Strategi Keluar dari Zona Merah Radikalisme

Strategi Keluar dari Zona Merah Radikalisme

- in Narasi
1181
0
Strategi Keluar dari Zona Merah Radikalisme

Virus radikalisme dan segala turunannya tidak kalah berbahayanya dari virus Corona. Jika yang terakhir bisa merusak imunitas individual, maka yang pertama bisa menghancurkan imunitas sosial. Relasi sosial, harmoni masyarakat, dan keguyuban sesama anak bangsa bisa hancur akibat dari infiltrasi dari virus radikalisme.

Tidak berlebihan –dalam tataran sosial – radikalisme adalah pengahalang paling besar dalam mewujudkan masyarakat madani, terbuka, dan berbudaya. Radikalisme bisa mempengaruhi keyakinan, sikap, dan terlebih-lebih tindakan.

Dengan keyakinan bahwa hanya agama dan pihaknya saja yang paling benar dan selamat, sementara pihak lain sesat, proses saling memberdayakan menuju cita-cita ideal suatu bangsa dan negara menjadi tertatih-tatih.

Virus radikalisme yang tidak mau bekerja-sama dan mangakomodir yang lain mengakibatkan terjadinya polarisasi, perpecahan, bahkan dalam level tertentu, konflik. Jika sudah terjadi seperti ini, roda negara menuju bangsa yang aman, damai, dan sejahtera, hanya berjalan di tempat.

Pun demikian dengan sikap. Takfirisme yang menyesat-kafirkan golongan yang tak sepaham dengannya; me-neraka-kan pihak yang tak sesuai dengan manhajnya; serta memonopoli kebenaran, menjadi penghalang besar dalam proses pembangunan dan mewujudkan cita-cita bersama.

Baca Juga : Melihat Ulang Jejak Ikhwanul Muslimin di Indonesia

Paling berbahaya adalah pengaruh langusng pada tindakan, yang malahirkan tindakan terorisme, berupa pembunuhan, pengeboman, menyebar ketakutan, dan menghilangkan nyawa orang. Terorisme menimbulkan kekacauan. Manusia tak bisa bekerja sama. Saling curiga dan saling menuduh tak terelakkan. Akibatnya, pembangunan juga tersendat-sendat.

Zona Merah Radikalisme

Dengan tiga tolak ukur, yakni keyakinan, sikap, dan tindakan, sejatinya Indonesia belum bebas dari radikalisme. Masih banyak wilayah di Indonesia yang masuk ke dalam zona merah radikalisme.

Sesuai data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI tahun 2018, setidaknya ada 12 daerah yang masih masuk ke dalam zona merah radikalisme-terorisme (okezone.com/11-09-2018). Angka ini tidak berubah dari tahun 2016, di mana ada 12 provinsi yang masih masuk ke dalam kategori zona merah radikalisme (kompas.com/1-1-2016).

Wilayah yang termasuk Zona merah itu adalah Jawa Tengah, Aceh, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, dan Bali.

Ukuran yang dijadikan oleh BNPT dalam menentukan zona merah adalah beberapa kasus terorisme baik pelaku maupun korban berasal dari provinsi itu. Jika ukuran itu diperluas, yakni berupa sikap, paham, atau keyakinan yang sempit, intoleransi, penggussuran rumah ibadah agama lain, perda syariah, dan sikap eksklusifisme dan sektarianisme yang mencuat belakangan ini –niscaya wilayah Indonesia yang masuk Zona merah radikalisme lebih dari itu.

Kita tidak bisa menutup mata, bagaimana kebinekaan kita sekarang lagi diuji, keragaman kita dinegasikan, pluralitas kita dianggap hanya slogan semata. Adanya upaya dari kelompok tertentu yang mati-matian untuk menyeragamkan Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan basis agama tertentu –harus kita waspadai. Geliat radikalisme sekarang hampir menjurus ke semua lini kehidupan.

Strategi Moderasi

Keberagamaan ‘jalan tengah’ –atau dalam istilah populer sekarang disebut moderasi agama –sangat penting peranannya dalam menangkal paham radikal-ekstrem. Sebab, pengalaman empirik di lapangan menunjukkan, bahwa menangkal radikalisme-ekstrimisme serta kekerasan atas nama agama tidak cukup diatasi dengan deradikalisasi, melainkan juga harus melibatkan gerakan moderasi.

Jika deradikalisasi menangkal sisi sebelah kanan radikalisme-ekstrimisme, maka moderasi menangkal sisi sebelah kiri. Dengan begitu, sinergi deradikalisasi dan moderasi akan menarik bandul kanan dan kiri dari radiklisme-ekstrimisme ke tengah.

Selama tidak ada sinergi kedua strategi deradikalisasi dan moderasi, maka selama itu pula intoleransi, kekerasan atas nama agama, radikalisme, bahkan terorisme akan tetap subur. Sebab, gerakan yang diluncurkan masih pincang, hanya satu sisi saja yang ditangkal.

Di sinilah signifikansi dari gerakan keberagamaan ‘jalan tengah’. Ia bisa menjadi gerakan penyeimbang, meng-counter, bahkan sebagai gerakan nir-kekerasan. Keberagamaan ‘jalan tengah’ bukan saja diperlukan untuk menangkal paham-paham radikal, ia juga sekaligus sebagai laku kehidupan yang bisa menciptakan harmoni dalam lintas kehidupan beragama.

Panggabean dan Ali Fauzi sebagaimana dalam (Abu Nimer, 2010) menyebut tiga cara praktis untuk mengkampanyekan keberagamaan ‘jalan tengah’ sebagai bagian dari upaya mewujudkan harmoni dan kedamaian.

Pertama, lewat mekanisme intra-agamadengan pengembangan etika dan spritualitas agama itu sendiri. Tafsir teks agama yang lebih menekankan sikap inklusif, toleransi, dan penghargaan kepada nilai-nilai kemanusian harus lebih ditonjolkan.

Kedua, lewat mekanisme antar-agamayang lebih menekankan dialog, kesiling-pahaman, dan penerimaan terhadap multikulturalisme. Kerja-kerja konstruktif dalam membangun dialog antar individu, kelompok, dan komunitas harus lebih digalakkan.

Ketiga, lewat mekanisme ekstra-agamayang bersifat sistemik dalam level global. Kerja-kerja skala internasional dalam konteks perdamaian duniadengan melibatkan seluruh partisipasi negara harus dilakukan.

Milenial dan Dunia Digital

Ketiga mekanisme kebergamaan ‘jalan tengah’ itu: intra, antar, dan ekstra agama –mendapat tantangannya di tangan milenial. Milenial yang lebih suka dengan hal-hal serba cepat dan instan di satu sisi, dan moderasi agama yang membutuhkan perenungan, refleksi, serta kehati-hatian, di sisi lain, akan mengalami hambatan dalam membumikan keberagamaan ‘jalan tengah’.

Sikap milanial yang suka dengan hal-hal yang serba cepat dan instan akan mempengaruhi pola keberagamaan mereka. Bagi meraka, agama itu harus instan, tidak boleh ribet, dan apa adanya. Akibatnya konten-konten agama di internet yang menyuguhkan agama secara instan, tekstual, dan apa adanya, menjadi kesukaan mereka.

Tidak mengherankan apabila banyak studi menunjukkan, bahwa ustad, website, youtube, dan literatur yang paling digandrungi oleh milenial adalah konten agama yang disuguhkan dengan cara mudah, tidak mengundang berpikir panjang, dan praktis.

Peneliatian Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dalam Literatur Keislamaman Generasi Milenial (Pasca UIN Suka Press, 2018) menunjukkan bahwa buku-buku Islamisme popular sebagai nomor wahid yang paling banyak dibaca kalangan milenial, disusul buku-buku tarbawi, salafi, tahriri, serta jihadi secara berurutan. Alasan utamanya adalah sebab buku-buku itu menyuguhkan agama secara instan, praktis, dan tidak mau ribet.

Pun demikian dengan website keislaman. Website keislaman yang paling digandrungi kaum milenial adalah website kelompok-kelompok yang selama ini dikenal tekstual, kaku, dan baku. Juga ustad, dai, dan penceramah yang paling banyak didengar kaum milenial ceramahnya adalah mereka yang menyuguhkan agama secara instan, tidak ada konteksalisasi, dan sering berafiliasi dengan kelompok beridelogi radikal.

Dalam hal inilah, kita patut bertanya bagaimana merealisasikan ketiga strategi intra, antar, dan ekstra agama itu dalam konteks keberagamaan jalan tengah?

Perlunya Kerja Kreatif

Jawabannya kita butuh kerja-kerja kreatif-konstruktif yang tidak membosankan kaum milenial. Selama ini, pemasaran moderasi beragama di lapangan masih menggunakan cara-cara manual-tradisional yang kadang sangat lamban dan membosankan. Bahasa yang kurang akrab, istilah-istilah yang terlalu melangit, serta contoh-contoh yang diberikan sesuatu yang tidak familiar bagi milenial.

Kerja-kerja inovatif yang disenangi kaum milenial sangat dibutuhkan sekarang. Dalam konteks keberagamaan ‘jalan tengah’ lewat mekanisme intra-agama, ngaji virtual yang dikemas dengan bahasa yang renyah, gaul, dekat dengan kaum milenial, serta tidak meninggalkan substansi ajaran agama adalah termasuk kerja-kerja kreatif dalam meneguhkan moderasi agama.

Ngaji online yang sejauh ini sangat marak, terutama yang dimotari oleh intelektual muda dan para kyai NU, sangat positif dalam menyebarkan paham keberagamaan ‘jalan tengah’. Meski masih banyak kekrungan di sana-sini –terutama dalam hal bahasa –tetapi ngaji online dengan basis turast, sangat ampuh dalam menyuguhkan Islam sebagai jalan damai dan moderasi.

Selain ini dialog yang diiringi dengan pengahayan akan keberagaman dan aneka perbedaan manusia lewat camp bersama umpamanya, menjadi kerja-kerja inovatif dalam konteks keberagamaan “jalan tengah’ antar-agama. Di sini modarasi agama sudah menjadi laku, tidak lagi hanya sebagai gagasan. Demikian juga dengan pentingnya litaratur digital pro-kebhinekaan yang mudah diakses semua kalangan, sangat membantu dalam mewujudkan keberagamaan jalan tengah. Membangun jaringan komunitas lintas negara sangat memungkinkan dilakukan sekarang. Internet membuat itu menjadi mungkin. Batas-batas tritorial negara, bahasa, dan budaya, sekaranf bisa ditembut berkat adanya internet. Tentu hal ini harus dimanfaat dalam kerja-kerja keretif-inovatif dalam meneguhkan agama sebagai jalan damai.

Facebook Comments