Keterlibatan perempuan dalam tindak terorisme sudah berlangsung sejak lama. Menyisir sejarah, Indonesia sudah mengalami beberapa kejadian terorisme perempuan, baik yang masih dalam rencana maupun eksekusi peledakan bom. Misalnya peledakan bom panci yang menargetkan tokoh-tokoh yang berada di Istana Negara tahun 2016. Kemudian Bom Surabaya tahun 2018 dan bom bunuh diri tahun 2019 di Sibogala Sumatera Utara yang pelakunya adalah perempuan dan anaknya. Sejarah terorisme tersebut kita sadar akan satu hal, yaitu perjuangan perempuan secara non-qital (tanpa peperangan) bisa dilakukan dengan mengedukasi sesamanya dan keluarga untuk tidak melakukan terorisme.
Sejarah panjang terorisme perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Negara Eropa seperti Rusia juga tidak luput dari terorisme perempuan. Kedatangan kelompok Narodnaya Volya yang melakukan pembunuhan terhadap Gubernur Jenderal St. Petersburg, menjadi awal dari persebaran kelompok terorisme disana. Bergeser ke negara Lebanon, terdapat The Bride of the South yang melancarkan peledakan bom bunuh diri pertama disana.
Bahkan dalam proses peperangan seperti yang dilakukan di Palestina, perempuan mengambil peran yang sangat penting. Kelompok black widows yang muncul bersamaan dengan adanya intifada yang terjadi September 2000 menjadi awal peledakan bom bunuh diri yang diketahui pelakunya adalah seorang perempuan.
Tindakan fatal para perempuan tersebut menginspirasi golongan perempuan lainnya untuk melakukan hal yang sama. Bank (2019) mengatakan jika pergerakan kelompok terorisme sudah memanfaatkan perempuan sebagai bagian yang penting. Perempuan bisa mengisi bebagai peran, seperti peran pendukung ataupun eksekutor yang menjalankan tindakan terorisme.
Pergerakan gelombang terorisme yang mengubah haluan ke arah perempuan, merubah peranan keluarga menjadi hal yang penting untuk dipertahankan. Sebagai madrasatul ula (pembelajaran pertama), perempuan memberi arti penting terhadap pendidikan anak dan keluarga. Pemahaman terhadap pencegahan terorisme, Nasionalisme, dan bela negara menjadi tugas penting yang harus dilakukan perempuan dalam lingkungan keluarga. Karena itulah, fokus jihad non-qital bisa dilakukan oleh perempuan untuk mencegah semua hal tersebut.
Penyebab Masuknya Perempuan Dalam Gelombang Terorisme
Global Government Forum tahun 2018, menyebut beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perempuan untuk ikut bergabung bersama kelompok terorisme. Akan tetapi penyebab utama dari tindakan tersebut adalah ketimpangan sosial yang terjadi di keluarga. Keluarga yang berada dalam himpitan kemiskinan, membujuk hati mereka untuk memperoleh harta yang lebih, yang berasal dari kelompok terorisme. Selebihnya, peran laki-laki yang kurang dalam memimpin suatu keluarga menjadi faktor pendukung tindakan terorisme yang terjadi.
Pernyataan Presiden organisasi Women in International Security Kenya menguatkan hal tersebut dengan mengatakan faktor utama perempuan melakukan tindakan terorisme berasal dari kurangnya layanan yang mereka dapatkan, seperti air dan listrik. Kemudian ketimpangan ekonomi tersebut membuat mereka menyalahkan negara, dan berniat balas dendam atas perlakuan yang mereka anggap tidak adil.
Bloom (2011) menambahkan satu faktor lagi terkait pergerakan perempuan dalam tindak terorisme. Bahwa alasan perempuan melakukan semua hal tersebut didominasi oleh alasan pribadi dibandingkan ideologis. Mereka menikmati setiap tindakan pembunuhan yang terjadi, karena merasa terbebaskan dan berkuasa.
Pelibatan perempuan dalam tindakan terorisme juga didukung oleh keberadaan perempuan yang sering menjadi pihak yang terselamatkan dalam peperangan. Sehingga hal tersebutlah yang menjadikan kelompok teroris, tergiur untuk melakukan perekrutan. Momen peperangan, akan menimbulkan kebencian terdalam untuk perempuan, sehingga dirinya akan memiliki niat balas dendam sebagai modal peledakan bom.
Dengan faktor tersebut, perempuan dapat masuk dalam kelompok terorisme dan menjadi ujung tombak dalam pelaksanaannya. Sifat feminim yang dimiliki oleh perempuan, membuat publik tidak curiga. Sehingga tindakan terorisme tersebut mudah dilakukan tanpa mendapat perhatian khusus dari pihak keamanan.
Jihad Non-Qital Perempuan
Kenyataan tersebut membuat jihad non-qital perempuan penting untuk terlaksana. Selain untuk melindungi dirinya sendiri, perempuan juga bisa melindungi keluarga dari kejahatan terorisme. Perempuan bisa menjadi tokoh utama dalam pemberantasan terorisme. Dengan edukasi yang dilakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat, perempuan bisa menjadi garda terdepan dalam menangani penyebaran virus terorisme.
Jihad non qital ini bisa dilakukan dengan memberikan pemahaman terlebih dahulu di lingkungan keluarga. Memberikan edukasi kepada anak dan diri sendiri bahwa tindakan terorisme itu dilarang oleh agama dan negara. Tindakan terorisme bisa menjadi tindakan kekerasan yang menewaskan ribuan jiwa, sehingga hukuman yang didapatkan juga sangat berat.
Kemudian dapat membentuk suatu organisasi kemasyarakat dengan pokok pergerakan perlawanan terhadap tindakan terorisme. Kumpulan perempuan dalam organisasi dapat membuat serangkaian program yang mengacu pada tindakan pencegahan terhadap terorisme. Misalnya dengan membuat seminar, pelatihan, dan program kemasyarakatan untuk mengakrabkan antar individu. Dengan gerakan seperti itu, perempuan bisa menjadi agen pergerakan yang tangguh dalam perlawanan terhadap tindak terorisme. Jihad non-qital akan berjalan efektif bersamaan dengan peran yang mereka torehkan. Oleh karena itu, perempuan harus diberi ruang untuk melakukan kreasi dan gerakan untuk memberantas terorisme.