Yang Hilang Dari Juru Dakwah: Akhlak!

Yang Hilang Dari Juru Dakwah: Akhlak!

- in Narasi
1489
0
Yang Hilang Dari Juru Dakwah: Akhlak!

Kelemahan sebagian besar dari para juru dakwah saat ini adalah tidak bisa menyelaraskan pemahaman keagamaan dan pemahaman kebangsaan. Padahal, dalam konteks Islam Nusantara –keduanya ibarat dua sisi mata uang: tidak bisa dipisahkan!

Efek dari tidak terkoneksinya wawasan agama dan wawasan kebangsaan adalah ruang publik dakwah dan media media sosial hari ini dibanjiri dengan dakwah yang mempertajam jurang perbedaan, sibuk dengan agamanya sendiri, menutup diri, dan membangun tembok eksklusifitasnya masing-masing.

Bahkan hari ini, dengan mudah kita menjumpai sebagian para penyeru agama yang dengan enteng dan tanpa rasa bersalah mencaci-maki dan memprovokasi agama lain.

Kasus beberapa ustad belakangan ini adalah contoh konkritnya. Sebagian juru dakwah –yang seharusnya menenangkan –malah ikut memprovokasi, mencaci-maki, bahkan bukan rahasia umum lagi, banyak yang merongrong keutuhan negeri ini, dengan mempromosikan ideologi atau sistem politik tertentu sebagai gantinya.

Bila ada pertanyaan, apa yang hilang dari para juru dakwah atau dakwah agama itu saat ini? Maka jawabannya adalah Akhlak. Akhlak di sini tentu dalam pengertian luas. Akhlak sebagai anak negeri yang lahir pada bumi dengan tingkat kemajumekuan yang luar biasa.

Orang yang tak bisa menjaga pluralitas dan keenaka-ragaman bumi Nusantara saya masukkan kepada orang-orang tak berakhlak. Akhlak bukan semata urusan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga ia sangat erat kaitannya dengan hubungan horizontal dengan manusia.

Minimnya Wawasan Kebangsaan

Hilangnya akhlak menjadikan ruang dakwah kita menjadi gersang. Rasa untuk menghargai perasaan orang lain; merawat warisan para pendahulu: berupa rasa persatuan dan kesatuan; menjaga hati agama lain agar tidak tersakiti rasa-rasanya mulai memudar di ruang publik dakwah.

Tentu bukan berarti tidak ada pendakwah yang santun dan mau menyuarakan toleransi, masih banyak, mereka masih dapat kita temui di berbagai penjuru. Akan tetapi, suara mereka tergilas oleh dakwah provokatif dan sektarian oleh sebagian oknum-oknum ustad yang tak bertanggung-jawab.

Dakwah provokatif bukan hanya monopoli Islam saja, hampir di setiap agama selalu ada oknum-oknum tertentu yang dengan sengaja menonjolkan primordialisme dan perbedaan sektarian ketimbang menuntut umat agar menuju kepada harmoni dan kedamaian. Kita dengan mudah menemukan itu di Facebook, Instagram, Youtube, dan media sosial lainnya.

Tugas utama kita –terlebih-lebih para pemeluk agama –adalah agar kita kembali kepada misi dan gaya berdakwa Nabi. Nabi berdakwah merangkul, bukan memukul; mengajak dengan ahsan; menghilangkan sektarianisme dan eksklusivisme. Dakwah yang mengangkat harkat dan martabat manusia.

Para pemeluk agama harus menghukum para penceramah yang suka memprovokasi, mencaci-maki, dan merendahkan pihak lain. Sebab, jika tidak dihukum, maka dengan sendirinya para ustad-ustad itu tanpa rasa bersalah, akan merasa di atas angin dan selalu beranggapan bahwa dirinya selalu didukung oleh para pendengar setianya.

Dakwah Profetik

Dakwah profetik dengan misi melawan segala bentuk rasisme menjadi tugas bersama, bukan hanya tokoh agama. Nilai-nilai persaudaraan, persamaan, dan tanggungjawab harus digelorakan di setiap sudut.

Ustad-ustad yang suka hoax dan caci maki jangan diundang, jangan diberi panggung, dan jangan diikuti media sosialnya. Dengan cara ini, maka misi profetik mewujudkan kesetaraan akan terlaksana.

Kesetaraan adalah salah satu tujuan utama dakwah Nabi Muhammad. Nabi selalu mendakwahkan bahwa letak kemuliaan seseorang bukan pada warna kulit, kelas sosial, keturunan, dan kekayaan, melainkan pada kesadaran dalam berketuhanan (taqwa). Misi dakwah sejatinya sangat egaliter. Nabi dengan lantang berpidato pada peristiwa Haji Wada’:

“Wahai sekalian umat manusia! Ingat, sesungguhnya Tuhanmu adalah Satu, dan bapakmu adalah Satu! Ingat, tidak ada kelebihan pada orang Arab atas orang Ajam (asing), dan tidak pada orang Ajam atas orang Arab, tidak pada orang merah (putih) atas orang hitam, dan tidak pada orang hitam atas orang merah (putih), kecuali dengan takwa..”

Pernyataan Nabi ini secara eksplisit menyuruh bahwa perbedaan suku, agama, ras, dan etnis jangan dijadikan sebagai ukuran dalam bertindak. Bersikap, dan berperilaku. Siapapun tidak boleh menganggap pihaknya lebih mulia dari pihak orang lain.

Agama selalu menyuruh agar sekat-sekat perbedaan itu semaksimal mungkin dihilangkan. Sebab, hanya dengan rasa seirama, serasa dan setara, persatuan dan kesatuan bisa terjaga.

Islam adalah agama yang selalu mendorong para pemeluknya agar menghargai dan menjungjung hak dan martabat setiap manusia, tanpa terjebak kepada perbedaan-perbedaan yang ada.

Nilai-nilai kesetaraan seharusnya menjadi bantu loncatan bagi setiap muslim terlebih-lebih para pemuka agamanya dalam mendakwahkan ajaran agama. Ustad, pendeta, biksu, dan segenap tokoh agama jangan terjebak pada eksklusifisme masing-masing. Dakwah harus dijadikan sebagai ladang untuk menanamkan benih-binih kesetaraan dalam masyarakat.

Facebook Comments