Maling Teriak Maling: Analisis Diskursif Tentang Kemungkinan Maraknya Kejahatan, Radikalisme dan Terorisme di Tengah Wabah Corona

Maling Teriak Maling: Analisis Diskursif Tentang Kemungkinan Maraknya Kejahatan, Radikalisme dan Terorisme di Tengah Wabah Corona

- in Narasi
1692
0
Maling Teriak Maling: Analisis Diskursif Tentang Kemungkinan Maraknya Kejahatan, Radikalisme dan Terorisme di Tengah Wabah Corona

Sebenarnya karakteristik terorisme kontemporer semacam IS (Islamic State) tak jauh beda dengan karakteristik para bandit, lonthe dan bajingan lainnya. Selain perebutan dan penguasaan wilayah sebagaimana di Suriah, dengan adanya kilang minyak di sana, mereka juga karib dengan hal-hal yang jauh dari agama (Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Setelah secara resmi pemerintah pusat menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang perlu diusulkan atau diajukan terlebih dahulu oleh pemerintah-pemerintah daerah, dari berbagai data awal yang ada, angka radikalisme dan terorisme menurun. Tapi saya menemukan bahwa pada aras diskursif radikalisme dan terorisme tetap bergeliat (Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Kita dapat melihat kontestasi penafsiran agama dari kalangan Islam moderat dan Islam radikal terkait dengan wabah corona dalam kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia. Penafsiran-penafsiran agama dari kalangan Islam moderat menyatakan, sesuai dengan cara umum penanganan wabah corona dan keputusan pemerintah, praktik keagamaan mesti mengikuti prosedur itu (Nilai Agama di Tengah Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Sementara penafsiran agama dari kalangan yang dikenal radikal justru mengembangkan penafsiran yang membabibuta, sampai terkesan bersifat “masturbasif,” abai terhadap keselamatan orang lainnya. Seperti provokasi terhadap orang-orang yang mengikuti prosedur penangan wabah corona yang terus dipupuk: “Masa lebih takut pada corona daripada Tuhan?”

Penafsiran-penafsiran yang radikal seperti itu pada kenyataannya adalah semacam seruan untuk melawan himbauan, yang kini sudah menjadi keputusan resmi pemerintah, dan juga himbauan dari kalangan Islam moderat. Dari data terakhir terkait korban wabah corona semakin hari semakin bertambah penderitanya.

Baca Juga : Pengusung Khilafah Mencari Celah di Tengah Wabah

Ini membuktikan bahwa, tak sekedar alasan kurangnya sosialisasi dari pihak pemangku kebijakan beserta ormas-ormas yang memiliki concern yang sama, tapi upaya untuk memanfaatkan momen wabah corona untuk kepentingan tertentu memang ada. Dan dugaan saya, berdasarkan diskursus yang berkembang, setidaknya terdapat dua macam gelombang yang sengaja memancing di air keruh: gelombang Islam radikal dan gelombang “parasit nasionalisme” (kalangan yang memakai klaim-klaim ideologis non-keagamaan). Pada tataran diskursif, sebagaimana yang beberapa kali pernah saya catat, keduanya memang memiliki episteme yang sama: “epistememasturbasif.”

Kenyataan di lapangan pun membuktikan, dari berbagai kasus yang ada, justru yang banyak melanggar keputusan resmi pemerintah adalah gelombang “parasit nasionalisme.” Catatan mereka merentang mulai dari gerakan Anarko, perang geng preman dan pemalakan liar, palonthen (prostitusi), dan kriminalitas lainnya.

Barangkali, banyak orang berpikir, bukankah hal itu adalah kriminalitas biasa yang karib dengan kehidupan kita sehari-hari? Saya tak pernah berpikir demikian. Dengan melihat aksi terorisme mutakhir di Indonesia yang tak ubahnya logika bandit yang bertudung ideologi atau kerangka pikir tertentu (Bertolak Dari yang Ada, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org), maka sekalipun hal itu secara sekilas adalah kejahatan biasa, tapi ternyata mereka “diarahkan” atau “dibimbing” oleh kerangka diskursif tertentu.

Dapat kita rasakan provokasi-provokasi terkait wabah corona yang marak setiap harinya. Logika provokasi di masa wabah corona ini serupa dengan provokasi ala geng preman, untuk beradu nyali dalam pelanggaran aturan-aturan tertentu. Setiap orang yang memiliki nyali untuk melanggar, maka ia akan dianggap “besar” dan dianggap pula sebagai “saudara.” Semakin besar “bahaya” yang ia hadapi, maka semakin “besar” pula orang yang bersangkutan dan semakin rekat pula “persaudaraan” itu.

Celakanya, pada tataran diskursif, segala pelanggaran dan kejahatan ini menggunakan kerangka tafsir agama yang radikal terkait wabah corona. Seperti halnya kasus gerakan Anarko, kita tak perlu terkecoh dengan kejahatan bertaraf “biasa” yang pernah mereka lakukan—maling helm seumpamanya. Fakta bahwa rencana mereka yang telah terendus di beberapa kota mengindikasikan bahwa kejahatan mereka bukanlah kejahatan biasa. Pun kisah over dosis para lonthe atau aktifitas seksual ilegal di dua atau tiga kota yang berbeda, dengan kemiripan motif, dan dengan waktu yang hampir bersamaan bukanlah fenomena yang lazim.

Di hari ini komunikasi tak semata dapat berlangsung melalui ponsel, media-media sosial ataupun perangkat-perangkat konvensional lainnya. Beberapa kasus terorisme yang banyak terjadi dua atau tiga tahun lalu—penyerangan markas kepolisian dengan menggunakan klewang, kerusuhan dalam penjara, penusukan di masjid, dst.—seperti tak berlangsung seperti aksi-aksi terorisme di masa lalu, yang berinduk pada organisasi al-Qaeda misalnya. Pada titik ini logika mereka persis sebagaimana bandit ataupun perampok, yang butuh pula membaca pola dan kebiasaan. Di samping itu, mereka pun bisa jadi tak saling mengenal secara personal satu sama lain, hanya diikat oleh episteme yang sama dan bersifat “mengarahkan.” Sampai di sini saya pun patut bertanya, benarkah itu semua adalah kriminalitas “biasa”? Bukankah ps. 2 UU 5/2018 telah mengkategorikannya sebagai sebentuk kejahatan terorisme? Maka dari itu, dapat dimengerti kenapa seringkali kejahatan yang berkategori kakap hanyalah akumulasi dari kejahatan yang berkategori teri.

Facebook Comments