Berbicara masalah kebhinekaan seakan tidak ada habis-habisnya dituturkan, baik di atas altar akademik maupun di blantika pertarungan ideologi. Bukan tanpa sebab, meningkatnya pembicaraan ini berbanding lurus dengan banyaknya upaya-upaya tak bertanggungjawab yang hadir untuk memutilasi solidaritas kita sebagai anak bangsa yang sejak dulu sudah mengikat ikrar suci, berbangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Memang tidak dipungkiri, kekokohan janji ini selalu diuji dari masa kemasa yang sudah barang tentu ujian itu berbeda-beda, jika dulu ujiannya begitu nyata, kini ujian itu tiba dalam bentuk yang begitu abstarak dengan warna yang susah ditebak. Jika dulu pohon janji itu hanya diterpa angin dengan arah yang sudah diprediksi, kini pohon itu diserang rayap bergerak dari dalam tanah, menyentuh akar krusial dari kebhinekaan kita.
Melalui media sosial, buku bhakan panggung-panggung publik mulai dilirik untuk menjalankan siasat halus nan busuk yang sepintas lalu tidak terasa. Lama kelamaan menjelma sebagai sikap antipati terhadap hal-hal yang berbau perbedaan sampai anti kepada negara. Menggunakan logika pecah belah, menyentil emosi superioritas atas etnis dan agama lain dengan cara-cara sistematis mengelabui alam sadar kita sebagai anak bangsa. Tak jarang saat ini kita mengelus dada, mendengar berita seorang anak dan ibu diteriaki kerumunan orang, hanya karena memakai kaos yang bergambar beda dukungan. Tak jarang pula kita mendengar ucapan para tokoh politik maupun agamawan di panggung publik yang secara terang-terangan menempelkan kata-kata tak sopan kepada orang yang menurutnya berbeda. Bahkan seorang mahasiswa yang tidak mau hormat bendera karena menganggap bendera negara sebagai simbol berhala. Bukan hanya itu, ocehan dan cacian sering keluar tanpa sadar menyerang dan menciderai fisik dan etnis orang lain.
Diduga keras, fenomena di atas, masuk menghipnotis anak bangsa dari media sosial, buku-buku dan panggung-panggung publik yang sering di isi oleh orang-orang yang tidak memahami perbedaan. Gerakan masif ini melintasi ketidakwaspadaan kita sebagai warga negara dalam memfilteri konsumsi pikiran. Di lain hal, kita kehilangan banyak pembacaan terkait materi-materi yang menumbuhkan jiwa patriotisme yang bisa dilacak melalui sejarah para pahlawan bangsa. Diperparah lagi dengan hilangnya jiwa kebudayaan yang menyimpan nilai-nilai luhur para leluhur yang bermukim di wajah nusantara. Itu sebabnya, banyak di antara kita yang memuji sosok pahlawan negara lain sembari merasa sepele dengan pahalawan negeri sendiri. banyak di antara kita yang bangga dengan memakai kebudayaan orang lain dan kehilangan gengsi memakai budaya sendiri.
Potret suram di atas, merupakan alarm bagi kita untuk menumbuhkan kepekaan dan deteksi dini terhadap rayap-rayap yang menggrogoti akar kebhinekaan kita. Dengan membuang rasa tak peduli dan menggantinya dengan empati, kita wajib berupaya sekuat mungkin untuk bangkit dan melawan segala bentuk yang berupaya melemahkan kita secara berhadapan, terlebih-lebih pergerakan masif yang halus dan sukar untuk diprediksi.
Gerakan paling menonjol saat ini sebagai basis penularan paham anti kebhinekaan, hadir dengan kedok pembinaan moral. Dengan mengkampanyekan moral-moral populer di kalangan generasi milenial para anti kebhinekaan mendapat panggung yang leluasa. Tapi sebenarnya dalam wujud aslinya, mereka menyelipkan ideologi perpecahan dengan menggunakan logika pecah belah. Kehati-hatian kita terlebih lagi orang tua dalam mendeteksi dan memproteksi generasi milenial bangsa dari segala aktifitas yang sudah dirasa mengandung ideologi anti kebhineakan apalagi anti NKRI, adalah modal paling berharaga untuk merawat kebhinekaan kita di negeri ini. Karena pikiran disusupi oleh ideologi liar seperti ini amat rentan terserang doktri terorisme.
Pada akhirnya, tidak ada yang bisa menghentikan itu semua kecuali mengandalkan peran warga negara sebagai basis pertahanan kebhinekaan yang diyakini paling berpengaruh terhadap generasi kegenerasi, di samping peran negara yang hadir sebagai benteng terakhir menjaga keutuhan NKRI.