Kaum Muda, Radikalisme dan Kesadaran Partisipatoris Bela Negara

Kaum Muda, Radikalisme dan Kesadaran Partisipatoris Bela Negara

- in Narasi
623
0
Kaum Muda, Radikalisme dan Kesadaran Partisipatoris Bela Negara

Anak muda adalah tulang punggung negara. Kalimat itu nyaris menjadi klise lantaran selalu diulang-ulang sebagai sebuah retorika. Saking vitalnya peran kaum muda, Sukarno pun dalam pidatonya pernah berseru “beri aku sepuluh pemuda, makan akan kugoncang dunia”. Kalimat itu menjadi semacam harapan bagi kaum muda agar mampu menjalankan perannya sebagai agen transformasi sosial.

Namun, idealitas yang semacam itu tampaknya tidak selalu mewujud ke dalam realitas. Pada kenyatannya gambaran pemuda sebagai tulang punggung bangsa dan agen perubahan sosial itu tidak selalu benar. Dalam kehidupan nyata, tidak sedikit kaum muda yang justru menjadi beban bagi bangsa dan negara. Banyak dari mereka terjebak dalam pergaulan bebas, menjadi pecandu narkoba, bahkan terafiliasi dengan gerakan radikal keagamaan. Kondisi yang sudah barang tentu mengundang keprihatinan bersama.

Ihwal penyebaran paham radikal keagamaan ini tentu bukan berita baru dan juga bukan sekadar asumsi. Berbagai survei dan penelitian membuktikan bahwa infiltrasi paham radikal keagamaan di kalangan remaja dan anak muda sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Survie dari Alvara Insititue di tahun 2018 –untuk menyebut salah satunya saja, menyebutkan bahwa dari 2. 500 responden yang diteliti, 54 persen di antaranya setuju pada gagasan khilafah islamiyyah. Sedangkan 45 persen menganggap ideologi Pancasila dan NKRI serta UUD 1945 tidak lagi relevan diterapkan di Indonesia.

Dari beragam survei yang dilakukan pada kalangan anak muda, dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku ideologis (ideological behaviour) kaum muda muslim secara umum menunjukkan gejala ke arah radikal. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan anti-Pancasila dan NKRI yang demikian tinggi di kalangan generasi muda muslim perkotaan. Merosotnya pengaruh ideologi Pancasila dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat jelas berpotensi melemahkan kemampuan negara dalam mengontrol kehidupan sosial-politik wargenegaranya.

Baca Juga :Bela Negara Sebagian Daripada Iman

Ideologi, sebagaimana diyakini oleh Karl R. Popper, J. L. Talmon dan Hannah Arendt, berfungsi sebagai alat kontrol guna menjamin kesetiaan warganya. Ahli lain seperti J. M. Kenneys (1883-1946) yang merupakan ekonom asal Inggris memiliki pendapat yang senada. Menurutnya, dunia diatur oleh kekuatan pikiran. Ini artinya, tindakan manusia sebagian besarnya dipengaruhi oleh kekuatan dan keyakinan pikiran.

Maka, adalah hal yang logis jika sistem ideologi suatu negara tidak berfungsi optimal, bisa dipastikan kehidupan sosial-politik di negara tersebut akan mengalami instabilitas. Bahkan, pada titik tertentu lemahnya ideologi bisa saja menyebabkan warganegara bertindak di luar batas norma etika maupun hukum yang berlaku. Kondisi yang lebih parah akan terjadi jika warganegara justru dipengaruhi oleh ideologi politik lain selain ideologi resmi negara.

Kesadaran Alamiah Bela Negara

Tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan anak muda dari serbuan ideologi radikal keagamaan yang disebarkan oleh organisasi keislaman trans-nasional. Bagaimana pun, bangsa dan negara ini membutuhkan keberadaan anak muda sebagai penerima tongkat estafet perjalanan bangsa. Jangan sampai bangsa ini kehilangan satu generasi penerus yang akan tentunya mengganggu proses regenerasi kepemimpinan bangsa.

Oleh karena itu, kita (masyarakat dan pemerintah) perlu menumbuhkan kembali kesadaran partisipatoris bela negara di kalangan generasi muda. Kesadaran partisipatoris, dalam leksikon ilmu sosial, dipahami sebagai sebuah sikap dan perilaku yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk terlibat aktif dalam dinamika sosial politik. Dalam konteks bela negara, kesadaran partisipatoris dimaknai sebagai sebuah sikap kesukarelaan untuk berpartisipasi secara aktif dalam mewujudkan dan menjaga keamanan negara sekaligus dalam lingkup luas berkomitmen untuk setiap saat membela negara.

Kesadaran partisipatoris bela negara di kalangan anak muda ini tentu bukan paksaan dari negara yang bersifat hirarkis satu arah, melainkan hasil dari pertemuan antara kepentingan negara di satu sisi dengan komitmen kebangsaan di sisi lain. Dalam kalimat lain, kesadaran partisipatoris bela negara ialah sikap alamiah yang muncul begitu saja karena rasa cinta dan bangga menjadi bagian dari Indonesia. Demi menumbuhkan sikap cinta dan bangga pada tanah air itulah, negara harus tampil sebagai kekuatan yang otoritatif sekaligus berwibawa. Lantas, bagaiamana caranya menjadikan negara sebagai institusi publik yang otoritatif dan berwibawa?

Caranya ialah dengan menjalankan manajeman kepemimpinan dan pengelolaan birokrasi pemerintahan yang profesional, efektif dan transparan. Di satu sisi, negara harus tampil sebagai kekuatan yang memiliki kehendak untuk memaksa warganegaranya taat hukum. Namun, di sisi lain negara juga harus menunjukkan sikap mengayomi seluruh warganegara tanpa kecuali. Perpaduan antara peran negara sebagai kekuatan koersif dengan negara sebagai kekuatan pengayom ini akan menjadikan negara tampil berwibawa di depan masyarakat. Dan, secara otomatis warganegara pun tunduk pada negara serta secara sukarela akan berpartisipasi dalam aktivitas bela negara.

Selain itu, negara juga harus dikelola secara profesional, efektif sekaligus transparan. Orientasi kerja pemerintah sebagai kepanjangan tangan dari negara adalah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warganegara, terlepas dari identitas kesukuan dan keagamaannya. Pemerintah harus memastikan semua kebijakan yang diambilnya merupakan langkah terbaik untuk mensejahterakan masyarakat. Pada saat yang sama, pemerintah juga berkewajiban memastikan hukum dan hak asasi manusia bisa ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika peran ini dapat dijalankan oleh pemerintah, bisa dipastikan masyarakat, terutama golongan kaum muda akan setia dan patuh pada negara.

Melibatkan Anak Muda dalam Pengambilan Keputusan

Adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa salah satu faktor penyebab banyaknya anak muda terseret ke dalam arus radikalisme agama ialah kekecewaan pada kondisi sosial, ekonomi dan politik yang penuh dengan ketidakpastian. Anak muda, secara psikologis tengah mengalami masa labil, lantaran bergulat dengan pencarian jati diri. Beban itu kian terasa berat ketika mereka harus memikirkan arah dan masa depan kehidupannya yng penuh dengan ketidakpastian. Semua itu diperparah dengan ketidakhadiran negara dalam kehidupan mereka. Anak muda, meski kerap disebut sebagai generasi penerus bangsa, pada kenyataanya justu kerap diabaikan dan absen dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah.

Mulai saat ini, corak pengambilan keputusan yang mengabaikan keterlibatan kaum muda itu tentu harus ditinggalkan. Anak muda perlu dilibatkan ke dalam manajemen pengelolaan negara, dengan berbagai macam peran yang bisa dilakoninya. Pengangkatan staf khusus Presiden dari kalangan milenial beberapa waktu lalu kiranya bisa menjadi semacam momentum keterlibatan anak muda dalam pemerintahan. Dengan melibatkan anak muda ke dalam pengelolaan negara, maka rasa nasionalisme dan komitmen kebangsaan itu akan tumbuh dengan sendirinya. Inilah yang akan membuka jalan bagi lahirnya kesadaran partisipatoris bela negara.

Pembentukan kesadaran partisipatoris bela negara di kalangan anak muda yang dilakukan secara alamiah akan jauh lebih efektif ketimbang menerapkan kebijakan bela negara yang sifatnya paksaan dari atas. Misalnya melalui kebijakan wajib militer yang sudah mendapatkan resistensi bahkan sejak masih diwacanakan. Dengan membangun kesadaran partisipatoris bela negara itu pula, diharapkan akan lahir generasi muda yang memiliki jiwa kepemimpinan yang nasionalis dan siap menginisasi transformasi sosial. Semoga!

Facebook Comments