Ujaran kebencian (hate speech) merupakan perbuatan culas dan tidak terpuji, yang semua tradisi, baik bersumber dari agama maupun norma kemasyarakatan, melarangnya. Ujaran kebencian bukan semata-mata menyangkut kepentingan antara mereka yang berseteru, tetapi dampak yang paling besar adalah secara langsung maupun tidak langsung, dan memang terbukti ampuh menyeret banyak orang untuk terlibat di dalamnya, sehingga perseteruan itu pun meluas antar kelompok.
Menurut sejumlah penelitian, ujaran kebencian yang diikuti oleh penyebaran berita bohong dan sentimen bernada SARA (suku, ras dan agama), berdampak pada pola pikir maupun sikap, terutama untuk generasi muda. Seorang remaja yang sering terpapar konten negatif cenderung memiliki sikap yang intoleran terhadap orang-orang dengan latar belakang berbeda.
Di Indoensia, intensitas ujaran kebencian dominan terjadi di bidang politik, terkait dengan suksesi dan aksi saling dukung pasangan tokoh idola seperti cagub-cawagub atau capres-cawapres. Penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian melalui media sosial dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai upaya untuk menyerang dan mendiskreditkan pihak tertentu demi kepentingan politik.
Itulah sebabnya, dampak buruk dari ujaran kebencian itu penting direfleksikan yang dewasa ini juga menjadi keprihatinan. Banyak masyarakat yang telah terpengaruh dan ikut melakukan ujaran kebencian, memproduksi dan menyebar berita bohong. Bagaimana cara keluar dan memproteksi agar tidak terus terjebak dalam kubangan keprihtinan ini?
Dosa dan ujaran kebencian
Yang paling utama, sebelum melakukan langkah praktis dan teknis, setiap individu perlu menyadari bahwa ujaran kebencian adalah perbuatan jahat, nista, dan bahkan dosa, dalam terminologi agama. Pemahaman ini wajib diinternalisasi oleh masing-masing pihak, bahwa perbuatan tidak terpuji yang umumnya dilakukan dalam dunia maya, media sosial, memiliki implikasi teologis sebagaimana juga dilakukan dalam dunia nyata.
Baca juga :Bersihkan Medsos dari Ujaran Kebencian
Bahwa perbuatan dosa, di zaman sekarang tidak lagi dipahami sebagai perbuatan langsung yang kasat mata, tetapi bisa dilakukan oleh pelaku di balik layar; ucapan lisan digantikan oleh tulisan, jari tangan memiliki peran signifikan dalam melakukan penyebaran berita palsu dan provokasi ke arah negatif. Namun, meski caranya beda, antara dahulu dengan sekarang, sesunguhnya memiliki konsekuensinya sama.
Dilihat dari perspektif agama Islam, mereka yang melakukan ujaran kebencian, memproduksi dan penyebar berita palsu, sesungguhnya tidak mengimani kebenaran firman Allah Swt. Q.S al-Nahl: 105 menyebutkan, “Sesungguhnya orang-orang yang membuat/memproduksi (berita) kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah para pembohong”.
Dari informasi ayat di atas, maka dapat dipahami, bahwa jika kita mengimani dan melakukan internalisasi terhadap doktrin agama, sejatinya menghindari perbuatan-perbuatan dosa ujaran kebencian. Mereka yang dengan sengaja melakukan ujaran kebencian dan menyebar hoaks, berarti secara sadar pula telah melakukan perbuatan dosa. Inilah konsekuensi dari pemahaman teologi dosa di era milenial.
Karena itu, ujaran kebencian harus segera dihentikan. Yang perlu digalakkan adalah penyebaran berita baik, benar, dan sesuai fakta. Kita perlu mempromosikan ujaran kebaikan, bukan kebencian. Persaingan aksi saling dukung idola boleh terus dilakukan sebagai ekespresi demokasi, tetapi juga harus memerhatikan dan menaati rambu-rambu etis agama dan norma masyarakat.
Menyudahi ujaran kebencian akan mengurangi tensi politik yang semakin memanas jelang Pemilu 19 April mendatang. Para pendukung capres-cawapres sebaiknya adu promosi program, kritik yang konstruktif berdasarkan data dan fakta. Semoga ini menjadi resolusi tahun 2019, ujaran kebencian ditinggalkan, ujaran kebaikan diutamakan.