Tafsir Al Baqarah 120; Reformulasi Hubungan Islam, Kristen, dan Yahudi

Tafsir Al Baqarah 120; Reformulasi Hubungan Islam, Kristen, dan Yahudi

- in Keagamaan
36
0
Tafsir Al Baqarah 120; Reformulasi Hubungan Islam, Kristen, dan Yahudi

Sebagai agama dalam rumpun Ibrahim yang muncul paling akhir, Islam mau tidak mau harus berhadapan dengan dua agama yang telah eksis sebelumnya. Yakni Kristen dan Yahudi. Maka, tidak mengherankan kiranya jika relasi ketiga agama itu dalam sejarahnya kerap mengalami pasang surut, bahkan acap diwarnai ketegangan.

Ironisnya, ketegangan itu kerap dijustifikasi oleh sejumlah ayat dalam Al Quran. Salah satu ayat yang begitu populer dan kerap dikutip untuk membenarkan sikap anti pada umat Yahudi dan Kristen adalah Surat Albaqarah ayat ke-120.

Dalam bahasa Indonesia, ayat itu bermakna “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka. Katakalah, ‘sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.

Di kalangan muslim konservatif, ayat ini dipakai sebagai landasan teologis untuk mengharamkan relasi dengan kelompok di luar Islam. Maka, seperti kita lihat masih banyak umat Islam yang menaruh rasa curiga bahkan benci terhadap Yahudi, terlebih Kristen. Tersebab, sebagian muslim meyakini bahwa kelompok Yahudi dan Kristen akan selalu berusaha menghancurkan akidah dan tauhid umat Islam untuk kemudian memaksanya masuk ke agama mereka.

Relasi Islam-Kristen di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, masih ada sebagian muslim yang mengidentikkan umat Kristen dengan gerakan kristenisasi atau injilisasi. Ada anggapan di sebagian muslim bahwa setiap orang Kristen pastilah seorang misionaris yang bertugas mengonversi umat Islam ke dalam agama mereka. Jadi, apa pun yang berbau Kristen, pasti langsung dicap sebagai kristenisasi.

Bahkan, ada sekelompok kecil muslim yang menuding kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tempo hari sebagai agenda kristenisasi terselubung. Di tengan zaman modern dimana semua kelompok agama saling terkoneksi dan hidup bersama di negara bangsa ini, ayat-ayat tentang relasi tiga agama Ibrahim yang bertendensi kebencian kiranya harus ditafsir ulang.

Secara spesifik, Surat Al Baqarah ayat 120 yang menjadi dasar legitimasi sikap anti terhadap Yahudi dan Kristen ini patut dilihat kembali subtansinya. Setidaknya ada dua hal pokok yang patut kita bedah dari redaksi ayat tersebut. Pertama, kepada siapa ayat tersebut sebenarnya ditujukan, apakah khusus ke Nabi Muhammad atau ke seluruh umat Islam? Kedua, makna millah dalam ayat tersebut harus kita gali kembali. Tersebab, dalam khazanah tafsir klasik, millah ini dipahami berbeda-beda oleh sejumlah mufassir.

Poin pertama yakni ihwal kepada siapa ayat ini ditujukan, mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini ditujukan khusus untuk Nabi Muhammad dan tidak berlaku untuk seluruh umat Islam. Tidak hanya itu, kelompok Yahudi dan Nasrani yang dimaksud dalam ayat ini juga hanya merujuk pada kelompok yang eksis saat itu. Dalam artian, makna Yahudi dan Nasrani dalam ayat itu tidak mencakup komunitas Yahudi dan Nasrani di luar konteks zaman itu.

Reformulasi Hubungan Antar-agama

Poin kedua, mengenai penafsiran kata millah yang berbeda-beda. Sebagian mufassir memaknai millah dengan agama. Namun, ada sebagian ulama yang mengartikan millah dengan thariq atau jalan. Jika dimaknai sebagai jalan, maka ayat tersebut sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan keimanan.

Jika mengutip Tafsir Ibn Katsir, maksud ayat tersebut adalah agar Nabi Muhammad fokus mengharapkan ridho Allah, dan tidak perlu mencari cara untuk menyenangkan kaum Yahudi dan Nasrani. Sedangkan Tafsir al Baghlawi menjelaskan secara detil latar peristiwa di balik turunnya ayat tersebut. Menurut Tafsir al Baghlawi, azbabun nuzul ayat tersebut adalah permintaan gencatan senjata kepada Nabi Muhammad oleh Yahudi dan Nasrani.

Sedangkan menurut Ibn Abbas, yang dimaksud dengan Yahudi dan Nasrani dalam ayat tersebut terbatas pada umat Yahudi Madinah dan Nasrani Najran. Konteksnya kala itu adalah umat Yahudi dan Nasrani mengharap Nabi Muhamad menghadap kiblat mereka ketika solat. Tersebab, kala itu kiblat umat muslim ketika solat tidak lagi menghadap Yerussalem, namun berpindah ke Ka’bah di Mekkah.

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa ayat tersebut tidak sesederhana yang kita bayangkan. Selama ini, sebagian umat Islam menganggap bahwa ayat itu adalah justifikasi teologis untuk membenarkan perilaku eksklusif, alias menutup diri dari agama lain. Padahal, nyatanya tidak demikian. Ada konteks ruang dan waktu yang saling berkelindan secara rumit.

Artinya, bisa dikatakan bahwa ayat itu tidak bisa dijadikan rujukan utama dalam hubungan Islam dan agama lain di zaman sekarang. Relasi Islam dan agama lain, terutama Yahudi dan Kristen di masa sekarang tentu jauh berkembang dibanding zaman Rasulullah. Maka, kita perlu mereformulasi hubungan Islam, Yahudi, dan Kristen itu ke arah yang lebih konstruktif, dan steril dari kecurigaan atau kebencian.

Facebook Comments