Adalah benar apa yang telah ditegaskan oleh Ribut Lupiyanto dalam “Pancasila, Lokalitas Bangsa, Dan Perdamaian Dunia” (Jalandamai, 03/10), bahwa Pancasila telah menyatukan beragam ideologi dan budaya bangsa dalam satu bingkai. Lokalitas bangsa menjadi kuat dan semakin berdaya melalui falsafah Pancasila.
Secara kuantitas, berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan bahwa berdasarkan data Susenas 2014 dan 2015, jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Dari jumlah itu, tersebar dari Sabang sampai Merauke, yang menempati 14.572 pulau. Sementara berdasarkan keyakinan, ada enam agama yang secara resmi diakui oleh negara Indonesia.
Data di atas, meskipun belum menyentuh seluruh aspek kehidupan, telah memberikan satu pemahaman dan pola pikir yang jelas, yakni Indonesia adalah negeri plural dan multikultural. Kenyataan bahwa Indonesia sangat beragam tidak bisa dihindari. Artinya, suka tidak suka dan mau tidak mau, keragaman tersebut harus disyukuri dan dinikmati sebagai anugerah dari Allah Swt yang luar biasa.
Sayang seribu kali sayang. Fakta lapangan memberikan konfirmasi bahwa tidak semua penghuni dan yang meneguk sumber air dari perut Indonesia menyadari akan keragaman sebagai anugerah dan kekuatan. Akibatnya, orang atau kelompok ini menjadi benalu di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, lakunya dalam keseharian adalah menyuarakan persatuan bukan dalam bingkai persaudaraan yang beragam, tetapi persatuan di bawah ideologi tertentu.
Jadi, kelompok ini menghendaki Pancasila sebagai ideologi Indonesia dan yang terbukti menyatukan ini diganti. Propaganda yang digaungkan adalah, Pancasila merupakan ciptaan manusia (thagut) dan produk kafir. Maka, harus diingkari dan diganti. Selain itu, tuduhan-tuduhan dan benturan-benturan selalu dilakukan sehingga seolah-olah Pancasila tidak beres, biang persoalan. Padahal bukan demikian. Ujung-ujung dari seruan dan diimbangi dengan gerakan semacam ini akan merobek-robek rumah Indonesia dan menimbulkan perpecahan.
Nah, dalam konteks inilah, tulisan atau uraian ini akan memberikan pemahaman mendalam dan tuntas bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah final dan sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang plural. Singkat kata, Pancasila dapat menyatukan beragam keyakinan dalam satu cita-cita dan tujuan yang tertuang dalam lima butir Pancasila.
Pancasila yang Menyatukan Indonesia!
Keberagaman harus dikelola dengan baik dan benar. Salah satu caranya adalah mengikat melalui sebuah ideologi yang telah disepakati bersama dan tidak menguntungkan kelompok tertentu juga tidak merugikan kelompok lainnya.
Dalam kaitannya masalah yang mutakhir terjadi, yakni kerenggangan antar kelompok, maka Pancasila sejatinya telah memainkan perannya untuk memperkokoh tali persaudaraan. Hal ini tercermin dari sila ke-3, Persatuan Indonesia.
Sila ke-3 ini meniscayakan beberapa paradigma dan langkah nyata: Pertama, usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan dan persaudaraan adalah fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Meskipun demikian, upaya secara sadar dan terencana untuk membangun persaudaraan harus tetap dipupuk. Kebulatan rakyat untuk membina nasionalisme dan patriotisme menjadi kuncinya.
Kedua, mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia. Tidak ada satu kelompok di dunia ini yang menginginkan adanya perpecahan. Ajaran suci agama-agama pun juga demikian, menekankan persatuan. Nilai itulah yang ditangkap oleh para founding fathers dan kemudian dirumuskan dalam Pancasila butir ke-3. Dengan demikian, pengamalannya adalah wajib menghargai perbedaan sebagai kekuatan.
Ketiga, perbedaan bukan sebagai sebab perselisihan, tetapi justru dapat menciptakan kekuatan yang besar dan solid. Di era terbuka saat ini, kita diuntungkan karena bisa belajar dengan negara lain terkait persatuan dan perselisihan. Misalnya konflik di Timur Tengah. Perselisihan yang dikelola menyebabkan jutaan nyawa melayang dan yang masih hidup dibayang-bayangi oleh kematian.
Berkaca dari kasus global tersebut, sudah seharusnya segenap bangsa Indonesia memiliki pemikiran yang inklusif, toleran dan sejenisnya. Jangan sampai kita baru menyesal dikemudian hari!
Jadi, pemahaman atas Pancasila, terutama butir ke-3 adalah, bahwa dalam menjalani kehidupan beragama dan berbangsa, janganlah saling mengganggu dengan melakukan propaganda, fitnah dan sejenisnya, melainkan harus saling menjaga. Itulah makna filosofi Pancasila sesungguhnya.
Terakhir, percayalah, tanpa Pancasila, kita tidak akan pernah bersatu. Sebab, butir-butir Pancasila mengandung nilai universal, sehingga menjadi ideologi terbuka. Yang demikian ini bukan mendewakan Pancasila, juga bukan meremehkan (menempatkan agama di bawah Pancasila). Sekali lagi, bukan! Bagi orang beragama, ajaran agamalah yang menjiwai Pancasila. Dalam Islam, ber-Islam itu sekaligus ber-Pancasila!