Yang Tua Yang Beriak, Yang Muda Yang Mengendap

Yang Tua Yang Beriak, Yang Muda Yang Mengendap

- in Narasi
381
0

Dalam kesusastraan Jawa, khususnya pada karya Ronggawarsita, istilah “muda” ternyata tak bertentangan dengan istilah “tua.” Sang pujangga Jawa itu mengaitkan istilah “muda” dengan istilah “mupus” atau “pupus” yang merujuk pada tunas atau daun muda. Meskipun ungkapannya terkesan sumeleh, “mupus pepesthening takdir,”namun secara spiritual kondisi itulah yang diasosiasikan dengan sikap yang sudah dewasa: menjemput takdir dengan penuh harapan. Maka tak heran ketika Mangkunegara IV mencirikan pula sikap dewasa atau tua ini dengan ungkapan “liring sepuh sepi hawa” yang sama sekali tak mengacu pada segi usia.

Beberapa waktu yang lalu ramailah jagat perpolitikan kita dengan munculnya yang muda dalam rangka meraih tampuk kekuasaan. Banyak pihak, sebagaimana lazimnya, menyebut hal itu sebagai hal yang tak patut. Untuk menegaskan ketakpatutan itu terkesan ada banyak cara yang digunakan. Namun, bukan agenda tulisan ini untuk menyinggung segala teknis penyikapan yang ahistoris atas munculnya fenomena kemudaan itu.

Orang barangkali lupa ketika raja Surakarta mengadakan perjanjian Giyanti dengan angka umur yang belumlah banyak. Dipanegara pun konon menjadi wali dari raja Yogyakarta, HB V, yang saat itu berusia 3 tahun. Artinya, dalam sejarah kekuasaan Jawa, ternyata umur bukanlah hal yang patut atau tak patut untuk menjadi pertimbangan atas sebuah pilihan.

Memang, dalam peradaban modern, yang muda banyak dicitrakan sebagai yang beda sekaligus yang berbahaya. Singkatnya, kecerobohan atau sikap pendek berpikir selalu diidentikkan dengannya. Dalam karya-karya sastra modern sama sekali kemudaan itu tak sebagaimana Ronggawarsita atau Mangkunegara IV menangkapnya. Maka, fenomena pemampatan kemudaan dalam lingkaran kekuasaan di Indonesia jelas adalah barang baru yang berangkat dari “kepongahan” modernisme.

Orang-orang yang berupaya memampatkan kemudaan itu saya kira dulunya hanyalah para “pemuda ceroboh” yang pernah terbuai oleh kemerdekaan modern yang, dalam kacamata postmodern, ilusif. Maka tak heran ketika dalam usia tuanya mereka berupaya menolak yang muda dimana gambaran tentang yang muda itu berangkat dari pengalaman-pengalaman pribadinya yang terbentuk oleh modernitas. Padahal konstruksi tentang yang muda itu tak semata dihasilkan oleh modernisme (Barat). Ronggawarsita dan Mangkunegara IV, sebagaimana di atas, jelas justru menempatkan kematangan spiritual bukan berdasarkan angka tahun hidup atau umur.

Kemudaan dalam tangkapan pujangga dan raja di Surakarta itu justru menampakkan sikap-sikap yang bagi pemabuk modernisme dikategorikan tua, dengan kembali pada Ronggawarsita, diungkapan penuh dengan “pangastuti” yang konon mampu mengalahkan sikap kemudaan yang diagung-agungkan oleh modernisme, “suradira jayaningrat.”

Sikap untuk tak rela atau tak nrima jelas adalah wujud kemudaan spiritual dari golongan yang bisa saja tua dari segi umur, setelah misalnya berkali-kali mencoba memampatkan segala potensi yang dimiliki oleh yang muda. Dan sikap yang muda, dalam konteks ini, justru diimbangi dengan sikap sumeleh dan sumarah atas apa yang sedang terjadi, yang lazimnya konon dimiliki oleh kalangan yang dianggap tua secara umur. Maka, patut untuk direnungkan, siapakah sesungguhnya di sini yang ingusan atau yang muda dalam hal menyikapi atas apa yang terjadi?

Facebook Comments