Minggu ini kembali kita diingatkan serta didorongkan agar berpartisipasi sebagai warga negara yang kebetulan daerahnya melaksanakan pesta demokrasi untuk turut serta mengambil peran dalam perhelatan tersebut. Caranya adalah dengan ikut menentukan pilihan kepala daerah di dalam bilik suara. Dalam ruang demokrasi, hal inilah yang mesti dilakukan sebagai manifestasi dari keinginan menyalurkan aspirasi masyarakat. Meski demikian kita mesti mengakui bahwa dalam sistem ini sebenarnya terdapat kelemahan. Salah satunya adalah potensial memunculkan tindakan penghasutan terhadap rakyat secara verbal maupun non-verbal untuk kepentingan tertentu, atau akrab disebut sebagai Demagogi. Umumnya hal tersebut dilakukan guna memperoleh simpati dan membingkai opini masyarakat agar mendukung gagasan yang dimilikinya, hingga pada gilirannya sudi memberikan dukungan dalam aksi pilih-memilih.
Sebenarnya hal ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak masa pemerintahan dan penerapan sistem demokrasi di masa Yunani kuno, seperti pada era Sofisme. Namun demikian, hingga kini hal tersebut tidak lantas menghilang. Sebaliknya hal tersebut ternyata turut berproses dan menyesuaikan diri bersama perubahan yang ada. Nampaknya sisi lain yang bengis dari sebuah pemahaman demokrasi yang pragmatis tidak akan mampu hilang dari realitas yang ada. Selanjutnya, sistem yang demikian hanya akan terus menciptakan para demagog yang sengaja mencitrakan banalitas terhadap hal yang mereka lakukan.
Untuk konteks saat ini, kita dapat mengambil contoh dari cara kampanye yang dilakukan oleh seorang Donald Trump, Presiden Amerika Serikat. Ketika tengah mengkampanyekan dirinya untuk menjadi Presiden Amerika Serikat, ia sempat beberapa kali menyampaikan gagasan diskriminatif mengenai masyarakat Muslim. Hal ini dilakukannya guna menggalang simpati masyarakat yang khawatir terhadap terorisme agar dapat menjatuhkan pilihan mereka padanya. Padahal seperti kita ketahui bersama, agama sejatinya tidak dapat dicitrakan melalui tindakan terorisme. Namun siapa sangka, ternyata negara yang selama ini kita anggap telah maju pemahaman demokrasi dan teknologinya tersebut, masih juga mampu terhanyut arus gagasan yang demikian. Dalam konteks pemahaman demagogi, hal yang dilakukan di atas sejatinya hanyalah pernyataan politis yang tidak bisa dipegang kuat. Sebab seperti kita ketahui bersama mengenai tingginya ketergantungan Amerika Serikat terhadap bahan bakar, membuat mereka tidak akan bisa lepas dari relasinya dengan negara-negara di jazirah arab. Sehingga bisa dikatakan gagasan yang diungkapkannya ketika masa kampanye hanyalah ditujukan untuk meraih suara semata.
Dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat realitas bahwa setiap partai bisa saja berkoalisi dengan partai lain. Batasan untuk harus berkoalisi atau pun tidak berkoalisi sejatinya sangat tipis. Kohesifitas antara semua partai sangatlah cair, sehingga penentuan arah koalisi bisa saja berubah hingga di menit-menit akhir. Dalam hal demikian, perspektif ideologis seringkali malah dipinggirkan demi memprioritaskan kepentingan dan ambisi pragmatis sejumlah aktor yang ada di dalamnya. Beberapa partai yang mengklaim diri sebagai partai agama dan acap kali berdebat gagasan dengan partai nasionalis, dalam beberapa kesempatan pun harus mampu merelakan ideologisnya terpinggir oleh kompromi kepentingan.
Melalui data yang telah diolah secara seksama oleh media Kontan.co.id mengenai koalisi antar partai dalam Pilgub 2018, diperoleh gambaran bahwa meskipun partai-partai yang ada di tingkatan nasional telah memilih arah kebijakan partainya, namun mengenai kepentingan pemilihan kepala daerah, relasi yang ada sangatlah cair. Tidak ada sekat yang betul-betul kokoh yang membentang di antara partai-partai yang ada. Ini jelas menunjukkan bahwa sejatinya angin perubahan kebijakan masing-masing partai bisa saja berubah sewaktu-waktu.
Persoalannya, masyarakat Indonesia masih banyak yang sangat meyakini secara total apa yang diungkapkan oleh para politisi yang diidolakannya. Tidak ada keinginan untuk menindak-lanjuti dengan pengecekan terkait pernyataan yang ada. Terlebih lagi bila pernyataan tersebut dilakukan dengan disuarakan lebih lantang oleh pihak-pihak yang memiliki modal religius dengan massa yang tinggi. Pada gilirannya, tidaklah penting gagasan politisi tersebut terwujud atau tidak, atau bahkan menggilas yang manoritas. Yang terpenting hanyalah patuh terhadap gagasan-gagasan politik para demagog, apalagi bila sudah mendapat afirmasi seperti yang sering terjadi belakangan. Inilah era yang kerap disebut orang sebagai Post-truth, di mana tindakan kritis untuk memeriksa ulang gagasan yang ada tidak dilakukan sebab dianggap tidak penting untuk dilakukan. Dalam beberapa kasus, bahkan bisa divonis sebagai sebuah tindakan yang melawan perintah agama.
Kritis: Bergerak dari Ketidakberfikiran
Bila tindakan berfikir kritis sudah dilarang, maka bagi Hannah Arendt realitas yang disebut sebagai thoughtlessness (ketidakberfikiran) akan hadir sebagai dampaknya. Hal demikian akan lebih mudah dilakukan seorang agitator, bila ia mampu mengenali dengan jelas apa harapan dan mimpi massa yang dihadapinya. Bagi masyarakat kita, persoalan kehidupan setelah kematian adalah hal yang paling dikhawatirkan. Sehingga bagi pemegang kapital religius, hal ini gampang sekali untuk dimainkan dalam segala aspek, apalagi aspek politik. Pada akhirnya apabila terdapat tindakan kekerasan yang terjadi di depan mata, masyarkat yang demikian hanya akan menganggap hal tersebut sebagai banalitas semata.
Sudah saatnya kita mulai belajar memahami hal-hal di atas, ketimbang larut dalam perdebatan para politisi yang seringkali nir-substansi. Mari mulai mendorongkan pemikiran kritis agar tidak larut dalam debat politisi yang sejatinya hanyalah sesosok demagog.