Membumikan Maaf, Membuka Lapak Damai

Membumikan Maaf, Membuka Lapak Damai

- in Narasi
1069
1
Membumikan Maaf, Membuka Lapak Damai

Sebuah bangsa yang besar, jika ingin menjadi bangsa yang berperadaban, tentu memerlukan kepribadian. Kepribadian sebuah bangsa tidak lahir dengan sendirinya. Jika meminjam istilah intelektual ia memerlukan tesis, antitesis yang kemudian hasil dari tesis dan antitesis tersebut melahirkan sintesa. Harapannya sintesa itu sesuai dengan tujuan bangsa yang adil, makmur, dan sejatera.

Kepribadian yang baik tentu didukung oleh kultur budaya masyarakatnya. Lalu bagaimana kultur kebangsaan kita? Apakah sudah pantas dikatakan sebagai negara yang berperadaban atau sebaliknya? Jika memang sebaliknya, penyakit apa yang kira-kira sedang menggerogoti kebudayaan kita?

Lalu, bagaimana menciptakan/membangun atau mempertahankan kebudayaan? Pertanyaan terakhir tersebut menurut penulis perlu untuk dibahas. Melihat dari kaca mata sejarah masyarakat, kita sebenarnya merupakan manusia-manusia yang begitu pemurah, pemaaf. Sangat lekat dalam tradisi dan kebudayaannya. Seakan menjadi identitas tunggal jika kita ingin mengistilahkan Indonesia. Terlebih lagi budaya maaf-meaafkan itu terpatri dalam pribadi dan Kebudayaan bangsa. Hal ini perlu untuk digalakkan dan dihidupkan kembali mengingat semakin lama kita semakin menuju kearah perpecahan.

Sebagai contoh masih banyaknya perkelahian antar kelompok, suku, antar agama, anarki, dan yang mengerikan adalah produksi hoax. Selanjutnya kebiasaan menghujat yang begitu brutal sering terjadi, padahal banyak yang belum memahami titik permasalahan sebenarnya. Hal ini diperparah denga kebiasaan mengkonsumsi informasi tanpa filter, tanpa verifikasi. Dilain sisi, budaya mudah menghujat, tidak dibarengi dengan budaya gesit meminta maaf, jika menyadari jika ternyata salah. Artinya kesadaran dan kesanggupan untuk mengakui kesalahan tidak terjadi. Ada semacam kesombongan yang timbul, jika dibiarkan apalah arti Indonesia kedepan.

Melihat realitas sedemikian rupa, penulis ingin memberikan beberapa argumentasi mengapa sebuah negara membutuhkan yang namanya budaya maaf memaafkan. Sehingga kedepan kita belajar dan dapat mengambil sikap dalam bertindak.

Pertama, budaya maaf-memaafkan melahirkan kedewasaan bernegara. Mengapa bisa begitu? Adanya kebiasaan saling memaafkan mengimplikasikan bahwa masyarakat sudah tumbuh kesadaran untuk hidup berdampingan, memahami hakikat sebagai manusia,tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Dengan kesadaran tersebut menandakan bahwa sebuah bangsa sudah dewasa dan dianggap mapan secara peradaban.

Kedua, Tumbuhnya semangat nasionalisme. Kok bisa? Jika semangat maaf-memaafkan terbangun, artinya ikatan tali silaturahim juga terbangun. Dititik inilah nasionalisme akan tumbuh. BagaiamaB bisa nasionalisme itu tumbuh? Silaturahim yang terbangun erat dan mengakar dalam masyarakat akan menjadikan masyarakat terkesan semangat menjafa persatuan, bukankah itu salah satu bukti tumbuhnya nasionalisme?

Terakhir, Sejak berabad-abad lamanya banyak perdebatan tentang negara yang beradab atau berperadaban seperti apa model dan realitasnya? Apa yang menjadi ciri dan perdebatan lainnya? Namun salah satu argumentasinya adalah identitas. Negara yang beradab adalah negara yang memiliki identitas. Lalu identitas apa yang perlu dilahirkan di Indonesia, tentu jawabannya adalah identitas negara yang damai, adil dan sejahtera. Dan itu adalah kewajiban semua warga negara untuk bahu-membahu membangun peradaban damai tersebut. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan indonesia lalu negara mana lagi, yakini kitalah negara yang brrperaberpe. Indonesia Raya, Indonesia Jaya!

Facebook Comments