Puasa di bulan suci Ramadhan tahun ini tampak beda dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Apa pasal? Karena Puasa tahun ini dalam situasi pandemi covid-19, yang tidak hanya melanda Indonesia, tetapi dunia, semua negara.
Meski demikian, apa makna berpuasa dalam situasi wabah seperti sekarang? Dilihat dari substansi dan spirit ibadah, tentu tidak ada yang berubah dari kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan. Namun dalam kondisi pandemi covid-19, sadar atau tidak, telah merubah bagaimana kita menjalani ibadah puasa.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya berpuasa disemarakkan oleh kegiatan-kegiatan positif seperti shalat tarawih, buka puasa bersama, keliling sahur, dan lain sebagainya, maka di tahun ini, aktivitas tersebut dianjurkan oleh lembaga keagamaan MUI, NU, Muhammadiyah, dan diperkuat oleh seruan pemerintah, agar umat muslim “menahan diri”, sebagaimana makna puasa, untuk tidak melaksanakannya. Mengapa? Demi kemaslahatan umat (kebaikan bersama).
Meniadakan aktivitas yang melibatkan banyak orang, meski itu bernilai ibadah, apalagi di bulan suci Ramadhan, tidak dimaksudkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap ajaran agama, tetapi lebih pada ikhtiyar (usaha) untuk menghindari penyebaran covid-19. Toh, aktivitas-aktivitas ibadah itu tetap bisa dilaksanakan di rumah masing-masing bersama keluarga.
Pengalaman bersejarah
Jika kita berhasil berpuasa dengan mematuhi anjuran para ulama, MUI, NU, Muhammadiyah, dan pemerintah, agar menjaga jarak (social/physical distancing), merupakan prestasi dan kesuksesan yang patut dikenang sebagai pengalaman bersejarah. Said Aqiel Siradj (2001) menginventarisir tidak kurang dari sembilan peristiwa yang terukir dalam catatan sejarah.
Baca Juga : Tasawuf dan Wabah Covid 19
Pertama, Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu pertama kali pada tanggal pada 17 Ramadhan. Kedua, pertempuran perdana antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir dalam perang Badar yang jatuh pada 17 Ramadhan 2 H. Dalam pertempuran itu, sungguh pun rasio perbandingannya 1:3, tetapi pasukan Nabi Saw. di pihak yang memperoleh kemenangan. Ketiga, peristiwa fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah) dari golongan kuffar pada 10 Ramadhan 8 H. Semenjak peristiwa itu, kota Mekkah dihuni kaum muslimin hingga saat ini. Keempat, perang terakhir pada masa Rasulullah, perang Tabuk, juga jatuh pada bulan suci ramadhan 9 H.
Kelima,kalahnya Hulaghu Khan setelah menaklukkan Baghdad dari tangan Sultan Qutus ‘Ain Jalut pada tanggal 15 Ramadhan 658 H (3 September 1260 M). Keenam,penaklukan Andalusia (Spanyol) di bawah pimpinan Panglima Thariq ibn Ziyad pada tanggal 28 Ramadhan 92 H (19 Juli 711 M). Ketujuh, pada tanggal 25 Ramadhan 479 H, Yusuf ibn Tasyfin dari Dinasti Murabithin menaklukkan pasukan Eropa. Dan kesembilan, kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajahan Belanda bertepatan dengan tanggal 8 Ramadhan 1364 H.
Situasi ini memang berat. Kita harus siap menerimanya sebagai sebuah ujian, bagian dari puasa, agar menahan diri dari keingingan-keinginan yang justru membahayakan diri sendiri dan orang lain. Jadi, puasa di tahun ini, dalam situasi pandemi covid-19, sesungguhnya terasa “spesial” jika direfleksikan sebagai sebuah tantangan iman.
Tantangan iman itu pada makna kepedulian sosial dalam dua arti. Yaitu di satu sisi kepedulian sosial dengan menjaga diri agar terhindar dari penyebaran covid-19, dan juga menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas yang menyebabkan kerumunan massa sebagai tindakan preventif untuk memutus rantai penyebaran covid-19. Sedang di sisi lain, kepedulian sosial itu dalam arti umum, yang lazim dipahami oleh masyarakat, seperti menolong orang yang membutuhkan. Artinya, momentum Ramadhan bisa kita jadikan sebagai ajang untuk berbagi rezeki untuk mereka, yang menjadi “korban” dari efek covid-19. Semoga.