Menangkal Radikalisme Sejak dari Keluarga

Menangkal Radikalisme Sejak dari Keluarga

- in Narasi
893
2
Menangkal Radikalisme Sejak dari KeluargaIlustrasi

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat. Ia (keluarga) menjadi lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan fondasi watak dan karakter seseorang. Apakah seseorang akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang ramah, toleran, berpikiran terbuka, dan cinta damai, ataukah justru menjadi sosok yang eksklusif, dan suka kekerasan, sangat bergantung pada keluarga.

Keluarga tersusun dari ayah, ibu, dan anak, di mana masing-masing memiliki peran dan tugas masing-masing. Di sini, peran seorang ayah sebagai kepala keluarga sangat memengaruhi anggota keluarga yang lain, baik istri maupun anak. Apakah sebuah keluarga akan menjadi tempat berseminya bibit-bibit perdamaian atau justru menjadi tempat berseminya kekerasan dan radikalisme, semua bisa bergantung pada sejauh mana seorang kepala keluarga memimpin keluarganya.

Terorisme keluarga

Peran seorang kepala keluarga menjadi sangat menentukan. Kita bisa cermati hal tersebut dari kasus-kasus terorisme keluarga, sebagaimana baru saja terjadi dalam insiden penyerangan terhadap Menko Polhukam Wiranto. Seperti diberitakan, dalam insiden tersebut, pelaku yang berinisial SA melakukan penyerangan bersama istrinya, FA. Menurut Al Chaidar (Media Indonesia, 11/10/2019), Pengamat Terorisme dari Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Aceh, insiden pada 10 Oktober 2019 tersebut termasuk serangan terorisme keluarga (familial terrorism).

Mengutip keterangan Dady Tabrani (2018), Al Chaidar menjelaskan familial terrorism adalah terorisme keluarga batih yang melibatkan ayah, ibu, dan anak-anak kandung mereka dalam satu operasi amaliah untuk meledakkan diri (suicide) atau tetap hidup (stand alone) untuk mengancurkan target. Jenis serangan tersebut, lanjut Chaidar, merupakan tipikal kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi ke ISIS.

Baca juga :Jihad Perempuan Melawan Radikalisme

Di mata mereka yang terpapar paham radikal, polisi, lembaga pemerintah atau pejabat tinggi negara adalah “thogut” yang mesti dilawan dan diserang. Dan dalam melakukan aksi yang mereka anggap sebagai “jihad” ini, jelas Chaidar, mereka beranggapan bahwa istri harus diajak agar bisa masuk surga berbarengan.

Berdasarkan keterangan polisi, dalam insiden penyerangan terhadap Wiranto pada Kamis (10/10/2019), terungkap bahwa pelaku SA awalnya secara spontan membagi tugas penyerangan dengan istrinya, FA. SA memberi komando ke istrinya untuk menyerang polisi yang ada di dekatnya, sedangkan ia sendiri menyerang Wiranto. Terbukti, saat SA menyerang Menko Polhukam dengan senjata tajam, FA, istrinya diduga langsung menyerang Kapolsek Menes Kompol Dariyanto yang ada di dekat Wiranto (Detik.com, 11/10/2019)

Kepolisian juga mengungkap bahwa SA, pelaku penyerangan tersebut telah terpapar paham radikal dari media sosial Abu Zee, pentolan JAD Bekasi, yang pada September 2019 lalu telah ditangkap tim Densus 88 Antiteror bersama 8 terduga teroris lainnya di Jakarta Utara dan Bekasi (tempo.co, 11/10/2019).

Damai bermula dari keluarga

Kasus SA dan FA menggambarkan bagaimana sel-sel teroris kini menjalar dalam unit-unit keluarga, kemudian melakukan aksi secara spontan dan sporadis kepada siapa saja dan di mana saja. Dari seseorang yang terpapar melalui media sosial, kemudian ditularkan ke istri, bahkan kemudian diajak untuk bersama-sama melakukan aksi kekerasan.

Kita tersadar betapa pentingnya sebuah keluarga memiliki benteng atau daya tangkal yang kuat terhadap berbagai pengaruh radikalisme. Di keluarga, peran kepala keluarga sangat penting sebagai pembangun fondasi perdamaian. Mula-mula, ini mesti dibangun dengan memastikan setiap anggota keluarga mendapatkan pemahaman keagamaan yang moderat dan damai, serta terhindar dari paham-paham keagamaan yang radikal dan intoleran.

Hal tersebut juga perlu ditopang dengan membangun budaya dialog, musyawarah, agar terbangun pemikiran terbuka di seluruh anggota keluarga. Kemudian, kita juga sering mendengar kabar bagaimana para pelaku teror sering dianggap kurang bersosialisasi di masyarakat. Artinya, sangat penting membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitar (tetangga), agar tercipta suasana saling peduli dan saling menjaga satu sama lain, sehingga tercipta ketahanan sosial yang kuat di masyarakat dari pengaruh-pengaruh negatif dari luar.

Kemudian, satu faktor yang mesti mendapat perhatian tersendiri di era digital sekarang adalah pentingnya melindungi keluarga dari paparan paham radikal di dunia maya. Di era digital, pengaruh media sosial tak boleh lagi dikesampingkan. Begitu banyak kasus orang terpapar paham radikal bermula dari media sosial. Di sini, kepala keluarga bertanggungjawab memastikan istri dan anak-anaknya terhindar dari berbagai konten radikal yang beterbaran di media sosial. Harus ada edukasi, pengawasan, dan bimbingan yang bijak dalam menggunakan media sosial.

Keluarga adalah akar penentu masyarakat. Masyarakat yang harmonis, aman, dan damai berasal dari keluarga-keluarga yang juga harmonis dan damai. Dari masyarakat yang harmonis, terciptalah bangsa yang aman dan damai pula. Artinya, kondisi keluarga sangat menentukan kondisi sebuah bangsa. Jika berbicara tentang menangkal radikalisme dari akarnya, keluarga adalah lingkungan paling utama yang mesti dipastikan terbebas dari pengaruh paham radikal-terorisme.

Facebook Comments