Radikalisme, Ruang Publik Virtual dan Narasi Keberagamaan Inklusif

Radikalisme, Ruang Publik Virtual dan Narasi Keberagamaan Inklusif

- in Narasi
553
1
Ilustrasi

Peristiwa penusukan terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto jelas merupakan teror terhadap pejabat negara. Merujuk latar belakang pelaku yang anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), besar kemungkinan aksi itu dilatari motif keagamaan. JAD merupakan organisasi Islam garis keras yang berbaiat pada ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Dalam peta jaringan terorisme di Indonesia, JAD merupakan pemain penting. Sejumlah aksi teror yang terjadi beberapa tahun belakangan, nyaris semua pelakunya terafiliasi dengan JAD.

Pemerintah sebenarnya sudah berusaha memberantas terorisme. Dibentuknya Detasemen Khusus Anti-Teror 88 adalah bukti keseriusan pemerintah memberangus terorisme. Namun, upaya pemerintah itu agaknya belum mampu mengatasi persoalan terorisme hingga ke akarnya. Hal ini terjadi lantaran pemerintah cenderung fokus pada aspek penindakan hukum, seperti menangkap dan memenjarakan pelaku teror. Bahkan, pemerintah kerap mengedepankan cara-cara militeristik dalam menghadapi teroris. Pendekatan hukum dan militerisme memang mampu memutus ruang gerak sel jaringan teroris. Namun, hal itu tidak lantas menganulir penyebaran radikalisme dan ekstremisme yang menjadi akar terorisme. Paham radikal tetap tumbuh subur di tengah masyarakat, melalui beragam bentuk dan cara penyebarannya.

Hal ini bisa dilihat dari maraknya ceramah keagamaan bernuansa kebencian. Memanfaatkan kebebasan berpendapat, para penceramah agama dengan leluasa membajak mimbar untuk menebar kebencian dan seruan kekerasan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pemberantasan terorisme yang melampaui pendekatan hukum dan militerisme.

Tiga Faktor

Terorisme tidak diragukan merupakan bagian dari kekerasaan. Tujuan dari terorisme ialah menciptakan rasa takut publik. Teroris idak peduli berapa banyak korban tewas dan terluka. Mereka hanya membutuhkan pengakuan dan perhatian atas aksi yang mereka lakukan. Maka, setiap aksi teror umumnya dirancang tidak semata untuk menimbulkan efek destruktif, namun juga melahirkan sensasi pemberitaan. Kecemasan dan ketakutan yang merupakan efek dari sensasi pemberitaan itulah yang ingin dicapai teroris.

Baca juga :Menangkal Radikalisme Sejak dari Keluarga

Berkaca pada peristiwa penyerangan yang menimpa Menkopolhukam Wiranto, dapat disimpulkan bahwa terorisme tidak selamanya merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi dan modernisme. Terorisme yang menyasar pejabat publik pemerintah lebih merupakan bentuk resistensi terhadap nasionalisme. Ini sekaligus membuktikan bahwa kita gagal menyemai falsafah kebangsaaan. Presiden, menteri dan pejabat publik lainnya merupakan representasi sekaligus simbol negara. Segala bentuk serangan terhadap mereka bisa diartikan sebagai ancaman terhadap eksistensi negara.

Intelektual muslim, Khaled Abou el Fadl, menyebut bahwa terorisme kerap dilatari oleh setidaknya tiga faktor. Pertama, ambisi pada kekuasaan. Dalam banyak kesempatan, terorisme atau aksi kekerasan biasanya muncul dalam masyarakat yang memposisikan kekuasaan sebagai sesuatu yang harus diperebutkan dan dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Terorisme yang dilatari oleh ambisi pada kekuasaan ini tampak jelas pada organisasi jaringan teror yang berafiliasi dengan ISIS. Desain perjuangan dengan jalan kekerasan yang ditempuh oleh ISIS memiliki satu tujuan yakni menaklukkan seluruh negara di dunia dan menguasai seluruh sumber daya di dalamnya.

Kedua, ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi. Seperti kita tahu, ketimpangan ekonomi akibat dari ketidakadilan global kerap menimbulkan kecemburuan sosial yang berujung pada retaknya integrasi sosial. Integrasi sosial ini ketika berkelindan dengan sentimen kebencian berlatar agama, suku, budaya dan ras potensial bermetamorfosis menjadi tindakan kekerasan, bahkan terorisme.

Isu kesenjangan sosial inilah yang melatari motif teroris menyerang simbol-simbol supremasi kedigdayaan negara-negara maju yang dianggap sebagai biang ketidakadilan global. Kita tentu ingat peristiwa penyerangan menara kembar Wall Trade Center yang merupakan simbol kejayaan ekonomi Amerika Serikat. Serangan terhadap WTC adalah sebuah pesan bahwa kelompok teror ingin melawan ketimpangan global dengan jalan kekerasan.

Ketiga, ketidakmampuan melahirkan pandangan alternatif yang lebih mengakomodasi pluralitas, keadaban dan kemanusiaan. Dalam banyak hal, kita kerap menjumpai pandangan dan perilaku keberagamaan yang eksklusif. Mengklaim diri sebagai individu atau kelompok yang paling benar lantas menganggap kelompok lain sebagai kafir atau sesat. Fatalnya lagi, perilaku penyesatan dan takfiri itu dijadikan justifikasi untuk melakukan perbuatan kekerasan dan teror.

Dalam tataran yang paling rendah, sikap eksklusifisme keberagamaan itu tampak dalam gerakan formaliasasi syariah yang marak terjadi pasca Reformasi. Penerapan syariah dalam peraturan daerah di sejumlah wilayah di Indonesia adalah contoh bagaimana kita gagal mengelola realitas sosial-keagamaan yang pluralistik. Kita terjebak dalam nalar egoisme sektarian yang memecah belah dan melunturkan spirit nasionalisme.

Pembenahan Subtansial

Peristiwa penusukan Menkopolhukam Wiranto adalah tamparan keras buat kita semua, pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat pada umumnya. Dari segi pemerintah, ini membuktikan bagaimana sistem dan mekanisme intelejen kita tidak berjalan maksimal. Aparat keamanan terkesan lalai menerapkan standar prosedur pengamanan pejabat negara. Dari sisi masyarakat, peristiwa ini membuktikan bahwa anasir jaringan teroris terus bergerak di bawah tanah, bahkan mulai mengalihkan sasarannya ke pejabat publik.

Kasus ini idealnya menyadarkan nalar kolektif kita akan pentingnya membangun ruang publik bersama dimana semua entitas bisa hadir sebagai bagian dari imajinasi kebangsaan. Semua pihak, baik pemerintah, aparat keamanan maupun masyarakat sipil harus bersinergi, meningkatkan kewaspadaan sembari membenahi sejumlah hal yang potensial membuat jaringan teroris kian subur.

Dari sisi politik, kita perlu mengembangkan corak politik kebangsaan yang jauh dari sentimen sektarian berbasis identitas keagamaan. Corak politik identitas yang membagi publik ke dalam kotak-kotak berdasar preferensi politik dan aliran keagamaannya sudah sepatutnya kita tinggalkan. Kita telah merasakan sendiri bagaimana dampak politik identitas telah membuat polarisasi politik kian merucing dan menyuburkan praktik intorensi keberagamaan di tengah masyarakat. Seperti kata Mahatma Gandhi, akar dari segala bentuk kekerasan di muka bumi ini ialah hilangnya sikap toleran.

Dari sisi ekonomi, kita membutuhkan satu model pembangunan yang efektif mempercepat terwujudnya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warganegara. Selain faktor ideologi, terorisme selama ini juga kerap dilatari oleh kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Kelompok miskin yang selama ini termarjinalkan oleh model pembangunan bercorak developmentalisme merupakan kelompok paling rentan terpapar ideologi radikal.

Bagi kelompok miskin-marjinal, radikalisme kerap dijadikan sebagai semacam jalan eskapisme alias pelarian diri dari problematika kehidupan. Ketika mereka dihimpit persoalan ekonomi dan melihat ketidakadilan, doktrin-doktrin menyesatkan tentang jihad dan imbalan surga lengkap dengan iming-iming bidadari menjadi sangat menggiurkan. Alhasil, radikalisme tumbuh subur di kalangan yang selama ini kerap diabaikan dan tidak tersentuh oleh pembangunan pemerintah.

Dan, yang terpenting di atas itu semua ialah bagaimana masyarakat bersama-sama membangun sebuah narasi keberagamaan yang inklusif dan moderat. Pemerintah dan masyarakat sipil, terutama organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah perlu mengembangkan perspektif dan perilaku keagamaan yang ramah pada perbedaan. Islam idealnya dipahami sebagai ajaran yang universal atau rahmatan lil alamin. Islam seharusnya bisa menjadi semacam tenda besar yang mampu menampung seluruh entitas bangsa. Apabila tiga hal ini terlaksana, besar kemungkinan kita bisa menumpas terorisme tidak hanya di permukaan, namun sampai ke akarnya.

Facebook Comments