Nirkekerasan, Bina-Damai dan Solidaritas Kemanusiaan

Nirkekerasan, Bina-Damai dan Solidaritas Kemanusiaan

- in Narasi
1178
2
Nirkekerasan, Bina-Damai dan Solidaritas Kemanusiaan

Kekerasan sektarian yang dialami kaum Muslim di Idia mendapat bermacam respons dari Muslim Indonesia. Jika diamati, respons kalangan Muslim Indonesia dapat diklasifikasikan ke setidaknya tiga macam. Pertama, respons yang menyangkal adanya kekerasan berbasis mayoritanisme agama dan menganggap peristiwa itu sebagai kerusuhan komunal berlatar isu politik UU Amandemen Kewarganegaraan. Pandangan ini juga menyangkal anggapan bahwa Muslim di India dizalimi oleh pemerintah.

Kedua, respons yang menganggap konflik sektarian Hindu konservatif dan Muslim di India berakar kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan bias kepentingan mayoritas. Meski demikian, pandangan ini tetap meyakini bahwa persoalan sektarian di India dapat diselesaikan melalui jalur kultural alias non-kekerasan. Artinya, umat muslim India dan seluruh dunia perlu melakukan diplomasi politik agar pemerintah India bersikap adil terhadap warganya.

Ketiga, respons over-reaktif yang berpandangan bahwa kekerasan tersebut merupakan genosida kaum Muslim oleh umat Hindu India. Respons over-reaktif itu juga ditunjukkan di muka publik dengan menggelar aksi demonstrasi. Hal ini bisa dilihat dari aksi demonstrasi di Kantor Keduataan Besar India di Jakarta oleh sejumlah ormas Islam. Dalam aksi itu, mereka membakar bendera negara India dan mengancam akan melakukan sweeping terhadap warga India di Indonesia.

Sikap over-reaktif itu merupakan sesuatu yang berlebihan. Bersimpati dan berempati atas penderitaan sesama muslim adalah wajib. Namun, hal itu tidak lantas dilakukan dengan menebar ancaman kekerasan yang justru menyulut persoalan baru. Islam memang agama keadilan yang menempatkan martabat manusia di atas segalanya. Islam tidak menoleransi tindakan diskriminatif, apalagi kekerasan terhadap manusia.

Namun, Islam juga agama keselamatan yang mengedepankan sikap nirkekerasan dan perdamaian dalam menyelesaikan konflik. Islam tidak mengajarkan manusia bersikap pasrah ketika mendapat penindasan. Namun, Islam juga bukan agama perang yang meyakini bahwa kekerasan ialah cara paling efektif menyelesaikan persoalan.

Baca Juga : Membina Relasi Damai antara Mayoritas dengan Minoritas

Sikap Islam itu memang terkesan ambigu. Di satu sisi, Islam tidak menoleransi penindasan dan ketidakadilan. Namun, di sisi lain Islam juga melarang tindakan balas dendam. Lantas, bagaimana sebenarnya sikap Islam dalam menghadapi penindasan, ketidakadilan dan konflik sosial sesama manusia?

Buku berjudul Nonvioelence and Peace Building in Islam yang ditulis Mohammed Abu Nimer relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Abu Nimer, profesor di Departemen International Peace and Conflict Resolution Program, American University, menulis buku monumental itu dengan penelusuran kepustakaan serta riset lapangan yang mendalam.

Hasilnya ialah sajian yang akademik-teoretis sekaligus aplikatif. Dari sisi teoretis, ia menelusuri referensi khasanah tekstual Islam mulai dari al Quran, hadist dan kitab-kitab klasik untuk melihat bagaimana kerangka pikir Islam menyelesaikan konflik sosial. Selain itu, Abu Nimer juga melakukan penelitian lapangan dengan bertemu para aktivis perdamaian, pegiat hak asasi manusia, serta praktisi resolusi konflik dari seluruh dunia, mulai dari Amerika Serikat, Mesir, Sarajevo, Afghanistan, Filipina dan negara-negara lainnya.

Maka, bisa dibilang karya tersebut merupakan perpaduan dari kerja intelektual sekaligus sosial sang penulisnya. Setidaknya ada dua hal penting yang bisa kita ambil dari buku ini. Pertama, temuan Abu Nimer bahwa teks keislaman mulai al Quran, hadist dan kitab-kitab klasik pada dasarnya mengandung prinsip dasar dan nilai fundamental kaitannya dengan praktek peacebuilding (binadamai) dannonviolence (nirkekerasan) serta mekanisme resolusi konflik.

Abu Nimer mengutip al Quran Surat al Hujurat ayat 9-10 yang artinya, “dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin yang berperang, dan berkonflik maka damaikanlah keduanya. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu”. Menurut Abu Nimer, kata “mukmin” dalam ayat tersebut tidak semata mengacu pada kelompok Islam, melainkan semua umat beragama.

Abu Nimer menjelaskan bahwa banyak ayat al Quran dan hadist yang secara maknawiah terkesan ambigu; di satu sisi menyeru kekerasan namun di sisi lain menyeru pada perdamaian. Ambiguitas itu bisa dipahami bahwa jalan kekerasan diperbolehkan Islam sejauh itu merupakan sikap membela diri, bukan menyerang atau pun membalas dendam.

Cara terbaik menyelesaikan konflik sosial sesuai ajaran Islam, menurut Abu Nimer ialah dengan pendekatan resolusi konflik. Resolusi konflik ini bisa dilakukan dengan berbagai metode mulai dari mediasi, arbirtrasi maupun rekonsiliasi. Metode resolusi konflik ini, menurut Abu Nimer sudah dipakai masyarakat Arab pra-Islam dan terbukti efektif mencegah peperangan meluas.

Hal penting kedua dari buku ini ialah anjuran agar umat Islam tidak mengedepankan cara kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, terutama terkait perbedaan agama dan afiliasi politik. Seperti kita tahu, dunia muslim apalagi di kawasan Timur Tengah selalu identik dengan pergolakan dan konflik sosial. Sebagian masyarakat muslim yang terlanjur terjebak dalam teori konspiratif menganggap konflik di kawasan Timur Tengah itu diciptakan oleh Barat untuk memecah belah kaum Muslim.

Namun, analisa yang lebih obyektif dan rasional cenderung memperlihatkan bahwa negara-negara muslim memang rentan mengalami konflik sosial lantaran sebagian besar masyarakatnya masih memegang teguh corak berpikir primordialisme yang mengagungkan kelompok sendiri. Selain itu, sebagian besar masyarakat muslim masih gemar menyelesaikan perbedaan pendapat (khilafiyah) dengan pertikaian, alih-alih mencari konsensus bersama yang mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Menjadi wajar jika di banyak negara Muslim, kelompok-kelompok Islam konservatif-radikal bermunculan. Kelompok ini dicirikan dengan karakternya yang arogan, vandalistik, brutal, intoleran dan anti-perdamaian. Dalam menyikapi sebuah isu, mereka kerap memakai cara-cara kekerasan mulai dari sweeping, penyerangan fisik dan sebagainya.

Bahkan, sesama muslim yang tidak sepandangan dengan mereka pun tidak luput dari label kafir, murtad, bidah dan stempel buruk lainnya. Cara-cara demikian ini, menurut Abu Nimer tidak hanya bertentangan dengan esensi Islam, namun juga akan membuat peradaban Muslim kian terbelakang.

Di tengah kondisi dunia muslim dan global yang diwarnai oleh beragam konflik sektarian, mengembangkan resolusi konflik berbasis strategi nirkekerasan dan binadamai agaknya menjadi sebuah keharusan. Tidak kalah penting dari itu ialah umat Islam harus mengembangkan solidaritas kemanusiaan yang bertumpu pada asas universalitas.

Selama ini, sebagian kaum muslim kerap bersikap standar ganda dalam menyikapi isu intoleransi atau kekerasan. Seperti tampak pada sikap ormas-ormas Islam di Indonesia. Mereka begitu lantang berteriak ketika muslim di negara lain mendapat perlakuan diskriminatif. Sebaliknya, mereka diam jika kelompok agama minoritas di Indonesia mendapat perlakukan intoleran bahkan kekerasan. Sikap standar ganda yang demikian ini menggelikan sekaligus ironis. Solidaritas kemanusiaan tentu tidak mengenal sekat ideologis dan keagamaan. Seseorang yang memiliki rasa solidaritas kemanusiaan akan bersikap empati dan simpati pada korban intoleransi dan kekerasan, tanpa peduli apa identitas keagamaannya. Solidaritas kemanusiaan adalah sebuah sikap yang tidak bersyarat. Ia muncul dari dalam hati dan jiwa manusia yang bersih, yang tidak lagi diliputi kepentingan apalagi kebencian. Maka, solidaritas kemanusiaan akan melahirkan sebuah jalan perdamaian dan titik temu, bukan justru melahirkan amarah dan konflik baru.

Facebook Comments