Konon, agama Islam bisa diterima oleh masyarakat Nusantara lantaran para da’i-nya merupakan orang-orang pilihan. Mereka adalah orang-orang pandai yang sehingga bisa memasukkan nilai-nilai ajaran agama Islam ke masyarakat Nusantara. Bahwa hanya orang-orang pilihanlah yang mampu berdakwah di bumi Nusantara lantaran budaya Nusantara sudah sangat tinggi. Sehingga, pekerjaan rumah (PR) para da’i di masa itu adalah mengawinkan antara budaya lokal dengan ajaran agama Islam.
Dapat di bayangkan manakala saat itu masyarakat Nusantara sudah memiliki budaya dan tradisi yang sangat kuat. Bahkan, dalam diri setiap masyarakat juga sudah tertanam adanya kepercayaan terhadap sesuatu yang maha segala-galanya. Mereka mengimani apa yang dianut secara turun temurun lengkap dengan ritual yang dilakukan. Maka, para da’i yang mengajarkan ajaran baru pun tidak serta merta mendapat tempat di hati masyarakat manakala harus menghapus tradisi lama dengan mengganti tradisi baru. Jika ini yang dilakukan, bukan ajaran agama Islam yang diterima, melainkan da’i-nya akan mendapatkan penolakan, bahkan hanya untuk bersinggah saja.
Pun, para da’i “di masa itu” merupakan orang-orang pilihan. Mereka yang fasih dalam berbahasa Arab, sebagai bahasa turunnya ajaran agama Islam, sangat mernghargai budaya lokal yang ada. Mereka sudah mengetahui bahwa jika memberangus budaya lokal justru akan menjadi penghalang dakwah yang dilakukan. Dengan pikiran jernihnya, mereka berusaha memasukkan ajaran agama Islam tanpa harus mengubah tradisi yang ada. Bahkan, tradisi yang awalnya bertentangan dengan ajaran agama Islam, dengan di”susupi” ajaran agama Islam, justru bisa menjadi ajang ibadah.
Kenduri yang kini menjadi ajang sedekah umat muslim Nusantara merupakan bentuk tradisi yang awalnya bertentangan dengan ajaran agama Islam. Nuansa bid’ah, bahkan musyrik terjadi pada kenduri sebelum adanya agama Islam. Namun, ketika para da’i terdahulu mengisi ajaran agama Islam dalam prosesi kenduri, justru kenduri merupakan wadah untuk bersedekah, silaturrahim, dan syi’ar agama Islam.
Dengan adanya akulturasi budaya semacam inilah, agama Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Nusantara yang sejak awal sudah memiliki budaya tinggi. Dan, sejatinya, budaya Nusantara yang sudah luhur ini merupakan modal utama untuk dapat dikawinkan dengan ajaran agama. Namun, sayangnya tidak semua umat muslim memahami bahwa potensi luar biasa ini bisa dijadikan modal untuk menjadikan Islam yang indah. Banyak dari umat muslim justru ingin memberangus budaya lokal nusantara dengan dalih menegakkan syari’at agama Islam yang murni.
Sungguh Nabi Muhammad Saw yang diutus Allah Swt merupakan orang yang mengamalkan budaya lokal Arab yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan, ia juga menggunakan gamis dan jubah layaknya orang-orang Arab non-muslim kala itu. Maka, bagi umat muslim yang akan meniru segala yang dilakukan Nabi Muhammad Saw merupakan kebaikan tersendiri. Namun, umat muslim yang mengikuti budaya lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam juga tidak salah. Bahkan, apabila seorang muslim mengikuti budaya lokal (yang baik) sebagai sarana mensukseskan dakwah Islamiyah, tentu ini merupakan keunggulan tersendiri.
Bermula dari sinilah, integrasi budaya lokal dan ajaran agama Islam mesti dilakukan. Umat muslim harus bisa memilih dan memilah budaya yang bertentangan dengan ajaran agama dan tidak. Mereka juga harus pandai menerapkan ajaran agama dalam setiap situasi dan kondisi. Jika hal ini tidak bisa dilakukan, tentu pertentangan antara agama dan budaya lokal akan terus terjadi.
Wallahu a’lam.