Lebaran Ketupat: Wujud Akulturasi Budaya Dalam Anjuran Al Qur’an

Lebaran Ketupat: Wujud Akulturasi Budaya Dalam Anjuran Al Qur’an

- in Narasi
147
0

Lebaran ketupat seringkali dimaknai kelompok radikal sebagai sesuatu yang bid’ah atau tidak pernah ada pada zaman Nabi Muhammad saw. Sebagai hari kemenangan, lebaran menurut mereka hanya ada di tiga hari saja, yaitu hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Jum’at. Tidak ada lebaran ketupat yang tertulis dalam perjalanan penyebaran Islam Nabi Muhammad saw.

Padahal jika dikulik lebih dalam, sebenarnya lebaran ketupat adalah hasil akulturasi Walisongo terhadap makna “Lebaran” yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Lebaran dimaknai sebagai sifat berlapang dada untuk meminta sekaligus memberi maaf kepada sesame atas kesalahan yang pernah mereka lakukan. Perintah saling memaafkan ini pada dasarnya banyak tertuang dalam Al-Qur’an, seperti Al’A’raf ayat 199 dan Surat Asy-Syura ayat 40.

Perintah inilah yang diwujudkan oleh Walisongo dalam bentuk akulturasi budaya agar mudah diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat Indonesia. Secara turun-temurun budaya lebaran ketupat menjadi tradisi sekaligus simbol atas meleburnya dosa ataupun kesalahan antar manusia. Dan berkat ketupat inilah, kedua belah pihak yang tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan kata “maaf” secara panjang lebar, hanya cukup memberikan ketupat sebagai simbol perdamaian.

Mengacu catatan Sejarah, ketupat mulai dikenal pada masa Pemerintahan Raden Patah di Demak pada awal abad ke-15. Saat itu ketupat diperkenalkan oleh salah satu Walisongo, yaitu Sunan Kalijaga yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam melalui pendekatan kultural untuk menguatkan hubungan politis lewat penggunaan symbol budaya agraris.

“Kupat” dalam istilah jawa berarti “ngaku lepat” yang berarti mengakui semua kesalahan yang pernah diperbuat. Dimana pembungkus dari ketupat sendiri memakai bahan khusus yang disebut sebagai Janur atau jatining nur, dimaknai sebagai gambaran hati nurani yang bersih. Dan jika dibelah, maka bentuk dari dalam ketupat tersebut akan berbentuk putih bersih yang melambangkan keadaan hati kedua belah orang setelah meminta maaf.

Makna filosofis inilah yang ditanamkan oleh Sunan Kalijaga untuk membungkus wajah Islam menjadi lebih menarik di mata masyarakat. Bahwa Islam adalah agama kreatif yang bisa membantu umatnya mengkreasikan segala sesuatu menjadi lebih indah. Wujud ketupat adalah simbolisme permintaan maaf yang disederhanakan oleh pemikiran indah Walisongo.

Wujud ketupat yang unik menjadi tanda pendepakatan spiritual seorang hamba kepada Tuhannya atau disebut sebagi Habluminallah. Hal ini hadir dari pemaknaan ketupat sebagai keblat papat lima pancer. Keblat papat adalah empat arah mata angin utama yaitu timur, barat, Selatan, utara. Dan lima pancer berarti elemen utama yang menjadi pusat.

Maka ketika seseorang memakan ketupat, dirinya akan selalu dingatkan untuk beribadah kepada Allah. Berdzikir dan menjalankan segala perintah yang diperintahkan oleh Allah swt. Sehingga waktu yang diberikan oleh Allah kepada hambanya menjadi sangat mulia karena dipenuhi dengan rasa Syukur dan penghambaan yang sangat luar biasa.

Selain itu, pemaknaan filosofis ketupat yang begitu dalam juga menjadi jalan penerang bagi hubungan antar manusia atau Habluminannas yang telah rusak atau mungkin sempat renggang. Berkat adanya tradisi, mereka yang malu mengungkapkan menjadi sosok yang lebih terbuka karena ada sesuatu yang mengawalinya.

Dengan adanya hal-hal semacam itu, lebaran ketupat sebenarnya menjadi akulturasi menarik yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Bentuk akulturasi semacam ini hadir dan diperintahkan dalam Al-Qur’an. Bahkan dalam beberapa kali kesempatan, Nabi Muhammad saw juga menegaskan tentang pentingnya memaafkan dan meminta maaf ketika ada kesalahan.

Jangan sampai tradisi luhur yang menjadi warisan Nusantara hilang karena alasan belum ada pada zaman Nabi Muhammad saw. Dan jangan sampai nilai-nilai luhur filosofis ketupat terbuang luntur begitu saja dan tidak terwariskan ke anak cucu kita.

Facebook Comments