Fitrah Kebhinekaan: Kesejatian Islam Indonesia dalam Simpul Kearifan Lokal

Fitrah Kebhinekaan: Kesejatian Islam Indonesia dalam Simpul Kearifan Lokal

- in Narasi
143
0

Berbagai fenomena yang sangat khas Indonesia ini sesungguhnya mencerminkan hakikat kebangsaan itu sendiri, yaitu kebhinekaan dalam persatuan yang dikenal dengan frasa “Bhineka Tunggal Ika”. Keberagaman keberagamaan dalam berbagai lokalitas adalah salah satu bagiannya. Kelindan agama dan kebangsaan dalam simpul kearifan lokal merupakan kekayaan dan keunikan Indonesia yang patut juga diraya-ingatkan demi menjaga keutuhan bangsa, yang tantangannya tidak sedikit. Selain menjadi panggilan untuk kembali pada fitrah diri sebagai umat beragama, Idul Fitri juga mengundang kembali pada kesejatian bangsa sebagai warga negara yang menghayati keberagaman dan kebudayaan, termasuk dalam praktik beragama.

Lebaran: Merayakan Kesejatian

Tentu saja ada beragam cara untuk menjelaskan makna dari Idul Fitri. Perayaan Idul Fitri adalah momen kembali ke fitrah; kembali pada asal, kesucian, atau kesejatian. Manusia dipahami sebagai makhluk yang mulia; berakal budi, bernurani, dan bijaksana dalam tata praktik kehidupannya. Hiruk pikuk dan berbagai distraksi memang acap kali berhasil menyerongkan laku-pikir manusia dari fitrahnya. Namun, momen bulan ramadhan yang dirayakan dengan lebaran menunjukkan bahwa manusia sesungguhnya mampu untuk kembali pada dan merawat kesejatiannya itu.

Bahkan, umat non-muslim pun memiliki pemaknaannya tersendiri terhadap Idul Fitri dan bahkan turut merayakannya juga dengan khidmat. Sekalipun lebaran merupakan tradisi keagamaan umat Muslim, ia juga teramat sakral bagi sebagian besar umat non-Muslim. Hal ini karena, momen bulan ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia telah menjadi bukan saja perayaan keagamaan, tetapi juga keberagaman.

Sebagaimana telah sering dinarasikan, berburu takjil misalnya telah menjadi fenomena sosio-kultural lintas agama. Lebih dari itu, gegap gempita petasan dan takbiran juga telah menjadi senandung padu kebangsaan yang membawa damai. Pun juga halnya dengan ‘mudik’ yang telah menjadi basantara (bahasa bersama) bagi bukan saja umat muslim, tetapi juga terutama kaum perantau yang turut menghayatinya sebagai momen sakral penuh haru untuk berjumpa dengan keluarga, alih-alih sekedar kesempatan liburan.

Perjumpaan kembali ini tentu saja merupakan momen yang sangat intim dan ‘sakral’. Jika umat muslim di hari yang ‘fitri’ kembali pada kesejatian kemanusiaannya yang berketuhanan, perantau kembali pada asal muasal kesejatiannya dalam keluarga dan kampung halamannya. Ketika perantau yang bekerja di kota dengan segala rutinitas urbannya kembali ke suasana kehidupan kampung dari mana ia berasal, mudik adalah napak tilas untuk mengalami kembali atau setidaknya mengenang ruang dan waktu dimana kesejatiannya ditempa.

Hidup (ab)Normal (Pasca) Ramadhan

Habib Jafar dalam salah satu talk show di sebuah kanal Youtube menjelaskan bahwa telah banyak terjadi salah kaprah di masyarakat terkait makna bulan ramadhan, Idul Fitri, dan bulan-bulan setelahnya. Masa setelah bulan ramadhan sering dianggap sebagai momen untuk “kembali normal” atau kembali ke hidup dan rutinitas yang normal. Hal ini mengandaikan seolah bulan puasa adalah masa yang abnormal atau berbeda dengan rutinitas yang sudah dianggap biasa.

Setelah masuk libur lebaran misalnya, banyak orang membuat story-gram atau postingan di beranda media sosialnya dengan foto segelas kopi di depan keyboard dan layar komputer kantornya, lengkap dengan tulisan “back to normal routine” (kembali ke rutinitas normal). Artinya, ia akan kembali ke pola hidup yang tanpa aturan pengendalian diri dalam hal kerja, makan, istirahat, shalat, dan lainnya sebagaimana dalam bulan puasa.

Padahal menurut Habib Jafar, masa bulan puasa itulah yang seharusnya dianggap sebagai hidup normal. Manusia semestinya menghidupi setiap hari kehidupannya di bulan apapun dengan fitrah yang dihayatinya dalam bulan puasa. Pola rutinitas yang fitrah ini adalah dimana manusia hidup dengan penuh kesadaran dan pengendalian diri, berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhkan dari dosa atau hal-hal yang merugikan diri dan orang lain, serta memperbanyak amal perbuatan baik dan ibadah. Justru jika setelah bulan ramadhan manusia kembali pada kebiasaan-kebiasaan buruk yang dianggap normal, maka ia sebenarnya gagal dalam menempa jiwa dalam bulan ramadhan itu.

Kearifan Lokal dalam Fitrah Kebhinekaan Indonesia

Sebagai tradisi yang turut dihayati oleh berbagai elemen bangsa, ramadhan dan Idul Fitri tentu saja mengandung kedalaman nilai yang penting untuk juga dirayakan dan direfleksikan dalam konteks kebangsaan dan lokalitasnya. Dalam momentum mengingat-rayakan fitrah diri yang sesungguhnya mulia sebagai ciptaan Tuhan, kesejatian bangsa Indonesia dalam keragaman lokalitasnya juga tentu saja dapat direfleksikan kembali. Jika ia bisa menjadi perayaan bersama lintas agama, maka mempraktikkannya dalam kerangka lintas-tradisi, lebaran ketupat sebagai perayaan Islam-Jawa misalnya, dapat dilihat sebagai bagian dari kebhinekaan Islam. Tuduhan terhadapnya sebagai Islam yang tidak murni dengan demikian perlu dipikirkan kembali, sebab ia sesungguhnya menampakkan kesejatian Islam Indonesia itu sendiri.

Dalam beberapa tahun bahkan dekade terakhir, Indonesia dapat dikatakan telah melalui masa-masa 11 bulan (non-Ramadhan) dimana kesejatiannya, termasuk akar-akar lokalitasnya, telah banyak dinafikkan. Ketika memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sebagai suatu bangsa, para bapak-ibu pendiri (founding fathers-mothers) tentu saja meletakan dasar-pilar kebangsaan yang dicita-citai sebagai kemuliaan Indonesia. Gagasan, ideologi, dan cita-cita yang luhur ini terepresentasi dengan sangat elegan pada slogan “Bhineka Tunggal Ika”.

Nilai keterbukaan akan perbedaan dalam bingkai kesatuan ini dapat ditemukan dalam banyak kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia. Prinsip ini tidak hanya berlaku pada tataran manusia dengan ragam latar belakangnya, tetapi juga pada ranah gagasan dan praktik hidup yang ditenun dari ragam tradisi keagamaan dan kebudayaan berbeda. Lebaran ketupat dalam hal ini adalah salah satu contoh perayaan keagamaan Islam dalam bingkai kebudayaan Indonesia.

Tentu saja sangat disadari bahwa Indonesia hanya bisa didirikan di atas penghayatan yang setinggi-tingginya pada keberagaman dan persatuan yang berakar pada lokalitasnya. Inilah yang menjadi hakikat, kesucian, atau fitrah dari Indonesia itu sendiri. Jika tidak memegang teguh fitrah kebhinekaan sebagai ‘kearifan lokal’ Indonesia, Indonesia tidak dapat menjadi Indonesia. Satu pulau saja, atau satu etnis saja, atau satu agama saja, atau monokulturalisme adalah bertentangan dengan kesejatian Indonesia itu sendiri.

Upaya polarisasi atau politik pecah-belah bangsa yang banyak terjadi melalui narasi-narasi intoleransi agama maupun budaya serta pelanggaran hak dan kebebasan adalah bentuk tata kehidupan berbangsa yang telah menyerongkan diri dari fitrahnya. Padahal, Indonesia merupakan bangsa yang diakui secara global dalam hal pluralitas kearifan lokal dan nasionalismenya yang hidup. Bangsa lain bahkan menjadikan Indonesia sebagai kiblat yang agung dalam mempelajari pengelolaan keragaman dan pelestarian kebudayaan, mengingat keberhasilannya dalam menjaga persatuan bangsa yang terdari dari beragam etnis, budaya, dan agama.

Kemuliaan, kesucian, dan kesakralan inilah yang mestinya selalu menjadi perayaan dan penghayatan akan Indonesia, bukan hanya pada saat lebaran. Sebagaimana 1 bulan ramadhan bagi umat Muslim dapat dijadikan dasar komitmen untuk kehidupan yang suci di bulan-bulan lainnya, demikian juga kiranya fitrah nasionalisme dan pluralisme yang mengakar pada lokalitas dijadikan etika berbangsa di masa kini dan masa-masa yang akan datang, tentu saja dengan berbagai tantangan dan distraksi yang akan turut membersamainya.

Facebook Comments