Istilah toleransi kebablasan sering kali muncul di kalangan tertentu sebagai kritik terhadap sikap keterbukaan yang ditunjukkan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu contoh yang sering disorot adalah kedatangan Paus ke Indonesia yang disambut dengan meriah, tidak hanya oleh umat Katolik tetapi juga oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk Imam Besar Masjid Istiqlal, KH Prof Nasaruddin Umar. Kedekatan antara keduanya menjadi sorotan. Bahkan kedatangan Paus ke Masjid Istiqlal dianggap toleransi kebablasan.
Beberapa pihak mulai mengenalkan istilah toleran kebablasan agar kita toleran tetapi menjaga jarak. Pandangan semacam ini nampaknya perlu dikaji ulang karena konsep toleransi dalam Islam justru menuntut totalitas dan kelapangan hati, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kedatangan Paus di Indonesia yang disambut hangat oleh umat dari berbagai agama, termasuk oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, merupakan cerminan semangat toleransi dan persaudaraan. Sikap ini tidak hanya mewakili penghormatan kepada pemimpin spiritual Katolik dunia, tetapi juga merupakan simbol persatuan bangsa Indonesia yang beragam. Apakah sikap ramah dan bersahabat ini menyalahi prinsip Islam?
Pemahaman yang sempit mengenai konsep toleransi dalam Islam melahirkan istilah toleransi kebablasan. Islam mengajarkan keterbukaan terhadap perbedaan dan menghormati keyakinan orang lain, tanpa harus merendahkan keyakinan kita sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip ukhuwah insaniyyah (persaudaraan manusia), di mana umat Islam diharapkan menjalin hubungan yang baik dengan seluruh umat manusia, apapun agamanya.
Apakah Nabi telah Melakukan Toleransi Kebablasan?
Teladan toleransi yang sempurna sebenarnya telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam banyak peristiwa bersejarah. Salah satu contohnya adalah saat utusan dari Bani Najran—yang merupakan kaum Nasrani—datang untuk berdialog dengan Nabi Muhammad di Madinah. Ketika waktu ibadah mereka tiba, Nabi tidak melarang mereka untuk melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi, meskipun mereka berkeyakinan berbeda.
Apakah Nabi telah melakukan toleransi yang kebablasan? Tindakan ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memahami makna toleransi secara total, yaitu memberikan ruang bagi keyakinan orang lain bahkan di dalam tempat yang suci bagi umat Islam.
Hadist lainnya, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang menyakiti ahli dzimmah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam), maka ia menyakitiku.” (HR. Abu Dawud). Ini menunjukkan betapa Islam mengedepankan penghormatan terhadap non-Muslim yang hidup dalam komunitas Muslim, mengindikasikan bahwa toleransi tidak boleh setengah-setengah atau terbatas hanya dalam situasi tertentu saja.
Konsep tegas melindungi ahli dzimmah merupakan penegasan yang tulus dari konsep toleransi. Apakah berarti Nabi telah melakukan toleransi kebablasan?
Toleransi Harus Total, Bukan Setengah-Setengah
Al-Qur’an menekankan pentingnya hidup berdampingan dengan penuh rasa hormat terhadap perbedaan. Toleransi dalam Islam tidak terbatas hanya pada aspek formalitas atau diplomasi, tetapi menyentuh aspek kemanusiaan yang lebih dalam—yakni pengakuan terhadap martabat dan hak dasar setiap manusia.
Pandangan yang menyebut toleransi harus dibatasi agar tidak “kebablasan” sebenarnya merupakan kontradiksi terhadap konsep toleransi itu sendiri. Toleransi yang setengah-setengah atau terbatas adalah bentuk hipokrisi, karena hanya diterapkan ketika sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
Islam menuntut toleransi yang totalitas, di mana kita benar-benar menghormati keyakinan orang lain tanpa syarat dan tanpa merasa superior. Nabi Muhammad SAW tidak hanya mengajarkan umat Islam untuk hidup damai dengan sesama Muslim, tetapi juga dengan mereka yang berbeda keyakinan.
Toleransi tidak berarti meninggalkan prinsip-prinsip agama kita, tetapi justru menunjukkan kelapangan hati dalam menghormati perbedaan. Seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi, toleransi adalah wujud dari kematangan iman, di mana kita dapat berdialog dan bersahabat dengan orang lain tanpa merasa terancam atau terganggu.
Dalam konteks Indonesia yang multikultural, toleransi harus menjadi prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa. Kritikan terhadap sikap toleransi dengan label “kebablasan” seharusnya ditinjau ulang, karena justru toleransi yang total dan tuluslah yang dianjurkan dalam Islam. Rasulullah SAW telah memberikan teladan bagaimana hidup berdampingan dengan damai tanpa harus mengorbankan keyakinan agama.
Oleh karena itu, mengkritik kedatangan Paus yang disambut meriah oleh berbagai kalangan termasuk Imam Besar Masjid Istiqlal dengan alasan “toleransi kebablasan” adalah pandangan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Islam mengajarkan bahwa toleransi adalah sebuah prinsip mulia yang harus diterapkan dengan totalitas, bukan setengah-setengah. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan diperkuat oleh sirah Nabi, toleransi adalah salah satu pilar untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai di tengah masyarakat yang majemuk.