Seringkali orang-orang yang mengaku beragama Islam, ada juga yang menolak konsep nasionalisme. Mereka justru mengangung-angungkan konsep khilafah islamiyyah bagi Indonesia. Padahal, jika kita mau mengkaji secara lebih lanjut, penerapan khilafah islamiyyah sangatlah tidak cocok bagi negeri kita. Dan, seringkali pemahaman seorang muslim Indonesia yang seperti ini, mengantarkan pada perpecahan dan parahnya ada juga kelompok yang memaksakan kehendaknya melalui tindakan terorisme.
Kondisi tersebut sangat mengancam pada negara kebangsaan yang majemuk seperti Indonesia. Junus Melalatoa (1995) dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia mengungkapkan bahwa penduduk yang mendiami negara Indonesia tidak kurang dari 500 suku bangsa, mereka mendiami sekitar 17.000 pulau besar dan kecil, berpenghuni atau tidak berpenghuni. Lebih lanjut, Clifford Geertz (Hardiman, 2002: 4) bahkan merasa sulit melukiskan anatomi kemajemukan Indonesia secara persis.
Melihat kemajemukan tersebut, tentu saja, anggapan-anggapan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena dapat mengancam nilai-nilai Kebhinnekaan yang selalu kita junjung tinggi. Maka, dalam konteks ini, kita perlu memahami secara baik, istilah Islam dan nasionalisme dalam konteks pertentangan di masa menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia yang digunakan untuk mengekspresikan pandangan tentang konstruksi Negara Indonesia yang hendak dibangun.
Sejarah politik di Indonesia mencatat bahwa antara Islam dan nasionalisme pernah mengalami dialektika yang sangat dinamis. Menjelang kemerdekaan, dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), secara umum terdapat dua kubu yang saling berhadapan, yakni kubu Islam dan kubu nasionalis. Kubu pertama diwakili oleh tokoh-tokoh Islam di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), dan KH Wahid Hasyim (NU). Sedangkan kubu nasionalis dimotori oleh Soekarno, Hatta, dkk.
Dua kubu yang ada tersebut dilabeli dengan Islam dan nasionalis disebabkan oleh pandangan dan cita-cita politik mereka berkaitan dengan format atau konstruksi Negara Indonesia merdeka nantinya (Nasih, 2012). Disebut sebagai kelompok Islam karena mereka menginginkan Indonesia merdeka diformat sebagai negara-Islam atau setidaknya menjadikan “Islam sebagai dasar negara”. Sedangkan kubu seberangnya disebut nasionalis karena mereka menginginkan Indonesia merdeka dikonstruksi sebagai negara-kebangsaan atau negara bangsa (nation-state).
Konsep negara-bangsa secara konseptual berbeda dengan konsep negara Islam dan negara yang berdasarkan agama pada umumnya. Konsep negara bangsa muncul di Barat yang awalnya merupakan sistem religiopolitik integralisme Katholik di abad pertengahan. Sistem religiopolitik ini kemudian ditumbangkan oleh gerakan reformasi renaissance (Smith, 1985: 8).
Melihat akar sejarah kemunculan konsep negara-bangsa tersebut, nampak bahwa ia lahir dari pandangan sekuler yang memisahkan antara agama dan negara. Singkatnya, agama dianggap hanya sebagai hubungan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan negara mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lain (Nasih, 2012). Sebab itulah, pada saat itu, negara-bangsa oleh kelompok Islam dipandang sebagai konsep sekuler dan karena itulah mereka menolaknya disebabkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius.
Pandangan kelompok Islam ini disanggah oleh Soekarno. Menurutnya, negara-bangsa Indonesia tidak hendak mengesampingkan agama. Bahkan, dalam negara-bangsa, agama akan dimerdekakan dari negara dan sebaliknya negara juga dimerdekakan dari agama, sehingga masing-masing bisa kuat. Dalam sebuah negara-bangsa, warga negara tetap memiliki kesempatan untuk memeluk agama tertentu karena negara memberikan kebebasan kepada warganya beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa sesungguhnya paham kebangsaan tidak bertentangan dengan agama. Kesalahan pemahaman negara-bangsa dalam hal ini karena seseorang yang berpaham nasional selalu dianggap anti agama, padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Hal ini karena dari sudut pandang agama juga tidak terdapat teks al-Qur’an, hadis Nabi Muhammad, maupun ijma’ ulama yang memerintahkan untuk mendirikan negara-Islam.
Melihat pandangan Soekarno ini, nampaknya Soekarno tidak menelan mentah-mentah konsep negara-bangsa Barat yang memang sekuler dan bahkan memang dimunculkan untuk melepaskan diri dari agama, tetapi Soekarno menyempurnakannya dengan kemungkinan hidupnya religiusitas dalam sebuah negara-bangsa dengan tetap tidak menyatukan antara agama dan negara.
Dari sini nampak sangat jelas bahwa dikotomi antara nasionalisme (kebangsaan) dan Islam terjadi karena perbedaan pandangan tentang konstruksi Negara yang hendak dibangun pada saat itu. Karena itu, kalau kita sekarang masih mendikotomikan antara nasionalis dan Islam bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman. Sebab, orang yang nasionalis juga bisa berkarakter religius dan islami. Wallahu a’lam bish-shawaab.