Tidak terasa, kurang lebih tiga bulan ini warga-bangsa Indonesia hidup dalam bayang-bayang kematian akibat wabah Covid-19. Pandemi yang memburu nyawa manusia ini bak hewan buas nan liar pemangsa tanpa pandang bulu, tak mengenal batas usia dan memburu semua manusia.
Tak terasa pula, bulan suci Ramadhan tahun ini sebulan penuh dilalui di tengah pandemi, umat muslim harus menjalani ibadah puasa di tengah-tengah wabah yang semakin menggila penularannya. Situasi terasa memang sangat pelik. Di satu sisi, ingin suasana Ramadhan berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya, namun di sisi lain yang mesti dituruti adalah imbauan pemerintah untuk tidak berkerumun sebagai suatu ikhtiar melindungi diri dari virus corona.
Akibatnya, ibadah-ibadah yang melibatkan orang banyak di dalam masjid seperti tarawih, tadarus dan lain sebagainya terpaksa harus ditiadakan, atau dibatasi. Di desa-desa, tarawih dan tadarus di masjid selama bertahun-tahun telah menjadi ritual yang membuat semaraknya Ramadhan. Namun, setelah datangnya pademi, semuanya berubah drastis, tatanan sosial amburadul, hubungan antar personal dibatasi (social distancing/physical distancing) demi keselamatan bersama dan menyudahi penularan corona. Rasa-rasanya baru kali ini ada suatu peristiwa perlawanan suatu “pertarungan” dapat dimenangkan hanya dengan berdiam di rumah. Alhasil, semua wajib di rumah saja dan beribadah pun dianjurkan di rumah bersama keluarga inti.
Ini menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia. Sementara bagi umat muslim sendiri, ini juga menjadi kesempatan besar karena sangat tepat dan situasinya juga pas dipertemukan dengan kewajiban menunaikan zakat fitrah. Spirit zakat fitrah sejatinya adalah berbagi kepada sesama. Sehingga, di masa sulit seperti saat ini, peluang ibadah dalam wujud berbagi terbuka lebar, bahkan menjadi suatu kewajiban.
Baca Juga : Ramadan, Nasionalisme dan Covid-19
Zakat fitrah merupakan simbol kepedulian sosial. Setiap Muslim berkewajiban menunaikan zakat fitrah yang merupakan simbol kepedulian sosial serta upaya kecil menyebarkan keadilan sosial. Dengan zakat fitrah yang disalurkan dapat memperkecil kesenjangan sosial antara kaya dan miskin. Kalau perlu, menghilangkannya sekaligus. Terlebih tersedianya sandang, papan dan pangan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia.
Selain itu, bulan Mei ini, kita mendapati dua momentum penting yakni Hari Kebangkitan Nasional dan 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Harkitnas tahun ini berusia ke-112 tahun yang bertepatan dengan hari ke-27 bulan suci Ramadhan. Dalam kitab Fathul Mu’in, disebutkan bahwa setidaknya ada tiga amalan utama yang mesti dilaksanakan pada 10 hari terakhir Ramadhan. Ketiganya memperbanyak sedekah, mencukupi kebutuhan keluarga serta berbuat baik kepada kerabat dan tetangga.
Tiga amalan tersebut bertepatan dengan kasus pandemi Covid-19 yang menciptakan kesulitan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupaan, terutama memenuhi kebutuhaan pokok. Spirit Hardiknas sebetulnya adalah bangkit untuk bersatu serta merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Momen peringatan sejarah ini patut terus dipelihara guna menumbuhkan dan menguatkan jiwa nasionalisme kebangsaan sebagai landasan dasar menyelenggarakan pembangunan serta mempererat persaudaraan untuk mempercepat terwujudnya visi dan misi bangsa.
Sejalan dengan bertemunya momen Ramadhan, Harkitnas dan kasus Covid-19, patut dijadikan sebagai refleksi untuk kita kembali merajut persatuan nasional sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu A’lam bi al-Shawab.