari hoax-hoax yang ada, dan dapat menggunakan akal pikiran sehingga nalar dapat berjalan dengan seharusnya.
Dari kedua nalar ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menciptakan hoax sesuai dengan ideologi dan kelompok mereka. Kemudian timbul nalar ketiga, konsumtif. Di mana produsen dan konsumen sama-sama menggunakan nalar ini. Ketika produsen hoax menciptakan untuk mendapatkan uang atau materi lainnya, sedangkan orang-orang fanatik mendapatkan kepuasan dengan mengenai karena sesuai dengan ideologi atau kelompok mereka.
Stop Nalar Hoax
Dari tiga nalar utama hoax ini, dapat dihentikan dengan mengikis ketiga nalar tersebut dengan memperbanyak literasi-literasi positif yang berbasis fakta. Pertama peran pemerintah yang harus tegas kepada mereka yang menyabarkan dan memproduksi hoax. Ketegasan ini dilihat dari penegakan hukum yang tidak memandang derajat atau jabatan seseorang. Seperti kasus “container yang berisi surat suara yang terjoblos” maka pemerintah harus menangkap kepada mereka memproduksi dan menyabarkan.
Selain pemerintah, juga peran masyarakat juga sangat diperlukan demi menangkal hoax agar tidak menyebar luas. Masyarakat dituntut untuk lebih cerdas memilih serta memilah informasi yang baik dan tepat guna. Masyarakat harus “sering dan saring”, di mana suatu informasi tidak ditelan secara mentah-mentah yang didapat. Setiap informasi harus disaring mengenai kebenaran dan dampaknya umum, dan jangan sungkan untuk sering mengenai suatu informasi kepada orang terdekat. Dengan sering-saring, maka kita tidak mudah menyebarkan berita hoax tersebut.
Yang terakhirnya adalah peran kita sebut, ketika melihat terjadinya sebuah berita bohong, maka kita bisa melaporkan kepihak berwajib atau sosial media yang menaungi. Dari pemerintah sudah menyediakan kontak personal untuk pengaduan dan pihak produksi aplikasi udah menyediakan fitur untuk mengadu mengenai berita yang tidak benar.
Kemampuan mencari sumber informasi yang bisa dipertanggungjawabkan, menjadi krusial di tengah percepatan teknologi digital saat ini. Kata kuncinya adalah kembali kepada pendidikan berkualitas, kurikulum yang tepat di sekolah sekolah serta edukasi menyeluruh yang harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa untuk Indonesia yang lebih baik.