Dilema Dakwahtainment; Antara Komodifikasi dan Radikalisasi Agama

Dilema Dakwahtainment; Antara Komodifikasi dan Radikalisasi Agama

- in Narasi
59
0

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menyumbang andil pada pergeseran pola dakwah keislaman. Di masa lalu, aktivitas dakwah umumnya dilakukan secara langsung melalui mimbar pengajian dan sejenisnya. Para dai pun umumnya merupakan sosok yang memang otoritatif. Atau minimal memiliki latar belakang pendidikan Islam formal, terutama pesantren.

Kini, aktivitas dakwah tidak hanya dapat dilakukan secara langsung melalui mimbar pengajian. Kemunculan media ba seperti televisi, dan belakangan internet serta media sosial memungkinkan aktivitas dakwah dilakukan jarak jauh. Kemunculan televisi lantas melahirkan fenomena ustadz seleb. Yakni para pendakwah baru yang populer di tv dan memiliki program dakwah di satu atau lebih stasiun tv.

Para ustadz/ah seleb ini dicirikan oleh sejumlah hal. Pertama, pastinya mereka populer di televisi. Kedua, berpenampilan menarik; ganteng bagi yang laki-laki dan cantik untuk perempuan. Ketiga, memiliki kemampuan public speaking mumpuni. Ketiga, kerap tidak memiliki latar belakang pendidikan Islam formal. Bahkan, beberapa justru berlatar belakang sebagai pemain film, model, musisi, penyanyi, dan sejenisnya. Keempat, materi dakwah yang ringan dan membicarakan masalah sehari-hari yang relevan.

Fenomena inilah yang lantas disebut sebagai dakwahtainment. Yakni dakwah yang dikemas dalam bentuk hiburan populer di televisi dan media digital. Dakwahtainment, sesuai dengan namanya tentu kental dengan nuansa entertainment. Dan, sebagaimana galibnya produk hiburan, tentu harus tunduk dan patuh pada mekanisme “pasar”.

Komodifikasi dan Radikalisasi Agama di Balik Dakwahtainment

Fenomena dakwahtainment, baik yang berkembang di televisi maupun di media digital (internet dan media sosial) umumnya terjebak pada dua dilema. Di satu sisi, dakwahtainment kerap terjebak pada komodifikasi agama. Yakni upaya menjadikan agama sebagai barang dagangan yang mendatangkan keuntungan finansial.

Nuansa komodifikasi agama pada dakwahtainment ini sangat kentara. Para ustad seleb di tv misalnya, dikenal memiliki gaya hidup mewah. Tersebab, mereka mematok honor tinggi untuk berceramah, baik on air maupun off air. Selain itu, dakwah di tv pun kerap diselipi iklan produk seperti pakaian, makanan, minuman, jasa travel, bahkan kendaraan. Semua itu menunjukkan betapa unsur komodifikasi agama dalam fenomena dakwahtainment itu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Selain komodifikasi agama, fenomena dakwah tainment juga cenderung mengarah pada pendangkalan alias banalisasi agama. Mengapa bisa demikian? Model dakwah di televisi atau media digital lain yang cenderung berorientasi pada hiburan dan keuntungan finansial pada akhirnya akan mendistorsi makna agama itu sendiri. Agama menjadi tidak lebih dari sekadar alat mencari cuan dan popularitas.

Terakhir, fenomena dakwahtainment itu juga kerap ditunggangi oleh agenda radikalisasi umat. Sejumlah pendakwah yang populer di tv maupun medsos kerap kali mempropagandakan ideologi dan gerakan yang bertentangan dengan prinsip kebangsaan. Mulai dari mempromosikan daulah islamiyyah sampai khilafah islamiyyah.

Reorientasi Dakwah di Era New Media

Radikalisasi yang membonceng fenomena dakwahtainment ini sudah ada di tahap yang mengkhawatirkan. Terutama di media sosial belakangan ini. Para pendakwah muda yang memiliki ratusan ribu bahkan jutaan pengikut di media sosial merupakan idola baru bagi gen Z. Para pendakwah muda itu diikuti gaya hidupnya oleh gen Z yang mengidolakannya.

Apa jadinya jika para pendakwah yang diidolakan dan diikuti gaya hidupnya itu justru menyebarkan paham anti-kebangsaan seperti khilafah, daulah, dan sejenisnya? Yang terjadi kemudian adalah dakwah justru akan menjadi ajang radikalisasi keagamaan di tengah umat. Inilah yang terjadi belakangan ini. Kita melihat sendiri bagaimana para pendakwah di ranah digital menjadi agen-agen khilafah yang mencuci otak para gen Z.

Disinilah pentingnya kita mengembalikan esensi atau hakikat dakwah yang sesungguhnya. Perlu adanya reorientasi dakwah agar tidak terjebak pada komodifikasi, banalisasi, apalagi radikalisasi. Dakwah harus dikembalikan ke esensi awalnya sebagai sarana mengajak umat menuju kebaikan. Dakwah idealnya tidak dijadikan sebagai sarana mencari keuntungan finansial. Apalagi sebagai medium menyebar paham radikal.

Benar bahwa di dalam Islam, setiap muslim mengemban kewajiban untuk berdakwah. Namun, kewajiban dakwah itu tetap harus dipahami dari banyak sisi. Dakwah wajib bagi mereka yang memang punya otoritas untuk menyampaikan ajaran Islam. Jika tidak punya otoritas keagamaan, dakwah hanya akan membawa banyak mudarat ketimbang manfaat bagi umat.

Dakwah juga harus tetap dijaga sakralitasnya. Orientasi dakwah adalah membangun peradaban umat yang luhur, dengan membentuk akhlaqul karimah, menanamkan kecintaan terhadap tanah air dan komitmen untuk melindungi sesama manusia.

Facebook Comments