Terorisme dan Emansipasi Gender

Terorisme dan Emansipasi Gender

- in Narasi
1988
0

ADA yang baru dari gaya dan strategi teror yang dilancarkan IS (Islamic State), khususnya di Indonesia. Semenjak, ditengarai, dipegang oleh Bahrun Naim atau Anggih Tamtomo.

Jebolan jurusan IT di salah satu universitas di Solo ini, memiliki peran yang boleh dibilang penting beberapa tahun terakhir ini. Salah satu prestasi barunya adalah merekrut sekaligus memberdayakan perempuan untuk menjadi “pengantin” atau pelaku aksi bom bunuh diri.

Beberapa bulan yang lalu kepolisian sempat memperoleh percakapan dan instruksi Bahrun Naim lewat aplikasi telegram. Setidaknya ada dua perempuan yang langsung dipilih oleh sang imam: Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari. Namun, rencana keduanya digagalkan kepolisian—yang bagi mereka disebut sebagai kafir harbi.

Pada instruksi dan percakapan via telegram itu, Bahrun Naim menyatakan bahwa di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, entah ukurannya apa, lelakinya ditengarai kurang bernyali. Dan Dian Yulia Novi pun menimpali, bahwa jihad—yang ia sempitkan artinya menjadi perang dan bahkan aksi bom bunuh diri—adalah kewajiban semua orang, baik lelaki maupun perempuan—mungkin juga, dengan melihat kegilaan mereka, anak-anak.

Rupanya, isu kesetaraan gender juga menggayuti para radikalis keagamaan, sama seperti di ranah apapun. Dan Anggih Tamtomo, alias Bahrun Naim, yang “halus” tampang dan perangai, menjadi pemberdaya perempuan pertama di Indonesia. Indoktrinasi IS (Islamic State) menjadi ajang pemberdayaan perempuan. Telah kita lihat bagaimana Dian Yulia Novi melakukan ijtihiad pribadi—hal yang ganjil yang terjadi dalam dunia radikalisme dan terorisme, bukan?

Pemberdayaan pada dasarnya adalah penyadaran hak: semua manusia terlepas jenis kelaminnya adalah sama. Dalam dunia radikalisme dan terorisme berarti perempuan juga memiliki hak untuk ber-ijtihad, melakukan jihad (yang tentunya telah dimanipulasi), berperang, dan membunuh dirinya sendiri untuk membunuh orang lainnya yang tak berdosa.

Dan Anggih Tamtomo, untuk selanjutnya, hanya bermain dari balik tabir, menjadi imam “gaib”-nya, menjadi peracik strategi dan perumus target, sekaligus—tentu saja—cheerleader-nya. Sebuah fenomena yang patut disyukurikah, di lapangan emansipasi gender?

Ada satu analisis, bahwa secara global, kita telah didera oleh apa yang namanya gejala populisme kanan: religiusitas kerakyatan. Dan saya pikir, radikalisme memang bertolak dari semangat religiusitas kerakyataan semacam itu. Karakteristiknya, di antaranya, tak lagi digubrisnya para elite keagamaan. Elite dalam arti penguasaan bidang keilmuan. Bukankah semangat kaum radikal adalah kembali ke akar, juga hubungan Tuhan-insan tanpa perantara? Singkat kata, yang terjadi adalah semacam deotoritasisasi yang kebablasan.

Dan radikalisme ala IS tersebut, kini, bertepuk dengan pop culture—satu gejala yang tak kita temukan pada sosok Abu Bakar Ba’asyir, misalnya.

Tapi tidak dengan sang flower boy, Anggih Tamtomo, ia memanfaatkan IT dan juga kultur pop: indoktrinasi, psikologi, diseminasi doktrin, sistem sell, dan pola komunikasi.

Gejala radikalisme ngepop ini tak khas juga dimiliki oleh IS, HTI—salah satu ormas pengusung khilafah yang telah dibubarkan pemerintah itu—melakukan transformasi yang sama. Bukankah luas penyebarannya dan dalam perasukannya cukup mengagetkan kita semua?

Satu hal yang pasti, saya kira, gerakan-gerakan radikal itu telah mampu memanfaatkan momen, trend, dan mengkooptasi kultur pop, semacam gerakan-gerakan counter-culture.

Maka mereka, kini, mencoba berkhianat atau menyimpang dari doktrin klasiknya yang sarat nilai-nilai patrialkal. Dahulu, di mana perempuan hanya sekedar kanca wingking yang tugasnya masak-macak-manak, kini, diberdayakan oleh sang flower boy, Anggih Tamtomo. Lelaki “halus” tampang dan perangai itu telah mengawali emansipasi gender dalam radikalisme dan terorisme di Indonesia. Ia telah memberdayakan dan memberi ruang selebar-lebarnya untuk perempuan yang ingin mengekspresikan dirinya secara radikal: berpola-pikir radikal, melakukan aksi-aksi intoleran, dan membunuh dirinya sendiri untuk membunuh orang lainnya yang tak berdosa.

Barangkali, ada strategi lain dari Anggih Tamtomo, sang mantan anggota HTI. Bahwa perempuan, secara psikologis, cenderung tak stabil—apalagi yang pernah mempunyai pengalaman kurang menyenangkan. Jika menyimak kehidupan Dian Yulia Novi, salah satu perempuan terpilih Anggih Tamtomo, yang mengaku mendapat instruksi dan perumusan target langsung darinya, maka perempuan yang telah didakwa 10 tahun penjara itu sarat masalah psikologis. Selain perceraian, ketika menjadi TKW di Taiwan, ia sosok yang telah mengalami alienasi diri. Dan radikalisme adalah jawaban yang dipandang cocok untuk mengatasi, untuk meminjam terminologi Heidegger, bodenstandigkeit—itu pun “mengaji” lewat internet.

Ada psikologi yang khas ketika manusia jauh dari lingkungan asalnya. Dan di Taiwan, juga negara-negara lain di mana Islam menjadi minoritas, gerakan dan paham yang cenderung tumbuh adalah yang cenderung eksklusif, keras dan puritan. Sebab secara sosiologis, mereka “merasa” terancam dan tertindas. Secara eksistensial, mereka serasa tercerabut dari akar, bumi tempatnya berpijak—boodensteindigkeit. Di tempat nun jauh di sana, dengan segala alienasi yang dialami (sosial-kultural-politik), jalan pintas apalagi yang tersisa kecuali kembali ke akar yang senantiasa dijejalkan kaum radikal? Jalan pintas apalagi selain kematian, untuk menjelang “akar” yang sebenarnya tak gamblang itu?

Beberapa catatan yang patut direnungkan atas semua transformasi radikalisme dan terorisme ala IS (Islamic State) ini. Soal transformasi mereka, termasuk dalam hal pemberdayaan perempuan, adalah pemberdayaan yang menyentuh “kulit” semata: taktik dan strategi. Anggih Tamtomo dan kelompok terorisnya memang patut diakui piawai dalam memanfaatkan celah psikologis para calon “pengantin.”

Taruhlah kasus Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari, orang boleh meneliti, mereka tak sekedar merasa mendapat panggilan untuk berjihad—dalam arti menjadi pelaku bom bunuh diri. Dan saya kira, hal ini juga dialami para teroris kontemporer, baik lelaki maupun perempuan. Tapi memang, seperti yang sudah saya singgung di atas, perempuan—dari sisi psikologis—cenderung lebih rentan untuk dimanfaatkan.

Ada satu rumus umum, dan hal ini menyangkut budaya patrialkal. Orang atau kelompok yang selama ini merasa didominasi atau bahkan direpresi oleh orang atau kelompok lainnya, secara psikologis, perlawanan yang mereka kobarkan cenderung frontal, bahkan radikal. Mereka terkadang lupa untuk memilah dan memilih. Akhirnya, absolutisme “kebenaran” menjadi karakter yang tak bisa dihindari. Keseimbangan, baik logis maupun kenyataan, hilang.

Derrida punya kejelian dalam membaca dominasi dan redominasi kebudayaan. Terkait emansipasi gender, yang diperlukan bukanlah satu pukulan mutlak yang meruntuhkan “lawan.” Semisal oposisi biner “lelaki-perempuan.” Pemberdayaan/pembebasan perempuan tak berarti penghancuran—entah logis atau simbolik—konsep “lelaki.” Tapi debasement yang dilakukan “lelaki” terhadap “perempuan” itu ternyata goyah, tak berdiri di atas dasar yang kukuh. Apabila yang terjadi adalah penghancuran mutlak-mutlakkan konsep “lelaki,” maka yang muncul adalah penindasan kembali, “perempuan” terhadap “lelaki.” Di sini, logika dominasi yang sebenarnya ingin dilawan, akhirnya akan berulang dan terus berulang. Dus, terlembagakan—seperti ular yang menggigit ekornya sendiri, titah sebuah pepatah.

Kembali kepada kasus wajah baru radikalisme dan terorisme di Indonesia. Kesimpulan yang dibetik Bahrun Naim dan perempuan terpilihnya, Dian Yulia Novi, berangkat dari cara berpikir yang salah kaprah semacam ini. Tapi, apa boleh buat, mereka memang orang-orang radikal, yang telah karib dengan pendangkalan-pendangkalan pesan keagamaan.

Pertanyaan besarnya, kemudian, untuk menderadikalisasi paham-paham keagamaan semacam itu, upaya apa saja yang dubutuhkan? Saya kira, baik pemerintah maupun ormas-ormas keagamaan semisal NU dan Muhammadiyah (untuk menyebut dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia), telah banyak melakukan upaya deradikalisasi. Tapi saya punya sudut pandang lain. Deradikalisasi tak semata persoalan pemahaman agama an sich dan sosial-ekonomi, ada faktor lain yang saya kira lebih “radikal.”

Pertama, yang terpenting, bagaimana pemahaman keislaman moderat atau substansial tak belaka terejawantahkan di bangku-bangku akademik, seminar, panggung-panggung pengajian, serpihan tulisan di media-media masa. Melainkan, juga merasuk ke kehidupan sehari-hari, menjadi budaya.

Sudah saya singgung di atas, budaya yang kita hidupi sekarang ini, telah dihegemoni oleh populisme-kanan. “Kanan” di sini tak berarti semata bernuansa keagamaan, tapi pola pemahaman yang sarat pendangkalan-pendangkalan. Apakah pendangkalan ini given atau constructed, tak menjadi soal. Yang jelas, radikalisme, laku-laku intoleran, dan terorisme nyata terjadi. Dan satu karakter umum yang dimiliki kaum radikal, sejak zaman kaum khawarij sampai kini adalah literalisme. Maka, tak terlalu mengagetkan, kalau radikalisme ini mampu berselingkuh dengan pop culture yang memang memiliki semangat yang sama: untuk sekedar “bermain” di wilayah permukaan.

Kedua, dengan melihat kesinambungan dan cara-cara acak kaum radikal IS (Islamic State) untuk menyebarkan radikalisme dan melakukan teror, konstruksi psikologis muram yang acap kita temukan pada anggota maupun simpatisannya, maka ada sumber lain yang saya kira mereka manfaatkan. Saya menyebutnya sebagai, untuk meminjam istilah Bourdieu: “habitus.”

Facebook Comments