Ada tiga musuh besar manusia dalam sejarah, yakni kelaparan, wabah (virus) mematikan, dan perang. Demikian kata Noval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus. Ketiga musuh besar itu bukan tidak bisa ditaklukkan. Bisa! Asal ada usaha sungguh-sungguh dari manusia dan saling bahu-membahu dalam melawannya.
Dalam sejarahnya, manusia bisa meminimalisir keganasan ketiga musuh itu. Kelaparan bisa diturunkan. Perang bisa dihentikan. Dan, wabah (virus) mematikan bisa dilumpuhkan. Manusia adalah makhluk yang cepat belajar dalam menghadapi sesuatu.
Meskipun demikian, kata Harari, manusia sering ceroboh bahkan mempunyai titik lemah. Titik lemah itu adalah kemelaratan biologis yang terkadang muncul dari hasil ciptaan manusia sendiri yang sengaja dibuat untuk memusnahkan manusia lain.
Terlepas dari semua itu, sekarang kita lagi berhadapan dengan musuh kedua terbesar kita, yakni virus Corona. Ratusan ribu manusia sudah dinyatakan positif kena virus mematikan itu. Ribuan meninggal. Dan, ada sebagian yang bisa diselamatkan.
Cina, Italia, Iran, Amerika, Korsel, dan sederet negara lainnya sedang bertempur melawan virus ini. Melihat pergerakannya, WHO sebagai organisasi yang membidangi mengenai kesehatan internasional, sudah menaikkan status Corona menjadi wabah pandemi, cepat menular keseluruh dunia. Dan, itu adalah musuh bersama dunia.
Baca Juga : Bencana Corona Dan Ekologi Pancasila
Indonesia tidak ketinggalan dari serangan virus ini. Berita daring mengkhabarkan bahwa saat ini (17/3) sudah ada 134 kasus yang positif virus Corona. Ada yang meninggal, ada juga yang bisa diselamatkan. Beberapa daerah sudah mengambil kebijakan dengan sekolah di rumah. Jokowi sendiri sudah menyatakan: “bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah.”
Belajar dari Sejarah
Virus Corona bukanlah virus pertama yang mematikan. Sejak ada manusia, sudah puluhan virus menyerang manusia. Bahkan kalau dilihat sejarah, virus zaman dulu lebih ganas, bisa mematikan jutaan manusia tanpa pilih wilayah, agama, dan jenis kelamin. Semua dihabisi.
Dalam catatan Harari manusia pernah berhadapan dengan virus pandemi yang bukan hanya mematikan ribuaan orang, tetapi jutaan manusia. Pada 1330 misalnya, meletus suatu tragedi yang dikenal dengan nama Maut Hitam. Tragedi yang disebabkan oleh bakteri yang menumpang kutu Yersenia petis itu, melanda Asia Timur atau Tengah, lalu ke Eropa, Afrika Utara hingga ke daerah pesisir di Samudra Atlantik. Ada 75 juta sampai 200 juta orang meninggal akibat bakteri tersebut. Jumlah itu, setara dengan seperempat populasi Eropa dan Asia pada masa itu
Pada 1520, kembali terjadi ledakan teror dari epidemi baru yang lebih mengerikan. Cacar alias smallpoxnamanya. Seorang budak Afrika bernama Fransisco de Egula yang dibawa oleh bala tentara Spanyol ke Meksiko yang membawa virusnya. Dan, menewasakan 8 juta jiwa penduduk Meksiko dalam rentang waktu 10 bulan.
Tak berhenti di sini, manusia juga pernah diserang “Flu Spanyol” pada 1918. Dalam waktu beberapa bulan saja, sekitar setengah miliar populasi dunia ambruk oleh virus tersebut. Di India, virus tersebut membunuh 5 persen populasi (15 juta jiwa), di Tahiti ada 14 persen penduduk yang tewas, di Samoa bahkan membunuh 20 persen penghuninya.
Did era modern, kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi dan ilmu kedokteran wabah virus mematikan itu bisa diminimalisir perkembangannya. Korban yang dulu sempat berjumlah jutaan orang, kini hanya berkisar pada ratusan ribu orang.
Wabah Ebola pada 2014 silam umpamanya. Otoritas kesehatan dunia menyebut wabah tersebut sebagai “darurat kesehatan publik terburuk yang pernah ada dalam masa modern”. Akan tetapi, pada awal 2015, WHO menyatakan virus tersebut telah bisa dijinakkan. Bahkan, pada Januari 2016 dinyatakan tuntas. Virus tersebut, mampu dilokalisir hanya di Afrika Barat saja. Korbannya pun tak signifikan jika dibandingkan epidemi di masa silam.
Perlunya Solidaritas Universal
Dari sejarah di atas, ada satu titik poin yang bisa kita ambil, bahwa keganasan virus itu semakin ke sini, semakin mengecil. Manusia dengan nalar yang dia miliki, bisa menjinakkan virus itu secara cepat.
Tetapi dalam proses menjinakkan itu, ada satu hala yang tak boleh ditinggalkan, yaitu adanya sinergitas antara manusia. Manusia harus bahu membahu, saling menolong, dan saling berusaha sesuai dengan levelnya masing-masing.
Dokter bekerja untuk menemukan vaksin penawar. Media memberikan info yang edukatif. Pemerintah membuat kebijakan yang terintegrasi. Dan, masyarakat memberikan dukungan sepenuh hati, dan tidak sibuk menyalahkan sana-sini.
Inilah wujud solidaritas. Ketika semua level dan lini terlibat aktif dalam melawan virus. Virus yang tidak kenal batas-batas negara, agama, umur, dan jenis kelamin, tidak bisa tidak, harus dilawan secara bersama-sama pula.
Dalam konteks Indonesia, setiap anak bangsa harus bergandengan tangan. Kita kembali kepada falsafah bangsa ini sendiri: gotong-royong. Bekerjasama dalam menanggulangi virus berbahaya ini. Hanya dengan sikap saling bergandengan tangan, bersinergi, dan mengedepankan gotong royong, kita keluar sebagai mana pemenang. Virus bisa dijinakkan. Keganasannya bisa dilumpuhkan. Semuanya tergantung kita. Semakin kuat solidaritas sosial kita, makan semakin cepat virus itu bisa di atasi.