Pandemi sebagai ujian kebangsaan dan kemanusiaan telah memunculkan setidaknya dua kelompok masyarakat yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, pandemi yang melahirkan persoalan dan krisis multidimensi telah melahirkan kaum altruis yang menginisiasi gerakan solidaritas kemanusiaan. Yakni gerakan saling bantu-sesama tanpa embel-embel apa pun alias tanpa pamrih.
Gerakan solidaritas kemanusiaan itu mengejawantah ke dalam beragam bentuk. Mulai dari penggalanan donasi uang untuk disalurkan pada pihak yang membutuhkan. Bantuan bahan makanan dan suplemen vitamin serta obat-obatan untuk mereka yang melakukan isolasi mandiri. Bahkan hingga bantuan peti mati bagi sejumlah rumah sakit. Fenomena ini membuktikan bahwa di tengah kondisi darurat, bangsa Indonesia tidak kehilangan spirit gotong-royong.
Spirit kolektivisme itu sangat tampak pada gerakan solidaritas di masa pandemi ini. Sejak awal pandemi bergulir, masyarakat sigap dengan memunculkan berbagai inisiatif untuk membantu sesama. Praktik yang demikian ini tentu sangat membantu pemerintah yang memiliki keterbatasan sumber daya dalam mengatasi pandemi.
Namun, di sisi lain pandemi juga melahirkan gelombang kaum oportunis yang berupaya mengkapitalisasi penderitaan publik demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Berkebalikan dengan kaum altruis yang menggagas aksi nyata, kaum oportunis lebih banyak mengumbar wacana. Ketika seluruh elemen bangsa berjibaku melawan pandemi dengan peran masing-masing, kaum oportunis justru sibuk melontarkan narasi provokatif. Tujuannya ialah mengadu-domba masyarakat dan melemahkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Gelombang Provokasi
Manuver kaum oportunis ini tampak dalam gelombang provokasi yang santer membanjiri ruang publik kita dalam sepekan terakhir. Di sejumlah kota, muncul hasutan agar masyarakat melakukan demonstrasi menolak perpanjangan PPKM Darurat (Level 3-4). Isu yang diangkat ialah PPKM Darurat telah merugikan kalangan masyarakat bawah. Bahkan, muncul gerakan subversif yang menuntut presiden Joko Widodo mundur dari kursi kepresidenan karena dianggap gagal mengatasi pandemi.
Pertanyaannya, apakah benar gerakan itu murni menyuarakan aspirasi publik dan membela kepentingan masyarakat luas? Atau sebaliknya, gerakan itu sarat kepentingan politik praktis? Sebenarnya mudah saja untuk mengidentifikasi mana kelompok altruis, yang berjuang mengatasi pandemi berbasis pada solidaritas kemanusiaan dan mana kelompok oportunis yang menunggangi isu pandemi untuk kepentingan kelompoknya sendiri?
Kelompok altruis umumnya selalu berpikir positif pada pemerintah. Segala kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi, termasuk PPKM Level 3-4 dipahami sebagai upaya menyelamatkan kesehatan masyarakat sekaligus ketahanan ekonomi. Alih-alih bersikap nyinyir dan provokatif pada kebijakan pemerintah, mereka lebih memilih untuk membangun jejaring kepedulian sosial melalui aksi nyata. Jika pun mengkritik pemerintah, maka mereka akan menyampaikannya dengan santun dan menghindari berbuat anarkistis.
Sedangkan kaum oportunis bersikap sebaliknya. Mereka selalu berpikir negatif pada pemerintah. Semua kebijakan pemerintah dianggap salah dan merugikan masyarakat. Tidak hanya itu, segala kebijakan pemerintah dipelintir dan di-framing dengan satu maksud; merendahkan martabat negara di hadapan rakyatnya. Ironisnya, mereka lebih suka membikin kegaduhan dengan beragam narasi provokatif ketimbang berbuat aksi nyata meringankan beban sesama.
Melawan Gerakan Pembangkangan
Dari klasifikasi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa gerakan pembangkangan terhadap pemerintah yang marak belakangan ini ialah agenda yang diskenariokan oleh kaum oportunis. Ini artinya, gerakan menolak PPKM Darurat apalagi gerakan menggulingkan presiden Jokowi bukan gerakan atau perjuangan masyarakat. Sebaliknya, gerakan itu tidak labih dari manuver politik kaum oportunis dengan memanfaatkan momentum gelombang kedua pandemi.
Maka dari itu, kita harus bersatu-padu membendung segala manuver kaum oportunis. Narasi provokatif-oportunistis harus dilawan dengan gerakan positif bercorak altruistik. Perang melawan Covid-19 ialah perang yang membutuhkan sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Inilah waktunya bagi kita untuk menjadi supporting-system bagi kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Bukan justru menjadi duri dalam daging yang merecoki strategi dan kebijakan pemerintah mengatasi pandemi.
Di saat yang sama, pemerintah idealnya lebih mengedepankan pendekatan persuasif-humanis dalam menegakkan aturan PPKM Darurat di lapangan. Pemerintah harus menyadari bahwa pandemi dan pembatasan sosial telah menimbulkan semacam kelelahan mental (mental fatigue) di kalangan masyarakat. Sikap represif aparat keamanan dalam menegakkan aturan PPKM Darurat seperti tampak di sejumlah daerah justru akan melahirkan trauma bagi masyarakat itu sendiri.
Situasi memang sedang tidak mudah. Namun, sebagai bangsa yang besar kita tidak boleh kehilangan harapan. Para generasi pendahulu kita telah melewati beragam krisis kebangsaan dan kemanusiaan. Mereka telah membuktikan bahwa dengan semangat gotong-royong dan kebersamaan, tidak ada krisis yang tidak bisa dilewati. Belajar dari keteladanan para generasi terdahulu, kita pun patut optimis bisa melalui badai pandemi ini dan keluar dari krisis multidimensi yang ditimbulkannya.