Apa yang telah dilakukan oleh FPI, GNPF dan PA 212 dalam unjuk rasa di jalan HR Rasuna Said, Jakarta sebagaimana diwartakan (detik.com, 06/03) bagi saya terlalu berlebihan. Tuntutan mereka agar dapat bertemu dengan duta besar India untuk Indonesia, merupakan tindakan yang tidak proporsional. Dan bukan representasi dari mayoritas umat Islam di Indonesia. Apalagi kegagalan mereka bertemu dubes India diwarnai dengan pembakaran bendera, yang sejatinya telah mencederai mekanisme sosial-politiknation-stateyang sudah terbangun.
Pasca pembakaran yang mereka lakukan, berbagai kecaman pun bermunculan dan banyak netizen yang mengkritik tindakan solidaritas mereka yang tidak mempertimbangkan keadaban dan kesantunan. Alih-alih kelompok tersebut berupaya memperkuat persatuan, tetapi tindakan mereka justru semakin memperkeruh keadaan. Perlu kita sadar bahwa genosida yang terjadi di India merupakan bencana kemanusiaan berlatar politis sektoral dan konflik ini hanya bisa diselesaikan oleh India sendiri.
Bendera sebagai Simbol
Bendera India itu merupakan identitas kenegaraan yang harus dihormati oleh seluruh warga negara di dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara berdaulat, India memiliki hak konstitusional dalam menanggapi dan menyikapi berbagai peristiwa yang terjadi di negaranya, tanpa ada intervensi dari pihak mana pun. Dalam hal ini, sebagai warga negara kita hanya memiliki hak memberikan saran dan masukan bukan intervensi, apalagi berupaya mendesak dan mengampanyekan agar Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan India sebagaimana dilakukan kelompok kanan ini. Tindakan tersebut justru keliru dan tidak kontekstual.
Golongan Islam konservatif ini seharusnya jangan terlalu gegabah dalam bersikap serta bertindak. Karena jika tindakan mereka nanti direspon oleh golongan agama yang lain, maka akan bisa menyebabkan ketegangan antar agama. Tindakan di atas bisa dikategorikan anarkis, padahal pesan moral-etis keagamaan khususnya Islam tidak menganjurkan untuk berbuat demikian. India sebenarnya berhak untuk mengajukan keberatan terhadapa peristiwa tersebut.
Baca Juga : Indonesia Butuh Sosok Seperti Gus Dur dalam Merawat Solidaritas Kebangsaan!
Dalam konteks ini, dengan simbol bendera negara, sejatinya kita bisa memupuk rasa nasionalisme. Menyoal nasionalisme, kita sepertinya perlu sedikit belajar dari Turki modern, khususnya sejak dipimpin oleh Recep Tayyib Erdogan. Di Turki sendiri, bendera menjadi simbol negara dan sangat mudah ditemukan di berbagai tempat, bahkan bendera Turki bersanding di mimbar-mimbar agama. Pada saat dikumandangkan İSTİKLAL MARŞI (“Mars Kemerdekaan”), seketika masyarakat Turki maupun wisatawan asing harus menghormati serta dengan khidmat dalam menyemarakkan lagu kebangsaan ini.
Dalam berbagai forum internasional pemimpin dunia pun, Erdogan seringkali melakukan hal yang tidak terduga, ketika simbol bendera negaranya berada selaras dengan kakinya (sebagai penanda). Ia kemudian mengambil bendera tersebut dan meletakkannya dalam saku, yang menjadi sebuah bukti kesakralan simbol dan kekuatan nasionalismenya.
Pentingnya Nasionalisme
Nasionalime menjadi nilai yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia sendiri ketentuan mengenai bendera Indonesia sebagai lambang negara diatur dalam UUD 1945 pasal 35 serta UU nomor 24 tahun 2009. Dalam UU ini telah diatur bagaimana tata cara penggunaan, bahkan terdapat larangan untuk merobek apalagi membakar bendera sebagai simbol negara.
Dari simbol ini, kita perlu belajar untuk menguatkan rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air. Nasionalisme menjadi bagian penting dari perjalanan sebuah negara, semenjak terbentuknyanation-statesekitar awal abad ke-19. Menurut Erikson (1993), Nasionalisme menjadi semacam ideologi yang mampu menciptakan kohesi dan loyalitas di antara individu yang berpartisipasi di dalam system yang berskala besar itu. Nasionalisme mampu menjadi benteng ketika terjadi fragmentasi budaya di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan menurut Bennedict Anderson (1996), nasionalisme membuat suatu negara-bangsa memiliki kekuatan dan kegigihan sentimen dan identitas nasional. Dengan nasionalisme, maka kita akan mampu mencari titik temu di antara berbagai perbedaan yang ada. Nasionalisme mampu meleburkan berbagai sekat-sekat primordial yang mengakar dalam suatu tradisi di masyarakat. Untuk itu, revitalisasi dan reaktualisasi nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari menjadi upaya yang harus terus digelorakan.
Solidaritas Kemanusiaan
Indonesia sebagai Negara multikultural, dengan berbagai variasi suku, budaya dan agama harus menciptakan atmosfer yang sehat di tengah ketegangan antar golongan, khususnya berlatar agama. Problem diskriminasi yang telah terjadi India harus menjadi pelajaran berharga untuk Indonesia. Kita harus menghargai keberagaman dan keberagamaan yang sudah menyejarah dalam lipatan sejarah bangsa Indonesia.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh sebagian kelompok Islam sebagaimana dijelaskan di awal pembuka artikel, menjadi tamparan kepada kita untuk bersikap lebih santun dan beradab dalam menanggapi isu-isu sektarian. Tidak selayaknya sebagai umat islam berdakwah dengan kekerasan, perlunya dilakukan dialog dengan baik dan memasrahkan sepenuhnya penyelesaian masalah diskiriminasi muslim di India kepada pihak pemerintah. Kita perlu menguatkan kembali solidaritas kemanusiaan dalam menanggapi berbagai persoalan realitas yang terjadi. Solidaritas bisa menjadi akar untuk menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga tercipta kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Selain itu, jika masyarakat mengedepankan keadaban dalam upaya solidaritasnya, maka kita akan bisa menjadi bangsa yang beradab sertagemah ripah loh jinawi.