Wabah Corona dan Pentingnya Jurnalisme Empati

Wabah Corona dan Pentingnya Jurnalisme Empati

- in Narasi
2139
5
Wabah Corona dan Pentingnya Jurnalisme Empati

Virus Corona (Covid 19) menjadi bahan pemberitaan dunia. Hampir setiap negara sedang berjuang untuk terbebas dari ancaman virus berbahaya ini. Di tengah perlawanan menghadapi pandemi ini, kita juga dihadapkan pada format pemberitaan yang justru menakut-nakuti.

Pemberitaan terhadap Corona yang terkadang lebay dan berlebihan membuat ketakutan masyarakat menjadi double,takut sama Corona plus takut sama stigma mengerikan yang dibuat oleh media. Media –baik itu massa, daring, maupun sosial –justru dalam konteks tertentu membuat masalah dan ketakutan baru.

Media tak ubah seperti papa skor pertandingan, sibuk mewartakan naik-turunnya angka yang positif kena virus Corona. Berapa yang kena, berapa yang sembuh dan berapa yang mati. Belum lagi, pemberitaannya diikuti dengan judul bombastis dan clickbait yang membuat masyarakat semakin takut.

Tidak heran jika ada sebagian pihak yang menyayangkan ulah media di tanah air. Demi rating, like dan sharing, media kadang keluar dari kode etik jurnalistik, selain berfungsi sebagai pewarta informasi juga seharusnya sebagai sarana edukasi.

Ini belum ditambah hoax yang berseliweran di media sosial tentang Corona. Kadang media sosial sulit membedakan mana fakta dan opini tentang Corona. Semuanya bercampur. Pemberitaan tentang Corona yang mengerikan, bombastis, dan clickbait harus dihentikan. Media sosial sebagai tempat subur lahirnya hoax tentang Corona harus ditangkal.

Baca Juga : Menjaga Kondusifitas, Melawan Hoax Corona

Sebab, jika tidak kita sibuk melawan virus Corona dengan sekuat tenaga, tetapi di sisi lain, kita dihantui oleh ketakutan akibat ulah sebagian media yang tak bertanggung-jawab dan sibuk memancing di air keruh.

Dalam kondisi seperti inilah, kita seharusnya mengutamakan jurnalisme empati. Jurnalisme yang memberikan bela rasa kepada manusia. Jurnalisme yang membuat masyarakat kuat, damai, dan tidak takut. Jurnalisme yang mengedukasi dan memanusiakan manusia.

Dalam bukuPenjaga Akal Sehat, Ashadi Siregar, yang pernah menjadi pengajar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyebutkan bahwa jurnalisme empati adalah upaya untuk memberikan dorongan, membangun optimisme hidup, dan dukungan bahwa hidup seberapa pun panjangnya adalah karunia.

Dengan demikian, masih menurut Siregar, jurnalisme empati diharapkan dapat melukiskan empati sebagaito see with eyes of another, to hear with the ears of another and to feel with heart of another. Dengan kerangka kerja ini, diharapkan tidak ada hoax dan pemberitaan eksploitatif yang membuat masyarakat resah.

Dengan pemberitaan yang mengedepankan empati, bela rasa, dan penuh dengan edukasi, akan muncul solidaritas dan identitas sosial sebagai akibat langsung dari kerja media.

Terkait dengan hal ini, McQuail (1992) menyebutkan ada tiga hal yang menjadi prinsip utama dari tatanan sosial sebagaimana ditampilkan oleh media.

Pertama, support yang diberikan media kepada masyarakat, apakah dengan cara representasi yang positif atau dengan cara kesempatan untuk mengakses dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Kedua, prinsip solidaritas yang merujuk pada semua aspek dari performa media yang melibatkan perpanjangan bentuk simpati secara simbolik kepada masyarakat yang sedang mengalami masalah –dalam hal ini virus Corona — di mana hal ini akan mengingatkan masyarakat akan nilai kemanusiaan yang harus sama-sama mereka jaga.

Ketiga, solidaritas dalam media juga bisa merujuk pada proses di mana media yang telah disebut sebagai “pro sosial” menampilkan isi media yang meneguhkan nilai sosial yang positif, seperti perilaku yang baik, kepedulian kepada yang lain, keterlibatan masyarakat, dan lain-lain.

Hasil pemberitaan yang empati, edukatif, dan bukan menakut-nakuti, akan membuat masyarakat peduli satu sama lain. Masyarakat akan merasa bahwa bencana ini adalah tanggung-jawab bersama dan harus dilawan secara bersama-sama pula. Kasus mahalnya harga masker, penimbunan alat bantu lainnya, atau perilaku egois dan arogansi yang ditunjukkan oleh masyarakat boleh jadi efek langsung dari ketakutan-ketakutan yang berlebihan yang dihasilkan oleh media.

Facebook Comments