Isu khilafah seolah tidak pernah hilang dari dinamika kebangsaan kita. Bahkan, di masa pandemi pun, isu khilafahmasing kencang didengungkan oleh para pengusungnya. Narasi yang dipakai untuk mengampanyekan khilafah pun bermacam-macam. Mulai dari tuduhan bahwa pemerintah gagal menangani pandemi, hingga klaim bahwa khilafahialah satu-satunya sistem politik yang paling siap menghadapi pandemi. Semua narasi itu bermuara pada satu tujuan, yakni mendelegitimasi pemerintahan yang sah dan setia pada Pancasila dan UUD 1945 serta berupaya menggantikannya dengan konsep negara Islam (daulah islamiyyah) yang berdasarkan pada hukum syariah.
Narasi-narasi menyesatkan itu kian santer didengungkan melalui kanal media sosial oleh para komprador pengusung khilafah terutama menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni. Hampir setiap hari, media sosial diriuhkan oleh kampaye khilafah dengan berbagai macam narasi dan argumen. Isu pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya berhasil dikendalikan pun menjadi sasaran empuk bagi kaum ekstremis pengasong khilafah. Mereka menjadikan isu pandemi Covid-19 ini sebagai momentum untuk mengindoktrinasi publik dengan gagasan khilafah.
Pasca pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah, kampanye khilafah secara masif beralih ke media sosial. Pembubaran HTI tampaknya tidak mematikan ruang gerak para pengasong khilafah. Mereka tetap memasarkan gagasanny melalui berbagai kanal media sosial.Fakta ini membuktikan bahwa musuh yang tengah kita hadapi bukanlah individu atau organisasi melainkan ideologi.
Dinamika Khilafah; Definisi dan Sejarahnya
Membincangkan khilafah ialah membincangkah hal yang kompleks, menyangkut pembahasan tentang hukum (fiqih) filsafat politik, hingga sejarah di dunia Islam. Ironisnya, istilah khilafah sebagaimana dikampanyekan oleh kaum radikal-ekstremis cenderung simplistis dan tidak merepresentasikan makna sebenarnya. Sejumlah pertanyaan mendasar tentang khilafah meliputi definisi khilafah, eberapa sentral ide khilafah dalam doktrin politik Isla, serta apakah khilafah sebagai institusi merupakan tujuan wajib dalam Islam, atau hanya sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan sebagaimana diamanahkan Islam membutuhkan tinjauan dalam berbagai aspek untuk menjawabnya.
Baca Juga : Pentingnya Laku Pancasila di Tengah Pandemi
Ihwal definisi khilafah, terdapat tafsiran yang beragam dari para ulama. Secara garis besar, kaum Sunnidan Syiah memiliki tafsiran berbeda ihwal kepemimpinan dalam Islam. Dalam tradisi Sunni, merujuk pada al Mawardi dalam kitabnya al Ahkam al Sulthaniyah, khilafahdidefinisikan sebagai pemimpin pengganti Rasulullah dalam urusan agama dan dunia. Khalifah, menurut al Mawardi dipilih melalui komite khusus yang disebut ahlul halli wal ‘aqdi.
Berbeda dengan Syiah yang menganut doktrin imamah, dimana pemimpin tidak dipilih berdasarkan seleksi, melainkan ditentukan oleh nash. Dalam konteks ini, yang dimaksud khalifah dalam pandangan kaum Syiah ialah Ali bin Abi Thalib. Dalam perspektif Syiah, seorang khalifah ialah seorang yang maksum. Berbeda halnya dengan tradisi Sunnidimana khalifah tidak harus maksum (Akhmad Sahal: 2017).
Tidak hanya dari sisi definisi yang memiliki banyak perbedaan. Dalam sejarahnya, praktik kekhalifahan dalam Islam juga tidak tunggal, namun menyesuaikan realitas zamannya. Di masa khulafa al rasyidun, suksesi kekuasaan terjadi dengan sistem yang berubah-ubah. Abu Bakar terpilih sebagai pengganti Rasulullah tanpa direncanakan sebelumnya. Berbeda dengan Umar bin Khatab yang menjadi khalifah karena penunjukan langsung. Setelahnya, sukses kekuasaan bahkan diwarnai tragedi berdarah. Hal serupa juga terjadi pada masa kekhalifahan setelahnya. Berbagai intrik, tragedi bahkan peperangan menjadi hal yang nyaris tidak bisa dipisahkan dari naik-turunnya kekhalifahan dalam tradisi Islam (Nadirsyah Hosen: 2016).
Pelajaran yang bisa dipetik dari uraian di atas ialah para ulama tidak pernah memaksakan visi normatif ideal tentang khilafah. Dinamika politik yang dihadapi masyarakat Islam membuat konsep khilafah yang sedari awal memang tidak tunggal harus mengalami sejumlah modifikasi. Dalam leksikon hukum Islam, hal ini dinamakan sebagai “realisme fiqih” (Yudian Wahyudi: 2004). Realisme fiqih ialah sebuah keyakinan bahwa hukum Islam bukanlah sebuah paket baku yang sudah jadi dari sananya (taken for granted) yang bisa diterapkan kapan pun dan di mana pun. Konsep realisme fiqih berasumsi bahwa semua hukum Islam selalu terikat ruang dan waktu.
Hukum Islam harus selalu mempertimbangkan realitas konkret umat Islam. Hubungan antara hukum Islam dan umat Islam harus bersifat resiprokal, alias saling mempengaruhi. Ada dialektika antara hukum Islam, umat Islam dan realitas sosial yang membuat sistem sosial dan politik terus berkembang progresif sesuai dengan dinamika zaman. Di titik ini, dapat dikatakan bahwa khilafah pada dasarnya ialah sarana untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan umat dan bukan satu-satunya tujuan dalam hukum atau politik Islam.
Membangun Tafsir Alternatif
Gagasan tentang realisme fikih itu tampaknya dipahami betul oleh para pendiri bangsa yang sebagian di antaranya juga merupakan ulama dan ahli hukum Islam. Hal ini tercermin dalam keputusan para pendiri bangsa untuk menjadikan Pancasila, alih-alih Islam sebagai dasar negara Indonesia. Pancasila adalah jalan tengah antara khilafah yang berorientasi pada teokrasi dan demokrasi liberal yang berkecenderungan pada tirani mayoritanisme. Pancasila juga merupakan titik temu antara paham keislaman dengan paham keagamaan. Dalam konsep Islam, Pancasila ialah manifestasi dari kadah fiqih yang berbunyi ‘ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh’. Artinya, jika kita tidak bisa mengambil seluruhnya, tidak lantas kita membuang semuanya.
Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, justru sebaliknya sangat islami. Jika dilihat dari kelima silanya, Pancasila merupakan mengandung prinsip-prinsip utama Islam, yakni tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Maka, jika ada masih ada yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam, hal itu boleh jadi dilatari oleh tiga hal; pertama, tidak memahami Pancasila, kedua tidak memahami Islam, atau ketiga tidak memahami dua-duanya. Sukarno sendiri dalam pidatonya pernah berujar bahwa “apa yang kita ambil dari Islam bukanlah abunya, debunya, asbesnya, melainkan api dan nyalanya”. Dalam bahasa yang sederhana, Sukarno ingin mengatakan bahwa yang diambil dari Islam bukanlah simbol atau ajaran formalistiknya, melainkan prinsip, spirit dan nilai yang dikandung di dalamnya.
Oleh karena itu, segala propaganda khilafah harus kita lawan bersama. Memakai bahasa Khaled Abou el Fadl, kita memerlukan “narasi alternatif” untuk melawan gerakan khilafah. Apa yang dimaksud Abou el Fadl ialah merebut kembali kata-kata kunci yang selama ini kadung disalahartikan oleh kaum ekstremis. Istilah seperti khilafah dan negara Islam yang selama ini dipakai oleh kaum ekstremis dengan definisi yang menyesatkan perlu kita ambil alih. Kaum muslim moderat perlu mengkampanyekan bahwa khilafah bukanlah semata konsep kekuasaan politik sebagaimana diyakini oleh kaum ekstremis. Kaum moderat harus mampu menbangun tafsiran baru bahwa khilafah ialah kepemimpinan atau sistem sosial-politik yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umat Islam. Dalam tafsiran yang demikian ini, konsep NKRI yang berdasar Pancasila sebenarnya juga merupakan bentuk dari khilafah. Selain itu, kaum moderat juga perlu merebut tafsir tentang apa itu negara Islam. Tafsiran ihwal negara Islam sebagai negara bersistem khilafah dan berdasar pada syariah harus seperti diyakini kaum ekstremis-radikal idealnya dilawan dengan pemahaman bahwa negara Islam ialah negara yang menjamin terciptanya keadilan, kesejahteraan dan keselamantan bagi seluruh umat manusia. Narasi alternatif ini penting agar masyarakat tidak terjebak pada propaganda gerakan khilafahyang mengancam eksistensi bangsa dan negara.