Agama selalu memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, agama menanamkan apa yang disebut oleh antropolog Cliffrord Geertz sebagai “vitalitas moral”. Dalam bukunya yang berjudul The Interpretation of Cultures, Geertz mendefinisikan vitalitas moral sebagai satu komitmen kuat manusia pada moralitas. Vitalitas moral dalam agama ini membuat para penganutnya memiliki etos sosial tinggi. Agama, dalam pandangan Geertz akan menjadi sumber makna bagi para pemeluknya dalam mengarungi kehidupan.
Namun, di sisi yang lain agama juga bisa menjadi inspirator lahirnya kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan dan memicu konflik horizontal. Hal ini terjadi lantaran, baik secara eksplisit maupun implisit agama mengandung ajaran yang bertendensi pada munculnya sikap klaim kebenaran (truth claim), eksklusifisme dan fanatisme. Tiga unsur inilah yang kerap memunculkan perilaku konservatif dan ekstremis pemeluk agama.
Inilah paradoks agama. Di satu sisi, ia dapat menjadi sumber perdamaian dan cita kasih. Namun, di saat yang sama ia juga dapat dijadikan alasan dan pembenaran atas perilaku kekerasan. Maka, wajar jika hampir semua agama memiliki cerita tentang kekerasan. Mark Jurgensmayer dalam bukunya Terror on the Mind of God menyebut bahwa agama-agama besar mulai dari Islam, Yahudi, Kristen sampai Sikh memiliki sejarah kelam ihwal kekerasan.
Baca juga :Awas Bahaya Pseudo Agama
Menurut Jurgensmayer, kekerasan atas nama agama umumnya berkelindan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Agama kerap dijadikan topeng bagi kelompok tertentu untuk menghalalkan cara-cara kekerasan demi mewujudkan agenda ekonomi-politiknya. Fenomena radikalisme berkedok agama ini dapat kita lihat dari kebangkitan gerakan keagamaan bercorak ideologis-politis.
Yang paling menonjol dan menyita perhatian publik global tentunya adalah munculnya radikalisme dan terorisme dalam agama Islam. Dunia internasional sontak terhenyak ketika terjadi peristiwa teror terhadap menara kembar Wall Trade Center dan markas militer di Pentagon Amerika Serikat di tahun 2001. Sejak saat itu, rentetan teror atas nama Islam terjadi di sejumlah negara di dunia. Tidak terkecuali di Indonesia.
Jaringan terorisme global berkedok Islam tumbuh berkembang biak layaknya jamur di musim penghujan. Satu jaringan teroris ditumpas, muncul jaringan lain yang jumlahnya lebih besar dan solid. Ketika al Qaeda, organisasi teroris yang bertanggung jawab atas aksi teror di WTC dan sejumlah teror mematikan lainnya berhasil dilumpuhkan, muncul IS (Islamic State) yang sepak terjangnya tidak kalah membahayakan ketimbang al Qaeda.
Lantas mengapa agama bisa menjadi inspirator lahirnya radikalisme? Charles Kimball dalam bukunya When Religion Become Evil menyebut tiga faktor mengapa agama memicu radikalisme. Pertama, adanya klaim kebenaran agama yang membuat para pengikutnya kerap bersikap arogan, merasa diri paling suci dan benar, lalu merendahkan agama lain. Klaim kebenaran agama ini kerap dipahami secara absolut dan tidak dapat dinegosiasikan.
Kedua, sikap taklid buta pada pemimpin agama. Penganut agama cenderung tidak bersikap kritis terhadap pemimpin agamanya. Apa pun yang dikatakan oleh pemimpin agama dianggap sebagai kebenaran yang tidak dapat ditawar. Konsekuensinya, penganut agama akan melakukan apa saja yang diperintahkan oleh pemimpinnya, meski bertentangan dengan akal sehat dan nilai kemanusiaan.
Ketiga, romantisisme sejarah atas konsep zaman ideal yang dianggap sebagai era kejayaan agama. Pemeluk agama kerap menganggap zaman modern ini sebagai zaman yang penuh kerusakan. Paham demokrasi dan sekulerisme yang berkembang saat ini dianggap sebagai penyebab tersingkirnya agama di ruang publik.
Oleh karena itu, muncul gerakan keagamaan yang ingin mengembalikan kejayaan dan kesucian agama dengan berusaha mendirikan negara atau imperium dengan sistem sosial-politik yang murni berlandaskan agama. Mereka beranggapan bahwa sistem sosial-politik berlandaskan agama adalah sistem yang paling ideal dan mampu menjamin terciptanya keadilan dan kesejahteraan.
Dekonstruksi Cara Pandang Keagamaan
Klaim kebenaran yang arogan, taklid buta pada pemimpin dan romantisisme zaman ideal akan menuntun para pemeluk agama ke dalam radikalisme. Maka, memberangus kaum radikal tentunya tidak bisa dilakukan tanpa mendekonstruksi cara pandang kita tentang agama.
Hal pertama yang harus kita lakukan ialah mendekonstuksi cara pandang kita ihwal klaim kebenran agama.
Setiap agama bisa dipastikan memiliki konsep teologi, ajaran, dan ritual yang berbeda dengan agama lainnya. Setiap agama juga pasti menjanjikan jalan keselamatan bagi pengikutnya. Klaim kebenaran inilah yang membedakan satu agama dengan agama lainnya. Namun demikian, para penganut agama harus sadar bahwa klaim kebenaran agama itu idealnya hanya berlaku dalam lingkup privat saja.
Dalam konteks Islam, umat muslim harus yakin bahwa Islam adalah agama paling benar dan memberikan jaminan keselamatan bagi pengikutnya. Namun, keyakinan itu idealnya tidak dipaksakan ke orang lain yang menganut agama yang berbeda. Mekanisme ruang publik jelas berbeda dengan ruang privat. Dalam ruang publik yang berisi entitas yang beragam, klaim kebenaran agama bukanlah hal mutlak, namun harus selalu didialogkan dan dinegosiasikan.
Ruang publik ialah arena dimana klaim kebenaran agama memasuki wilayah diskursus yang dinamis. Masing-masing entitas idealnya tidak bertindak arogan dengan memaksakan keimanannya pada kelompok lain. Pemaksaan atas klaim kebenaran agama inilah yang kerap menjadi embrio munculnya konflik sosial. Di ruang publik, klaim kebenaran agama yang eksklusif tidak berlaku lagi. Kita harus sadar bahwa realitas sosial tidaklah tunggal. Fakta keberagamaan selalu bersifat plural dan hal itu tidak boleh diabaikan.
Selanjutnya, kita juga diharuskan bersikap kritis terhadap para pemimpin agama. Tidak setiap fatwa pemimpin agama adalah kebenaran mutlak yang tidak dapat ditolak. Agama adalah seperangkat ajaran yang multitafsir. Oleh karena itu, tidak akan pernah ada satu penafsiran ajaran agama yang bisa dianggap sebagai kebenaran final. Taklid buta pada pemimpin agama yang mengajarkan kekerasan justru menyalahi esensi agama yang selalu mengajak manusia berpikir dan bertindak secara rasional dan humanis.
Sebaliknya, kita harus mengembangkan sikap intelektualisme dalam beragama. Agama harus ditempatkan layaknya ilmu pengetahuan yang terus-menerus ditafsirkan sesuai perkembangan zaman. Agama tidak selayaknya dianggap sebagai doktrin absolut. Kita harus memahami doktrin dan ajaran agama dengan nalar kritis-diskursif sehingga tidak mudah dimanfaatkan oleh pemimpin agama yang memiliki ambisi ekonomi atau politik.
Terakhir, kita wajib memiliki pemahaman tentang sejarah agama. Hal ini penting untuk menganulir adanya romantisisme zaman ideal yang sebenarnya salah kaprah. Secara terminologis, frase zaman ideal adalah istilah yang mengalami contradictions in terminis. Pada dasarnya, tidak ada masa yang dapat disebut sebagai zaman ideal dalam agama manapun. Setiap fase zaman yang dilewati oleh agama-agama di dunia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.
Dalam konteks Islam, kaum radikal kerap beranggapan bahwa zaman ideal terjadi di zaman kekhalifahan. Keberhasilan Islam membangun imperium dengan luas wilayah hampir separuh dunia dianggap sebagai capaian yang sempurna. Satu hal yang diabaikan oleh kaum radikal ialah di masa itu, dunia Islam tidak benar-benar streril dari persoalan sosial-politik.
Zaman kekhalifahan juga diwarnai oleh sejumlah persoalan. Antara lain, perebutan kekuasaan yang kerap berakhir pada pecahnya perang saudara. Tidak hanya itu, masa kekhalifahan juga diwarnai oleh praktik korupsi yang merajelala di kalangan penguasa serta penyimpangan moral di kalangan umat muslim. Menganggap era kekhalifahan sebagai zaman ideal, dengan demikian adalah bentuk kegagalan kaum radikal memahami sejarah dan kesejarahan Islam. Mendekonstruksi cara pandang keagamaan merupakan ikhtiar untuk membentengi agama dari kaum radikal yang cenderung berpikir pragmatistik-oportunistik.